1 Jiwa yang Mengetsa

Awal kehidupannya, ketika waktu hanyalah sebuah konsep, dipenuhi dengan cinta, dan ucapan kasih sayang menandainya untuk pertama kali.

'Putraku'

'Samael'

'Malaikatku'

Kata-kata itu muncul di dadanya tepat di mana hatinya seharusnya berada, menjalar dari leher hingga bahu kanannya, dan di pinggul kirinya. Besar dan tebal, berupa garis lembut namun tegas, lebih sempurna dari apa pun, dalam bahasa simbolis yang mungkin akan dikenal manusia sebagai Enochian. Tanda dari Ayah dan Ibunya. Tanda itu terasa hangat ketika mereka memanggilnya, ketika mereka memikirkannya.

Tanda itu akan terlihat, setiap kali mereka menyentuhnya.

'Kakak' muncul setelahnya. Sama besar dan tebalnya, meski tidak sebegitu sempurna. Tanda itu terus tumbuh dan tumbuh di bahu kirinya, tepat di atas titik di mana sayapnya menyeruat keluar. 'Lucifer', mereka memanggilnya, setelah dia menciptakan bintang pertamanya yang bersinar begitu terang di semesta yang kosong. Sang pembawa cahaya, sebuah gelar, dan itu melekat di lengan kirinya. 'Luci' dan 'Lu', sama indahnya, mengetsa di belakang lutut kanan dan pergelangan kakinya.

Entah sudah berapa milenia berlalu sebelum Ayahnya menciptakan manusia.

Dia bertemu Eve di sebuah kebun. Sang wanita pertama. Dia yang manis memberinya lebih dari sebuah senyuman. Kemudian, 'Luce' muncul di tulang dadanya, sedangkan Adam mengumpat 'Racun' di bawah telinga kanannya. Dia kembali ke Surga dengan senyuman dan tanpa keperjakaannya.

Dia Jatuh.

Oh, dia sungguh telah terjatuh.

'Putraku' dan 'Malaikatku', keduanya memudar. Dingin. Begitu pula dengan 'Kakak' yang mengecil dan berubah menjadi jelek. 'Samael' hampir menghilang sepenuhnya, menyisakan seiris tinta pucat, taklebih dari satu buku jari.

Dan 'Lucifer', oh, 'Lucifer' menjadi sebuah kontras yang kejam, mengerikan, menggeliat menjijikkan dengan konotasi yang sangat jauh berbeda dari makna kata itu sendiri. Dia tidak bisa – dan tidak mau – mencari tahu, jika 'Luci' dan 'Lu' juga telah menghilang dari tubuhnya.

.

Dia Jatuh, dan di Neraka, dia bangkit kembali. 'Raja' dan 'Tuanku' membentang dengan begitu keji, noda kotor yang tidak akan pernah hilang di tulang rusuk dan betis krinya, dan dia tidak tahan melihat keduanya.

.

Dia sedang berada di tahtanya yang hina ketika 'Iblis' membakar punggungnya. Tidak lama kemudian, 'Sang Musuh' mengikuti, begitu juga dengan 'Pangeran Kegelapan' dan 'Beelzebub', 'Abaddon' dan 'Belial' saling tumpang tindih, menyatu, menggeliang. Saat dia melihat 'Sang Pembohong' menyeruak di punggung tangannya – berawal dengan lengkungan yang indah dan halus, kemudian menjelma menjadi coretan kasar, dalam kata-kata yang berteriak manusia – dia murka melebihi apa pun.

Dia sombong, sangat sombong dan angkuh, namun dia tidak pernah berbohong dan tidak akan berbohong.

Maka, tanpa sepatah kata pun terucap untuk didengar setan-setan yang mengelilinginya, dia melintasi ke alam fana untuk yang pertama kalinya, mencari tahu penyebab api yang membakar kulitnya. Dalam amarah dan amukan, dia menyulut api di permukaan Bumi. Hal itu berlanjut untuk beberapa hari, hingga Amenadiel datang dan dia membiarkan saudaranya yang berlagak suci melebihi apapun untuk menariknya kembali ke Neraka.

Lucifer tertawa kencang ketika punggungnya seolah terbakar dan terbakar dan terbakar.

Dia sudah terbiasa sekarang.

.

Setelah berabad-abad dan berbagai macam kegilaan yang tidak sepenuhnya disengaja kemudian, dia merasakan suatu kehangatan usang di balik lutut kanannya dan tahu – entah bagaimana – terkadang, Amenadiel masih mempedulikannya. Sebuah perasaan aneh yang menduduki di dadanya, menyesakkan napasnya. Karena itu, ketika suatu libur yang tidak direncakan berubah menjadi sebuah pencarian untuk kalung saudaranya yang hilang, dia sepakat untuk membantu Amenadiel dengan dalih agar bisa menghabiskan waktu yang lebih lama di Bumi.

Lucifer tidak lupa untuk menertawakan dan mengolok saudaranya sepanjang waktu. Tentu saja.

.

Temannya dibunuh dan itu membuatnya bertemu dengan seorang detektif bernama Chloe Decker.

Setelah beberapa kasus pembunuhan dan tawaran seksual yang ditolak mentah-mentah, sang detektif datang menghampirinya untuk sebuah penyelidikan. Dia melepas semua pakaiannya – demi menebus kelancangannya tempo hari – dan dengan percaya diri menunjukkan seluruh bagian tubuhnya, tanpa satu tinta pun yang terlihat. Sekali lagi menawarkan dan menggoda, namun penolakan sang detektif berujung dengan kedua bekas luka di punggungnya, di mana sendi sayapnya seharusnya berada.

"Apa itu?" suara sang detektif membuatnya berhenti, "Aku serius. Apa itu?"

Sebelum jemari lentik itu menyentuh bekas lukanya, dia meraih pergelangan tangan sang detektfif, "Jangan. Kumohon."

Waktu seakan berhenti ketika Lucifer memandangnya. Semua kata-kata itu kini tampak jelas begitu mereka bersentuhan. Kedua bekas lukanya terlupakan. Karena yang bisa dilihat sang detektif hanyalah tanda yang mengetsa di tubuhnya, semua hinaan dan umpatan untuk si Iblis, juga pujian dari banyak pasangan malamnya.

Lucifer memandang 'Ibu' yang menggores pipinya dan itu adalah pertama kalinya dia sadar akan begitu banyaknya kata yang menodai dirinyanya melebihi siapa pun. Kedua matanya memohon – lebih keras dari pada kata-kata yang membekas di tubuhnya dan kata-kata yang tidak bisa keluar dari mulutnya – ketika sang detektif mengunci pandang dengannya.

"Ba-baiklah," terucap terbata-bata, dengan anggukan yang sama tak elegannya.

Lucifer melepas genggamannya dan memakai kembali topengnya, menyembunyikan kecanggungan itu dengan tergesa-gesa, "Aku pakai baju dulu. Bisa-bisa, kita ketinggalan pestanya."

Dia berbalik dan bergegas menuju kamarnya, sekali lagi memperlihatkan kedua bekas luka di punggungnya. Tetapi yang dilihat oleh sang detektif hanyalah tanda hitam yang bahkan tidak semuanya bisa dibaca karena kata-kata itu berhimpitan satu sama lain.

.

Hanya dalam beberapa bulan, kini dia telah diresmikan untuk menjadi konsultan sipil untuk Departemen Kepolisian Los Angeles.

Kata-kata yang baru pun mulai muncul di tubuhnya. 'Aneh'. 'Keren'. 'Bajingan Licik'. 'Tak Bertanggung Jawab'. 'Menarik'. 'Tampan'. 'Pencuri Narkoba'. Dia tidak keberatan dengan kata-kata itu, bahkan 'Kontol' yang diperolehnya dari Daniel dan terpampang jelas di dahinya, tepat di atas alisnya, pun tidak dihiraukannya. Namun dia sangat geli saat menyadari kalau 'Menarik' juga agak mirip dengan tulisan tangan Daniel.

Kemudian, 'Partnerku'.

Kata itu muncul begitu saja pada suatu pagi, membuat jantungnya seakan melonjak hingga ke tenggorokan. Sebuah tulisan tangan seorang wanita, begitu simpel, namun dia tidak bisa berhenti memandangnya. Lucifer sangat ingin bersentuhan dengan semua orang agar mereka bisa melihat kata itu dan dia bisa pamer. Namun, dia juga ingin kata itu menjadi sebuah rahasia kecil yang tidak akan diketahui oleh seorang pun.

Lucifer menyentuh satu-satunya kata yang bermakna, yang membekas di punggung tangan kirinya.

Tanda dari sang detektif.

.

Seorang wanita kecil yang mengenakan jaket bertulis Forensik datang dan memperkenalkan dirinya sebagai Ella Lopez. Wanita itu menambahkan 'Luce' dan 'ifer' tepat di mana Miss Lopez memukulnya ringan setelah Lucifer menemukan telepon gengam yang kemudian menjadi barang bukti dalam sebuah ember penyimpan es. Kedua kata itu terpisah sekitar satu senti meter, begitu kecil, namun tajam dalam hitamnya.

Miss Lopez sangat suka memeluk, hingga dia tidak bisa bersantai lagi setelah begitu banyak pelukan yang menjebaknya.

Dalam salah satu pelukan itu, telapak tangannya menyentuh lengan Miss Lopez yang tidak tertutup kaos, membuat keduanya melihat kata-kata yang tadinya tidak nampak. Dia menjauh, satu langkah ke belakang, tiba-tiba menjadi begitu tidak nyaman ketika Miss Lopez melihat banyaknya noda yang tidak tertutup oleh balutan setelan mahalnya. Miss Lopez mencoba menenangkannya, dan dia terpaku dalam pandangannya.

Di sinilah mereka, seorang manusia biasa dengan 'Lacur' di lehernya dan 'Aneh' di lengannya, mencoba menenangkan sang Iblis itu sendiri.

"Luce, tenanglah," ucapnya, dengan genggaman halus yang menyentakkan Lucifer.

"Aku baik-baik saja," suaranya lebih lembut dari biasanya dan kedua alisnya terkait dalam kebingungan, "Tapi, tentu saja aku mengerti. Maaf, aku terlanjur melihatnya."

"Eh? Aku tidak keberatan, kok," Miss Lopez menambahkan, menaikkan kedua alisnya, "Beneran. Maksudku, kita semua punya tanda-tanda itu, 'kan? Jadi, apa masalahnya kalau ada beberapa orang yang tidak suka, hah?"

Miss Lopez berhenti ketika Lucifer masih terdiam, dan menatapnya tajam, "Tunggu sebentar. Kau tidak menyukainya? Apa orang-orang juga menghinamu? Lucifer, aku benar-benar minta maaf. Apa kau yakin kalau kau beneran nggak apa-apa? Oh, sini, sini."

"Apa? Aku baik-baik saja, Miss Lopez. Aku ini Iblis, ingat?" dia menggeliat risih ketika Miss Lopez nemeluknya lagi. "Tapi, aku tidak mengerti. Bagaimana bisa kau merasa baik dengan semua itu?"

Miss Lopez menarik ujung kaosnya dan berbalik, meraih salah satu tangan Lucifer. Dia hendak menegur Miss Lopez – Oh, aku tahu kau menyukaiku, tapi, tertahan di ujung lidahnya – ketika kata-kata itu terlihat.

Punggungnya polos kecuali untuk seutas 'Pencuri' yang tebal dan membentang di pinggang kirinya. Tetapi, 'Sayangku' sungguh terlihat mencolok, kecil dan tajam.

"Aku suka, kok," Miss Lopez menurunkan hem kaosnya, "Soalnya aku masih bisa lihat panggilan dari ayah ibuku, padahal mereka sudah lama meninggal. Kata yang mereka kasih masih ada."

Dia teringat dengan sepasang petani dan anak lelaki mereka yang sakit-sakitan. 'Yesus- Oh Maaf' adalah yang mereka berikan. Mereka pun, telah tiada ratusan tahun yang lalu – dia harap mereka mati kebosanan di atas sana bersama saudaranya yang berbulu – tetapi, kata mereka tetap ada di telapak kakinya. Sebuah rahasia kecil yang menyebalkan dan menggelikan.

Tanpa sadar, dia menutup punggung tangan kirinya. Satu-satunya kata yang bermakna melebihi apa pun. Sebuah senyum tipi mengembang, ditahan habis-habisan.

"Lagian, kayaknya sang Iblis pun kena bully dari dulu," senyumnya begitu membutakan dan itu pun menular dengan mudah.

Manusia memang tidak pernah berhenti membuat Lucifer merasa takjub.

.

Dia menunjukkan wajah merahnya setelah Linda memaksanya, dan 'Iblis' menyeruak, panas api membakar punggungnya.

Setelah beberapa minggu menghindari segala jenis cermin, setelah siang dan malam mendambakan suatu hukuman, Lucifer pun berharap akan ada 'Pembunuh' yang teretsa dengan jelas. Sekaligus merasa takut jika kata itu muncul benar-benar muncul di tubuhnya.

.

Ibunya kabur dari Neraka dan bukannya kutukan yang muncul di tubuhnya, 'Putraku' dan 'Malaikatku' malah perlahan tumbuh lagi, hangat yang mungkin dirindukannya. Lucifer tidak terlalu memikirkan hal itu. Tetap saja, dia memainkan melodi yang riang pada malam itu.

Sayangnya, itu tidak bertahan cukup lama, karena yang datang selanjutnya adalah amarah. Pada Ibunya, yang mencampuri kehidupannya dan memaksanya untuk kembali ke Surga. Pada Amenadiel, yang membiarkan kecemburuan merasukinya setelah semua cinta yang dicurahkan oleh sang Ibu untuknya. Pada Ayahnya, yang membuat sang detektif dan sengaja mengatur agar dai bisa bertemu Lucifer untuk memanipulasi dirinyanya lagi.

Pada sebuah kasus di rumah sakit jiwa, dia bertemu seorang pasien yang dipanggil dengan nama God Johnson. Dia berbicara sebentar, cukup kesal karena seorang manusia yang fana berani berlagak seolah-olah Ayahnya dengan lancang. Dia menatap kedua mata pasien itu dan bertanya, mencari sebuah pengakuan dosa.

"Kita sedang lomba melotot? Kau tahu, aku cukup hebat di bidang ini."

Sebelum Lucifer bisa mencari tahu lebih dalam, seorang staf rumah sakit datang dan menyuruhnya keluar.

"Senang bertemu denganmu, Samael." Dan Lucifer tidak ingin mempercayai hal itu.

Sungguh, dia tidak ingin percaya. Tetapi, kata itu kembali terasa hangat dan menghitam, setelah ribuan tahun hanya berupa coretan pudar. Kemarahan yang menyesakkan dada setelah dia sadar kalau Ayahnya bisa saja mengucapkan semua yang dikatakan oleh God Johnson menjadi satu-satunya hal yang membuatnya berhenti memikirkan tinta yang menghitam di lututnya.

Kemudian – dengan pedang yang menyala terang di genggaman dan tangan halus sang Ibu di lehernya – mereka berdiri berhadapan untuk terakhir kalinya. Sekarang, dia bahkan tidak bisa membenci Ibunya lagi.

"Malaikatku, aku akan merindukanmu …" suara Ibunya yang bergetar meghancurkan dirinya membuat Lucifer tidak bisa berbicara, "… sangat merindukanmu."

Dia memotong kenyataan dunia itu sendiri dan cahaya Ibunya menghilang.

Entah apa yang telah terjadi. Lucifer terbangun di sebuah gurun, hanya memakai celananya yang menggantung rendah dan kulitnya yang terbakar oleh sang mentari. Dia memandang ke atas langit ketika 'Malaikatku' kembali terasa, tetapi kedua sayap yang membentang di punggungnya membuatnya murka lebih dari apa pun di dunia ini.

.

Lucifer tidak pernah merasa cemburu.

Yah, kecuali saat Daniel mencoba mendekati sang detektif lagi. Maksudnya, dia tidak pernah merasa cemburu sebelum itu. Kecemburuan adalah suatu konsep yang baru dialaminya secara langsung. Atau mungkin, baru saja ada orang yang menjelaskan perasaan itu padanya.

Namun, sekarang dia merasa cemburu pada Maze dan tubuhnya yang tidak ternoda. Murni. Dan bukankah itu sangat ironis?

Mereka yang murni tanpa noda adalah mereka yang tak berjiwa.

Maze, ribuan tahun usianya, lahir dan berjaya di Neraka, hanyalah seorang setan. Tidak pernah sekali pun dia melihat adanya suatu tanda di tubuhnya. Berapa kalipun, ribuan tahun lamanya, mereka selalu bersentuhan, dengan dia di dalamnya, atau sebaliknya, di neraka, di Bumi, Maze tidak pernah tertandai.

Dan kini, mereka berdua duduk di sofa sang dokter, dengan darah yang belum mengering akibat pukulan dan tenganyan mereka tukarkan sebelumnya. Dokter Linda terdengar sangat kecewa, "Maze marah karena kau memanfaatkannya."

"Tentu," dan Lucifer, sama keras kepalanya, bahkan tidak memikirkan betapa gentingnya kata-kata itu.

"Apa kau pernah, sekali saja, berpikir bagaimana hal itu mempengaruhinya?"

"Tentu saja. Kupikir dia akan merusak semuanya." Sudah jelas, 'kan? Karena Maze itu setan yang diciptakan di perut Neraka.

"Maksudku perasaannya, Lucifer," ucap Linda, kedua tangannya mengepal erat.

"Apa?"

"Dia pikir, kau akan meninggalkannya," Dokter Linda menatap matanya, mengunci dengan kejam, "Dia pikir kau tidak peduli lagi padanya."

"Dia itu setan, tidak punya perasaan. Dan itu tidak pernah mengganggunya se…" ujung jari Lucifer bersentuhan dengan tangannya, dan dia menoleh pada Maze, memandangnya lekat.

Memandang akan betapa diamnya Maze, akan rambutnya yang berantakan, akan darah yang mengotori wajahnya, akan air mata yang mengalir di pipinya. Kemudian, Lucifer memandangnya lagi, benar-benar melihat, dan mencermatinya, pada sebuah noda di rahang Maze, dan dia tidak bisa berpaling.

Untuk sekian detik Lucifer bertanya-tanya, siapa orang yang menandai Maze seperti itu, dan pikiran itu menghilang sama cepatnya. Dia tidak pernah menganggapnya sebagai apa pun, bahkan dia sudah tidak tahu lagi dia menganggap Maze sebagai siapanya. Tetapi, bagi Linda dan keturunan sang detektif, itulah Maze.

Kata itu sungguh mengejutkan Lucifer hingga dia tidak berpikir bagaimana bisa seorang setan yang seharusnya tidak memiliki jiwa mendapat sebuah tanda seperti itu.

"Oh. Mazikeen. Aku tidak tahu …" Maze menoleh dan akhirnya memandangnya, karena hal itu juga, bukanlah kata-kata yang seharusnya pantas untuk diucapkan Lucifer, "Harusnya aku tahu."

'Sahabat'. Tertutup oleh darah dan air mata, sebuah noda di rahangnya.

.

Marcus Pierce muncul, dan beberapa waktu kemudian, Lucifer memangilnya dengan nama Cain, setelah pria itu bangkit dari kematian.

Dengan beberapa gelas yang mereka nikmati bersama, keduanya bersepakat untuk menghilangkan tanda kutukan di lengan Cain. Dia menatap pria itu dengan kebingungan saat mereka bersentuhan setelah usaha mereka dalam pembunuhan/bunuh diri. Untuk sang pembunuh pertama yang dikutuk dengan keabadian, kulit Cain yang bisa dilihatnya tidak tertutup dengan hinaan seperti miliknya.

Malah, Cain ditandai dengan kasih sayang dan ejekan canda, itu pun tidak banyak. Satu-satunya yang menyakitkan adalah sebuah tanda yang diberikan oleh Amenadiel atas perintah Ayahnya. Melingkar. Membakar.

Semua menjadi sangat kacau ketika Cain membunuh Charlotte dan tidak pernah merasakan penyesalan karenanya.

Lucifer menngenggam tangan Cain hingga tulang tangannya patah dan remuk, kemudian dia mendorong pisau dari Neraka itu hingga menusuk dada Cain. 'Goblok' di lehernya menjadi satu-satunya pengingat akan betapa tidak berbahayanya Cain sebelum semua kekacauan ini terjadi. Dia berjongkok di sebelah Cain yang terbaring tak berdaya, menggertakkan janji dan hukuman yang akan membusukkannya dalam kutukan abadi alam lain yang menantinya.

Api Neraka menyala di kedua mata Lucifer dan meretak di kulitnya ketika Cain mati.

"Lucifer," sang detektif memanggil dan Lucifer berpaling kepadanya. Kedua mata sang detektif terbuka lebar, membisik, "Semuanya nyata."

Dia bahkan tidak menyadari jika wajah iblisnya telah kembali, tetapi rasa membakar di punggungnya menjadi sebuah pengingat yang terlampau kejam.

.

Selama Lucifer terkurung dalam kepedihan karena penolakan sang detektif, Eve kembali turun ke Bumi. Kembali hidup dengan keriangan yang menyilaukan.

Eve menerimanya, sungguh menerima segala bagian dari dirinyanya. Dengan semua kekurangan dan celaan yang hina, dengan wajah iblisnya, dengan perbuatan yang tak disesalinya setelah membunuh anaknya, Cain. Eve menerimanya. Dia menjadi buta karenanya dan Eve menjadi sebuah pelarian. Kata dari Eve sekali lagi membakar tulang dadanya.

Tetapi, kebencian di hatinya kini telah mekar sempurna, dan hal itu membusuk di dalam jiwanya.

Dengan gigi yang bergertak dan api di kedua matanya, Lucifer bertanya, "Kenapa kau tidak membenciku?"

Dan entah bagaimana, untuk suatu alasan yang sama sekali tidak bisa dipahami Lucifer, Eve dengan entengnya memuntahkan, "Karena aku mencintaimu."

"Seharusnya, kau tidak melakukannya."

Dia semakin membenci dirinya sendiri.

.

Ramalan yang dbualkan pendeta itu rupanya menjadi kenyataan dan setan-setan berkeliaran di Bumi.

Dalam wujud iblisnya, dengan sayap mengerikan yang membentang dari punggungnya, dan suara terdistorsi, sang Raja Neraka memerintahkan mereka untuk kembali pulang. Senyum kecil sang detektif terasa bagai sebuah pengampunan dan pengakuan yang melepaskan kejahatan dari si Iblis.

Beberapa waktu kemudian, di atas balkonnya tempat tinggalnya, Lucifer memandang gemerlap kota yang disebutnya sebagai rumah.

"Jadi, Charlie sudah kembali ke Linda dan Amenadiel. Jadi, kau tahu, Ini sudah berakhir …" sang detektif menghampirinya, memastikan, sementara Lucifer masih terdiam, "… 'kan? Apa ini sudah berakhir?"

"Aku akan bilang, ya, Detektif, tapi aku akan berbohong. Dan …" dia mengambil napas panjang, berbalik menghadap wanita pujaannya, "Kita berdua tahu kalau aku tidak pernah berbohong."

Mereka memandang satu sama lain dan Lucifer berharap kalau waktu akan berhenti.

"Aku harus pergi."

Sang detektif memohon dan memohon, air mata mengalir di pipinya. Tetapi, keputusan Lucifer sudah dibuat dan keyakinan itu lebih kuat dari semua yang pernah dilakukannya. Dia mengusap air mata sang detektif dan tinta-tinta yang mengetsa itu sangat jelas untuk mereka lihat.

"Selamat tinggal."

Sang detektif menutup matanya, sayap Lucifer mengepak kuat.

Dia terbang.

Dia terjatuh.

Dan hal itu tidak berarti apa pun, karena Neraka tidak berada di bawah, maupun di atas.

Di Neraka, 'Sayangku' membakar dan menandai jiwanya.

Selamanya.

.

Hal ini terjadi beberapa juta tahun kemudian, atau mungkin hanya dalam beberapa kedipan mata, waktu sungguh terasa berbeda di Neraka.

Saat itu, Lucifer sedang duduk di tahta yang dibencinya dan memandangi abu yang mengambang di udara. Dia merasa pergelangan tangannya menghangat. Di sana, tepat di samping 'Nakal' yang elegan, sebuah kata baru muncul dalam coretan ayam. Dia menggerakkan tangan dan menggelengkan kepala, dengan susah payah mencoba membacanya. Kemudian Lucifer tertawa kecil dan menangis. Air matanya mengalir, tetapi dia tersenyum sangat lebar hingga pipinya sakit. Terlebih lagi dadanya.

'Paman', kata itu terasa sangat hangat dan menjadi pekat.

avataravatar