webnovel

9 Siapa lelaki itu?

Jeni tampak bingung dengan raut wajah gelisah. Ia memijat pelipis yang terasa berat.

'Mengapa harus ada janin? Bukankah saat berhubungan dengan Mas Jefri aku selalu minum obat kontrasepsi? Bagaimana ini? Aku harus menjawab apa pada, Mamah?' batin Jeni yang terasa resah.

"Kenapa kamu diam saja, Jen?" bentak Karin yang semakin dibuat geram atas diamnya Jeni. Perasaannya sangat hancur, ia merasa telah gagal mendidik anaknya. Setelah rumah tangganya yang gagal dan hancur ia seolah tak memiliki harapan untuk masa depan yang cerah setelah kabar yang menyakitkan ini.

Jeni tersentak kemudian menundukan wajahnya. Bulir beningnya kembali tumpah di pipi tanpa bisa dibendung kembali. Ia tak bisa mengeluarkan kata-kata yang tersendat di tenggorokan karena kisah pahit yang terlalu menyayat perasaannya.

Calon sarjana yang digadang-gadang akan disematkan pada Jeni tahun depan seolah dipatahkan dengan janin yang kini hidup di rahim Jeni.

"Kenapa kamu hanya menangis, Jeni! Anak haram siapa yang hidup dalam rahimmu?" tanya Karin dengan penuh kekecewaan serta pasang maniknya yang basah oleh air mata.

"Mah tolong beri aku waktu untuk menjelaskannya. Tidak untuk sekarang." Jeni membalas ucapan Karin dengan suara isak tangis yang mengiringi nada suaranya.

Karin yang merasa lemah dan tak berdaya itu, merasa jika lututnya bergetar dan tak mampu lagi menopang tubuhnya. Ia kemudian duduk dengan lesu di atas kursi dekat Jeni, raut wajahnya sendu. Ia merasa hancur dan harapannya musnah begitu saja ditelan kegagalan.

Di sela-sela kesedihan yang tengah dirasakan keduanya, masuklah dua orang petugas medis untuk memeriksa Jeni. Langkah kedua suster itu pun diikuti Jefri di belakangnya. Lelaki dewasa yang bertubuh tinggi dan memiliki paras tampan itu terlihat mengkhawatirkan keadaan Jeni saat ini.

Jefri memperhatikan dengan seksama saat petugas medis memeriksa keadaan Jeni yang memperbolehkannya pulang sore ini.

Namun, ada hal yang membuat Jefri heran tatkala petugas medis menyatakan jika Jeni harus banyak istirahat dan minum vitamin serta susu agar segera vit. Lantas penyakit apa yang membuat Jeni tak sadarkan diri tadi pagi? Ah, sepertinya Jefri tak mau ambil pusing. Yang terpenting baginya saat ini adalah dapat kembali bertemu Jeni setelah sebulan kehilangan jejak.

"Kenapa kamu terlihat sedih, Jen? Bukankah ada kabar baik karena kamu akan segera pulang." Jefri menatap sendu wajah Jeni. Ingin rasanya ia mengusap keningnya akan tetapi urung ia lakukan karena ada Karin yang tengah duduk di samping jeni.

'Banyak sekali perubahan dari diri kamu, Jen. Padahal kita baru satu bulan tidak bertemu tapi kamu terpihat jauh dari rona bahagia,' gumam jefri dalam hatinya.

"Aku tidak kenapa-kenapa, Mas. Aku senang kok karena akan segera pulang," jawab Jeni tanpa berani membalas tatapan Jefri. Ia masih saja menundukan wajahnya, menyembunyikan rasa sedihnya dan yang pasti lelaki yang berdiri di sampingnya itu tidak boleh mengetahui masalah yang tengah dihadapinya saat ini.

'Kenapa mereka begitu akrab? Apa Jeni memang sudah mengenal asisten Wili?' batin Karin bertanya-tanya. Bagaimana isi dadanya tidak penasaran saat mendengar Jeni mengucap kata Mas Jefri dengan akrabnya. Ia menerka jika ada sesuatu diantara mereka.

"Saya akan mengantar kamu pulang," ucap Jefri dengan hangat.

Sementara Jeni, ia merasa pertemuannya dengan Jefri tidak di waktu yang tepat. Terlebih dalam keadaan hati yang kalut karena hasil pemeriksaan hari ini cukup menyayat perasaannya.

Pukul tiga sore, Jeni yang sudah bersiap-siap akan segera pulang tampak duduk di kursi roda yang didorong oleh Jefri dengan penuh perhatian. Lelaki bertubuh tinggi itu masih mencintai Jeni dan tak mampu melupakan cinta terlarangnya.

"Terima kasih banyak ya, Pak Jefri. Sudah mengantar dan membayarkan pengobatan Jeni di rumah sakit. Sampaikan juga pada Wili rasa terima kasih saya," ucap Karin saat mereka sudah sampai di depan rumah.

Tampaknya Jefri tidak turun dari mobilnya karena ia harus segera ke kantor saat hari akan segera berakhir.

"Sama-sama, Tante. Mohon maaf saya tidak bisa mampir karema ada urusan kantor yang harus segera saya selesaikan," balas Jefri sambil mengukir senyuman ramah di bibirnya.

Setelah memastikan Jeni berjalan masuk ke dalam rumah bersama Karin, Jefri segera tancap gas karena clientnya sudah menunggu kepastian darinya.

Saat malam tiba, Jeni yang kini sudah berada di rumahnya tampak duduk termenung di depan rumah dengan memeluk lututnya. Ia merasa gelisah dengan hidupnya sendiri. Pasang maniknya tampak berkaca-kaca, perasaannya menggebu dengan penyesalan yang mengelilingi di pikirannya.

'Mengapa harus ada janin dalam rahim ini, Tuhan! Apakah ini adalah hukuman untukku? Aku tidak mau memiliki seorang anak secepat ini, aku bahkan belum menikah dan siapa yang akan mau menjadi ayah dari anakku nanti? Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan dengan kekacauan hidupku ini? Berilah aku jalan yang baik yang harus aku lakukan, Tuhan!' lirih Jeni dalam hatinya. Tanpa terasa bulir bening itu kembali luruh di pipi Jeni, membasahi dagu sampai ke lehernya.

Nyatanya penyesalan yang kini tengah ia rasakan tak akan mampu mengubah kenyataan pahit yang kini menimpa hidupnya. Keretakan yang terjadi dengan ibunya pun dirasa tak akan cepat membaik setelah ditambah dengan masalah baru yang cukup menambah kemurkaan Karin.

Di tengah-tengah lamunan Jeni malam ini, tiba-tiba masuklah kendaraan roda empat ke halaman rumah Jeni. Dengan cepat, Jeni menghapus kasar pipinya yang basah karena ia tampaknya mengetahui pemilik mobil mewah yang menepi di depan rumahnya.

Keluarlah dari dalam mobil mewah berwarna hitam itu, lelaki tampan yang selalu menganggap didinya calon pengusaha muda yakni, Wili Azhari.

"Hai, Jen! Apa kabar?" tanya Wili tampak cemas. Ia kini duduk di dekat Jeni tanpa ragu. Mereka yang sudah dekat seolah tak lagi canggung mengungkapkan rasa sayangnya.

"Kabarku baik, Wil." Jeni berusaha tersenyum di hadapan Wili. Sementara isi hatinga begitu kalut dengan kesedihan.

"Aku sudah menghubungimu berkali-kali, mengapa kamu tak menjawab teleponku? Aku sangat mengkhawatirkanmu hari ini. Aku tak bisa keluar kantor karena harus menggantikan tugas Bang Jefri. Padahal, aku sangat cemas karena tak ada kabar apa pun dari kamu," ungkap Wili dengan keresahan yang sempat menerpa isi hatinya.

Namun, sepertinya Wili mulai merasa lega saat ia dapat memastikan bahwa Jeni dalam keadaan baik.

Mendengar ungkapan Wili, Jeni bahkan baru saja sadar kalau ia belum sempat memegang ponselnya hari ini. "Aku lupa menyimpan ponselku, Wil!" balas Jeni dengan kelopak mata yang terlihat sembab.

"Jen!" Wili memegang kedua sisi pipi Jeni. Ia memandang wajah kekasihnya itu yang terlihat berbeda malam ini.

"Katakan padaku, apa yang membuat bola matamu merah dan basah?" Wili bertanya sambil memandang manik Jeni yang masih terlihat merah. Ia terlihat cemas.

Next chapter