webnovel

Agen A-8989

Rumahnya dilalap kobaran api dan Marnie bersumpah bahwa dia menjadi gila.

Ini bukan perkara ringan, dia tidak sedang bercanda. Dia benar-benar gila.

Tidak ada penjelasan yang lebih masuk akal, karena dia telah berlari menyusuri lorong dengan niatan mencari ruang operasi ibunya. Namun yang terjadi, dia malah terjebak di dalam lorong tanpa ujung ini. Jangankan menemukan ruang operasi ibunya, menemukan tangga yang tadi dilewatinya pun mustahil.

Rasanya sudah berhari-hari dia berlari. Kakinya lelah, pegal, bahkan mulai terasa sakit. Dia terduduk tak berdaya di lorong rumah sakit yang sepi sunyi itu.

Satu menit kemudian, sebuah pintu terbuka di sisi kanannya.

Marnie memaksakan diri untuk mendekat, membukanya.

Ruangan yang sama gelapnya. Dia kenal betul.

Beberapa detik lagi, ruangan gelap itu akan memunculkan sebuah titip api. Kecil, namun kemudian membesar dan hangatnya berubah menjadi panas.

Sekali lagi, rumahnya dilalap api dan Marnie bersumpah dia sedang berada di neraka sekarang.

Dia sudah mengalami kejadian ini puluhan – ah, tidak, mungkin malah ratusan – kali sebelumnya. Dia akan berlari menyusuri lorong tak berujung, memasuki salah satu pintunya, dan mendapati kobaran api yang melahap rumahnya.

Namun, ada satu hal yang berbeda sekarang.

Dalam ratusan kejadian itu, Marnie tidak pernah melihat seorang lelaki dengan seragam tentara di antara kerumunan itu. Kalau diperhatikan lagi, Marnie pikir seragam itu nampak seperti yang dikenakan oleh pasukan di era penjajahan sebelum kemerdekaan.

Lelaki itu menoleh padanya. Marnie terkejut mendapati wajah yang sangat mirip dengan orang Jepang. Tapi, kalau dilihat dari sebuah bilah katana yang terikat di pinggang lelaki itu, dia harusnya tidak kaget.

"Kau mati terbakar?" Ucap tentara Jepang itu secara tiba-tiba.

Marnie kembali terkejut mendengar kalimat berbahasa Indonesia. Meski begitu, ada hal yang lebih membuatnya mengernyit kebingungan. "Jelas-jelas aku masih hidup."

"Kau belum sadar ya. Pantas wajahmu masih polos begitu." Tentara Jepang mengusap rambut pendeknya yang sedikit berantakan.

Kedua mata Marnie menangkap tinta hitam yang menggores pergelangan tangannya.

000 – sebuah deretan angka yang jarang sekali dijadikan pilihan sebagai tato.

"Kalian yang baru sampai di sini selalu saja kebingungan dan tidak terima kalau sudah mati. Lucu sekali. Tapi aku sedang malas menanggapi pertanyaan bodoh, jadi aku pergi dulu."

"Eh?"

Lelaki yang lancar berbahasa Indonesia itu tetap melenggang tidak peduli. "Tenang saja, aku akan kembali. Mungkin kalau kau sudah menerima kematianmu."

Marnie buru-buru meraih pergelangan tangan bertato itu. "Tunggu, jangan pergi dulu."

Si tentara Jepang mendecih, melepaskan tangannya. "Apa?"

"Maksudmu ini neraka?"

Lelaki itu bergumam, "Anggap saja begitu kalau kau mau, aku tidak peduli."

"Aku masih hidup!"

Marnie menolak untuk percaya pada bualan itu. Meski begitu, satu alis yang dinaikkan pada wajah tentara Jepang itu membuat Marnie melihat sekeliling sekali lagi.

Mereka berada di antara kerumunan yang sedang menonton kebakaran. Itu benar. Rumahnya terbakar dan Marnie berada di neraka.

"Tapi aku tidak ingat bagaimana aku bisa mati…"

"Jangan tanya aku."

"Ini tidak terlihat seperti neraka yang kudengar."

"Memangnya kau siapa, beraninya menuntut agar neraka itu sesuai dengan pandanganmu?"

Mereka berdua terdiam sejenak.

Perempuan yang baru saja dikukuhkan kematiannya – yang tidak dia ingat – itu memutuskan untuk memulai dari awal lagi. "Namaku Marnie, kalau mau tahu. Kau?"

Si tentara Jepang membuang muka dan bergumam tak jelas sebelum menjawab dengan ogah-ogahan. "Aku tidak punya nama, tapi kau boleh memanggilku Agen A-8989."

"Agen A-8989? Aneh sekali mengucapkannya." Marnie menelisik penampilan lelaki yang berdiri di depannya.

Pada seragam tentaranya yang kuno. Pada kaki yang tidak beralas, tapi juga tidak kotor sama sekali. Pada sebuah pedang yang sedikit melengkung dan terbungkus sarung kayu berwarna merah gelap. Pada tatonya yang nampak tak bermakna. Juga pada wajahnya yang – kalau dilihat-lihat lagi – ternyata tampan.

"Bagaimana kalau aku memanggilmu Riku, saja? Itu nama orang Jepang, kan? Eh, tapi kok kamu lancar berbahasa Indonesia, sih?"

Lelaki itu terdiam kembali. Mata tajamnya melebar, menampilkan lebih banyak iris coklatnya yang senada dengan milik Marnie sendiri. Dia mulai berpikir, apakah ucapannya tersebut kelewat batas?

Belum sempat meminta maaf atau setidaknya bertanya, si tentara Jepang malah terkekeh. Kekagetannya barusan menghilang tanpa bekas. Dia seperti terhibur dengan nama yang diusulkan Marnie.

"Terserah kau saja. Lagi pula, aku ragu kau akan mengingatku setelah ini," ujar Riku dengan enteng.

"Kenapa kau berkata begitu?"

"Sudah berapa kali dunia ter-reset?"

"Dunia? Maksudmu?"

"Aku yakin kau sudah menyusuri lorong dan memasuki pintu ini ribuan kali. Kau terjebak di sini, bukan?" Riku tersenyum mengejek. "Itu yang kumaksud dengan duniamu. Dunia di balik pintu labirin, yang kau sebut-sebut sebagai neraka."

Kedua mata Marnie membelalak seiring dengan satu tarikan napas yang tercekat. "Aku tidak mau terjebak di sini. Kumohon, tolong aku untuk keluar."

"Andai aku bisa," sahut Riku dengan datar.

"Lalu, kenapa kau bisa ada di sini jika tidak bisa membantuku?"

Riku yang berpenampilan tidak wajar itu menaikkan bahunya. Sebuah tanda universal bahwa dia sendiri pun tidak tahu harus menjawab apa. "Aku bosan."

"Kau bosan," Marnie mengulang ucapannya dengan tanpa menunjukkan ekspresi apapun. "Kau pergi ke neraka karena bosan?"

"Tidak ada tempat lain yang bisa kudatangi."

Perempuan yang tak kalah berpenampilan berantakan – dengan piyama dan rambut diikat asal – itu mendadak mundur satu langkah. "Maksudnya, kau sebenarnya setan neraka?"

Riku membuka mulutnya, namun tidak bisa berkata-kata. Dia malah gelagapan.

Salah tingkahnya itu diakhiri dengan helaan napas panjang dan kedua bahu yang merosot pasrah. Dia berbalik memunggungi Marnie dan melenggang pergi di antara kerumunan orang-orang yang masih menonton kebakaran rumahnya.

"Tunggu aku!" Marnie berteriak memanggil. "Riku! Hei, Riku! Agen A-8989, jangan pergi. Kau harus menjawab pertanyaanku!"

Sayang sekali, Riku tidak menggubrisnya.

Lelaki berseragam tentara zaman penjajahan dengan katana yang terikat di pinggang itu menghilang. Marnie menoleh ke kanan dan kiri, tetapi tidak berhasil melacak keberadaan lawan bicaranya barusan.

"Apa jangan-jangan dia memang setan neraka, ya? Dasar aneh. Neraka ini juga sama anehnya," Marnie menggerutu atas neraka yang sungguh berbeda dari bayangannya selama ini.

Memang benar, neraka ini memiliki kobaran api. Namun, api itu tidak membakarnya. Bukan berarti Marnie ingin dibakar api neraka untuk selamanya juga.

"Pikiran ngawur," dia merutuki diri sendiri.

Sesaat kemudian, sepasang manik coklatnya menangkap sesuatu. Sudah ribuan kali Marnie menyaksikan rumahnya dilalap api, tapi baru sekarang dia menemukan sebuah pintu yang seolah memanggilnya.

Pintu ini berbeda dari semua yang terjejer rapi di lorong rumah sakit. Tampilannya memang sama – persegi panjang, berwarna cerah, dan tampak sangat normal. Tetapi ada rasa yang mengganjalnya.

Marnie mendekat. Suara langkahnya tertelan oleh kobaran api di belakang yang mengaung mengerikan. Dengan satu tangan pada gagang pintu, Marnie mendorongnya terbuka.

"Kenapa begini lagi?"

Marnie ingin sekali menjambak rambutnya yang memang diikat berantakan. Dia keluar dengan muka masam dan penuh rasa frustrasi pada langkah kakinya yang berat.

Seketika itu juga, sebuah suara yang tak asing tertangkap oleh telinganya. Riku berjalan cepat hingga mereka kembali berhadapan. "Bagaimana kau bisa keluar dari duniamu?"

Tajamnya mata tentara Jepang itu membuat Marnie mundur satu langkah. "Aku hanya membuka pintunya. Memangnya kenapa? Ini kan lorong rumah sakit yang tadi."

Tiba-tiba saja, Riku menarik tangannya. "Kau harus kembali ke duniamu."

"Itu yang aku inginkan. Aku harus menemui ibuku. Tolong bantu aku keluar dari sini."

"Maksudku bukan itu," Riku menggeram. "Kau sudah mati dan sekarang kau punya duniamu sendiri di balik salah satu pintu labirin ini, sama seperti semua roh bersalah yang terperangkap di sini. Kembali ke sana."

Marnie mencoba melepaskan genggaman Riku dan sebisa mungkin menghentikan laju mereka. Dia tidak mau kembali ke sel terkutuk itu. Dia tidak mau mengulang mimpi buruk itu.

Berlari menyusuri lorong rumah sakit yang tak berujung. Kemudian masuk ke salah satu ruang rawat, menemukan kegelapan yang pekat sebelum kobaran api kembali membakar rumahnya.

Marnie tidak mau.

"Lepas!"

Dengan sekuat tenaga, Marnie menjambak rambut Riku yang terbilang pendek, mengakibatkan lelaki berseragam tentara itu untuk terhuyung ke samping. Perempuan berpiyama itu berhasil melepaskan diri, namun tangan Riku kembali terulur dengan niatan untuk menariknya balik.

Marnie memekik. Lari tunggang langgang sebelum Riku menjebloskannya ke dalam dunia di balik pintu yang menurutnya tidak lebih dari sebuah neraka – namun dalam versi yang sedikit berbeda.

Penasaran akan sejauh apa jarak di antara mereka, Marnie menoleh ke belakang.

Riku tidak berlari sepertinya. Dia melangkah santai. Akan tetapi, pedang panjang yang sedikit melengkung itu sudah ditarik keluar dari sarungnya. Dengan katana di tangan, seringai lebar di bibirnya, dan pandangan yang penuh dengan niat membunuh.

Riku mulai berburu.

Rasa panik dan takut menjadi bahan bakar Marnie untuk memaksa kakinya bergerak. Dia harus tidak boleh tertangkap oleh setan neraka dengan wajah tampan dan pakaian yang ketinggalan zaman itu.

Setelah berbelok ke kanan dan kiri secara acak, berharap Riku kehilangan jejak visualnya, Marnie memilih salah satu pintu di lorong rumah sakit itu. Tidak ada pilihan lain. Mungkin dia akan masuk ke dalam dunia neraka milik orang lain. Itu lebih baik ketimbang lehernya ditebas oleh katana Riku.

"Eh, bukankah dia bilang aku sudah mati? Terus kenapa aku harus takut padanya?!" Itulah yang ada di benak Marnie ketika kegelapan ruangan itu menelannya.

Sedetik kemudian, Marnie terduduk di jok belakang sebuah mobil.

"Sudah bangun, Mbak?"

Seorang bapak-bapak kumisan di jok depan bertanya. Mereka berkontak mata melalui kaca cermin yang menggantung.

"Macetnya parah banget. Mungkin baru bisa keluar tol dua jam lagi. Kalau mau tidur lagi nggak apa, Mbak. Nanti saya bangunin kalau sudah sampai."

Marnie tidak menggubris perkataan si sopir taksi. Dia membeku. Kedua matanya melihat warna merah darah pada langit yang seharusnya biru cerah. Pantulan di cermin kecil yang menggantung di dekat sopir juga menyita perhatiannya.

Itu bukan matanya.

Itu bukan wajahnya.

Ini bukan tubuhnya.

'Apa yang sebenarnya terjadi?'

Marnie terjebak macet di dalam tubuh yang bukan miliknya.

Next chapter