8 8 Oh Jeni!

Kendaraan roda empat yang terlihat mewah itu melaju dengan cepat menuju rumah sakit. Jefri yang sangat khawatir dengan keadaan Jeni setelah sekian purnama tidak bertemu dan akhirnya ia dapat menatap kembali wajah cantik mantan istri simpanannya. Ia sudah mencoba mencari Jeni namun hasilnya selalu nihil sampai titik terang itu ia temukan saat Bu Karin menelpon Wili yang tak sengaja menaru ponselnya sembarangan di meja ruang tengah, di rumahnya.

Saat melihat Wajah mantan istrinya yang terpajang di layar ponsel adiknya, gegas ia menghubungi hacker guna melacak titik lokasi nomor Jeni dan seketika pula lokasi rumah Jeni berada dalam genggamannya.

Kini lelaki bertubuh tinggi itu akhirnya menemukan wanita yang sangat ia cintai setelah istrinya. Namun, pertemenuannya kali ini di sambut dengan duka melihat keadaan Jeni yang sangat lemah.

Sesampainya di rumah sakit, terlihat beberapa petugas berseragam serba putih bergegas membawa Jeni ke ruang IGD guna memeriksa keadaannya.

"Tolong lakukan yang terbaik untuk pasien!" pinta Jefri pada salah satu petugas yang hendak menangani Jeni.

"Baik, Pak. Mohon untuk menunggu di luar. Kami akan segera memerika pasien," jawab petugas berseragam serba putih itu.

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, matahari pun sudah bergulir ke ufuk barat, dan kini di ganti dengan rembulan. Pertanda malam telah tiba.

Jefri yang seorang CEO di salah satu perusahaan di Jakarta dengan segudang kesibukkan dengan suka rela menunggu Jeni sadar dari tidur panjangnya. Rasa khawatir kian mencabik-cabik perasaannya ia bahkan tak tega melihat jarum suntik menusuk lengan kanan Jeni yang mulus. 'Sakit apa Jeni? Coba saja ia tetap memilih menjadi istriku mungkin ia akan hidup enak bergelimang harta dan yang pasti tak akan aku biarkan ia terkapar seperti ini,' batin Jefri. Ia menyenderkan kepala pada bahu kursi. Memijat pelipis nya dengan jemari yang terasa berat setelah berjalan kesana kemari guna mengurus ruang rawat inap untuk Jeni. Ruang VVIV nomor 2 itulah yang didapatkannya. Pelayanan terbaik yang ia suguhkan untuk Jeni.

"Permisi, Tuan. Pasien atas nama Jeni sudah sadar. Dan kami akan segera memindahkannya ke ruang rawat inap."

Salah satu petugas berseragam serba putih itu memberikan informasi.

"Oke. Terima kasih!" jawab Jefri menyeringai senang. Akhirnya wanita idamannya sudah sadar.

"Bu. Ibu duluan ke kamar Jeni ya, saya akan membeli makanan dan segera menyusul," ucap Jefri pada Bu Karin.

Bu karin mengangguk dan turut menyeringai senang. Sejenak ia melupakan masalah yang tengah menghadang hubungannya dengan Jeni, bahkan ia menduga jika sakitnya Jeni berawal dari masalahnya kemarin. Sungguh rasa bersalah sebagai seorang Ibu kian menghujam perasaannya. Gegas ia memeluk erat tubuh putri satu-satunya itu setelah mereka berdua sampai di ruang rawat inap VVIV.

"Maafkan Mamah, Jen. Ini semua gara-gara, Mamah," ungkapnya merasa bersalah. Sepasang manik terlihat basah dan mengeluarkan bulir beningnya.

"Tidak, Mah. Aku yang salah. Maafkan aku, Mah. Aku sudah membuat Mamah kecewa." Tak jauh berbeda dengan Bu Karin, Jeni pun ikut dalam suasana kesedihannya malam itu. Ia bahkan tak mampu membendung air mata kesedihannya. Merasa bersalah atas tingkah lakunya. Andai saja ia dapat menerawang masa depan, mungkin ia tak akan pernah sudi melakukan kawin kontrak dengan seorang CEO. Tapi, waktu sudah berlalu, masalah sudah menghampiri kehidupannya. Hanya penyesalan yang kini ia ratapi. Harapan membahagiakan ibunya pupus sudah setelah kekecewaan yang telah ia suguhkan.

"Sudahlah, Jen. Kita lupakan sejenak masalah kita. Jangan pikirkan lagi. Mamah ingin kamu segera pulih dan kembali ke rumah," ucap Bu Karin menenangkan perasaan anaknya.

Tak lama terdengar suara pintu dibuka, petugas memasuki ruangan dan menyampaikan pada Bu Karin untuk segera menemui panggilan dokter karena ada beberapa yang yang harus di sampaikan.

"Jen. Mamah ke ruangan dokter dulu ya. Nanti ada asisten Wili ke sini. Dia sedang membeli makanan sebentar," ujar Bu Karin seraya mengusap halus pipinya yang basah oleh air mata.

Jeni mengernyitkan dahi. Ia mengangguk meskipun tidak mengerti dengan ucapan mamahnya. Kenyataannya, mana mungkin seorang mahasiswa seperti Wili memiliki aisisten. Ah, mungkin saja benar. Jeni tak mau memikirkan hal hal itu. Ia menutup kembali kelopak matanya karena kepalanya masih terasa pusing. Ia bahkan tak menyadari saat ada seseorang yang masuk ke dalam ruangannya.

"Kamu siapa?" tanya Jeni pada seseorang yang membelakanginya terlihat sedang menyiapkan makanan.

"Hai, Jen. Kamu sudah sadar sayang!" Jefri membalikkan badannya tatkala mendengar suara Jeni menyapa.

Seketika Jeni terbelalak dan terperangah melihat sosok pria yang tak asing dalam pandangannya. Ia mengucek kacar kelopak matanya memastikan jika pandangannya kali ini salah. Namun, sosok Jefri benar-benar nyata berdiri di hadapannya. Bola matanya membulat dengan mulut terbuka lebar. Mana mungkin Jefri bisa mengetahui persembunyiannya. Ia bahkan tak pernah memberikan alamat rumahnya pada pria bertubuh tinggi itu. Seketika jantungnya turut berdegup kencang. Masalah apa yang akan ia hadapi selanjuynya.

"Hei! Kenapa terkejut seperti itu, Jen!" ucap Jefri seraya mendekati Jeni.

Jeni menggelengkan kepala. Menelan saliva. "Mas kenapa bisa ada di sini?" tanyanya keheranan.

Jefri tersenyum tipis. "Kenapa, Jen? Aku bahagia akhirnya bisa menemukanmu. Kenapa kamu menghilang begitu aja, Jen? Kamu ingin menjauh dariku?" balasnya sambil memegang telapak tangan Jeni yang masih lemas.

"Tidak, Mas. Aku tidak menghilang. Aku hanya sibuk dengan tugas kampusku," sanggah Jeni. Ia akan berusaha menyembunyikan hubungannya dengan Wili. Ia tak mau Jefri marah dan berbuat macam-macam.

Sekali lagi Jefri tersenyum tipis penuh misteri. "Yakin sibuk dengan tugas kampus?"

"Iya, Mas. Memangnya sibuk apa. Sehari-hari aku hanya kuliah dan ngurusin jualan onlin shopku, Mas," jawab Jeni pelan.

Jefri mengusap lembut kening Jeni kemudian mengecupnya. "Ya sudah. Makan dulu ya, aku tadi belikan makanan agar kamu cepat pulih. Kamu terlihat lemas sekali Jen. Matamu pun terlihat pucat. Kamu sering sakit?" celotehnya sambil mengambil makanan yang ia beli kemudian menyuapkannya pada Jeni.

"Oh iya, Jen. Jadi sekarang kamu pacaran sama W--"

Belum sempat Jefri meneruskan pertanyaannya, tiba-tiba saja Bu Karin masuk ke ruang kamar dengan wajah sedu penuh kesedihan. Seketika pula memotong obrolan Jefri dan Jeni malam ini.

Bu Karin masuk ke dalam ruangan dengan mata berkaca-kaca seolah sedang memendam kesedihan.

"Kenapa, Mah?" tanya Jeni resah.

"Maaf, Pak Jefri. Saya mau bicara penting sama anak saya," pinta Bu Karin berharap Jefri segera keluar ruangan.

"Oke, Bu. Saya keluar ya," jawabnya sopan. Kemudian keluar memberikan waktu untuk Ibu dan Anak itu.

"Jen! Kenapa harus sejauh ini!" ucap Bu Karin tak mampu lagi membendung kesedihannya. Bulir bening akhirnya kembali luluh membasahi pipinya.

"Kenapa, Mah?" tanya Jeni semakin gelisah.

"Hasil pemeriksaan menyatakan, ada janin yang tengah hidup di dalam rahimmu!" Seru Bu Karin dengan perasaan hancur.

"Apa!" Jeni sangat terkejut. Bak sudah jatuh tertimpa tangga. Masalah hilir berganti menghampiri.

"Siapa laki-laki yang membuatmu hamil, Jen?" lanjut Bu Karin penuh ketegasan.

avataravatar
Next chapter