1 The First Day

Lagu EXO berjudul MAMA yang menjadi nada dering alarm harian di ponselku berbunyi dengan keras untuk ke-sekian kalinya. Aku terpaksa membuka mata dan bangun dari tidur setelah berulang kali menekan tombol snooze agar benda persegi panjang itu tak merengek kepadaku secara terus menerus. Selanjutnya, aku menggeser tubuhku dengan malas, mendekati Ipeh, Iphone X yang menjadi temanku sejak Samsul rusak. Selepas mengumpulkan pasukan nyawa ke dalam raga, aku beringsut menuruni kasur ukuran queen-sized ini. Setelahnya, aku berjalan dengan menyeret kaki, bergerak meninggalkan kamar untuk mandi.

Selang beberapa saat, aku kembali ke kamar. Aku segera mengganti pakaian dengan seragam putih abu-abu yang digantung di pintu lemari. Senyuman lebar perlahan mengembang di bibirku saat aku melihat pantulan diriku yang telah mengenakan seragam putih polos berlogo osis warna cokelat serta rok polos selutut berwarna abu-abu beserta atributnya.

Akhirnya, hari ini aku resmi menjadi anak SMA setelah mengikuti masa orientasi siswa satu minggu kemarin. Apalagi, sekarang aku bersekolah di tempat yang sudah aku idam-idamkan sejak lama. Bisa kalian bayangkan bagaimana perasaanku sekarang, kan?

"Anj*r, ternyata udah mau jam setengah tujuh. Bisa telat kalo gue gak siap-siap sekarang!"

Lantas, aku menabur bedak di wajah serta memoles lipbalm yang mengandung pewarna di bibir dengan tergesa-gesa. Habis itu, aku bangun dari kursi itu sambil mengikat rambut dengan kunciran membentuk ekor kuda. Usai memastikan semua barang yang diperlukan telah masuk ke dalam tas, aku bergegas meninggalkan kamar.

Aku berjalan menuju ruang makan. Sesampainya di sana, aku menempatkan bokong pada kursi di sebelah papa. Beliau nampak sedang sibuk sendiri dengan tablet elektronik di tangannya. Kemudian, mataku berpindah kepada bunda dan Zalina kembaranku. Kedua wanita itu sedang membuat sarapan untuk kami sekeluarga.

Tanpa sadar, bibirku bergerak membentuk sebuah senyuman getir ketika memperhatikan mereka. Keduanya kelihatan begitu akrab dan saling menyayangi satu sama lain hingga membuat hatiku merasa ... sedih? Pasalnya, bunda hampir tidak pernah menunjukkan kasih sayangnya lagi kepadaku sejak kejadian yang menimpa Zalina saat kami masih kecil.

"Kalau kamu mau, gabung aja sama bunda dan Zalin, Ze."

Aku spontan menoleh kepada papa, lalu menggeleng seraya memberikan senyuman tipis untuk beliau. "Gak usah, Pa. Lagian Zeze kan gak bisa masak. Nanti yang ada malah bikin makanannya jadi gak enak lagi."

Tangan besar yang penuh kehangatan itu menyentuh pucuk kepalaku dengan lembut. Sudut bibir ungu kehitaman itu terangkat ke atas, membentuk senyuman tipis yang menyiratkan banyak arti. Entahlah, aku tidak bisa menjelaskan maksud senyuman beliau. Yang jelas, aku yakin papa mengetahui apa yang sedang kurasakan saat ini. Mungkin.

Makanan yang dibuat bunda dan Zalina pun jadi. Mataku membulat sempurna ketika nasi goreng yang masih mengepulkan uap panas tersaji di atas meja. Bibirku pun tak mau kalah. Kedua sudutnya membentuk lengkungan lebar ke atas saat wangi khas masakan itu menyeruak masuk ke dalam hidung. Sungguh, baru mencium baunya saja sudah berhasil membuat perutku keroncongan!

"Ini untuk Zalina kesayangan Bunda," ucap bunda dengan lembut seraya memberikan sepiring nasi goreng kepada Zalina yang kini menempati kursi di sebelahku. "Yang ini untuk Papa," lanjut beliau sembari memberikan sepiring lagi untuk papa. Setelah itu dia menyendokkan lagi nasi goreng ke dalam sebuah piring yang kemungkinan adalah bagianku.

Namun ternyata ... dugaanku salah. Piring itu adalah milik bunda sendiri. Yang artinya, aku harus menyiapkan makananku sendiri seperti biasanya.

"Loh, kok Zeze gak dikasih juga, Bun?" Zalina bertanya saat bunda meletakkan piring itu di depannya. "Itu bukan buat Zeze, Bun?" lanjutnya sambil menunjuk kepada piring tersebut.

"Ah, iya. Bunda lupa, hahaha!" Setelahnya, beliau menyodorkan piring yang tadi kepadaku. "Ini, buat kamu. Jangan lupa dihabisin," ucap bunda dengan suara datar dan nyaris tanpa ekspresi.

Sementara aku, spontan bangun dari kursi lantas mengambil piring dari tangannya sambil memberikan senyuman lebar kepada wanita itu. "Terima kasih, Bunda!"

***

Kendaraan beroda empat warna hitam yang dikemudi oleh Pak Anto, supir pribadi kelurga kami akhirnya berhenti di halaman gedung utama sekolahku, SMA Bina Harapan yang merupakan salah satu sekolah bergengsi di Jakarta.

Aku mematung seketika, selepas turun dari mobil. Mataku melebar sempurna ketika melihat satu per satu objek yang tertangkap oleh pandanganku. Tak jauh dari tempatku berdiri, ada sebuah patung buku besar warna perak yang menjadi ikon kebanggaan sekolah ini. Di belakang patung tersebut, sebuah bangunan besar berlantai lima berdiri dengan kokoh. Bangunan tersebut adalah gedung utama sekolah.

Sungguh, sekolah ini keren banget!

"Zeze, ayo! Kok malah bengong, sih?" Zalina yang entah sejak kapan ada di depanku, berhasil membuyarkan lamunanku yang masih berdecak kagum dengan suasana di tempat ini. "Ayo, Ze!" Dia merengek pelan sembari menarik tanganku.

"Iya, Zalina. Ya ampun."

Meskipun sempat kewalahan, akhirnya aku dapat mengimbangi langkah cepat Zalina. Kini, kami berada di lorong deretan kelas sepuluh. Kamu berpisah di depan kelas X-1, kelas yang isinya anak-anak unggulan termasuk Zalina. Usai berpisah dengannya, aku meneruskan langkah menuju kelasku yang berjarak beberapa meter dari kelas tersebut.

Aku menghentikan langkah sejenak di depan kelas X-3, kelasku. Mataku kembali berkeliling, mencari tempat di mana ketiga teman baruku, Alea, Rashika, dan Thalia berada. Perlahan, dua sudut di bibirku mengembang ke atas, ketika ekor mataku menemukan mereka. Aku spontan membalas lambaian tangan salah satu dari tiga orang itu sambil tersenyum semringah, lalu berlari memasuki kelas dengan tergesa-gesa.

Akan tetapi, seseorang menabrak bahuku dengan keras ketika aku berada di tengah ruangan. Aku meringis sembari mengusap pelan bagian yang mulai terasa nyeri di sana. Setelah itu, aku mendongakkan kepala, memandangi orang yang menabrak ku dengan geram.

"Kalau jalan liat-liat, dong! Lo gak punya mata, ya?!" bentakku dengan nada meninggi. "Bahu gue hampir remuk gara-gara lo, Buto ijo!"

"Lah, apaan sih? Kan lu yang nabrak gua tadi. Harusnya gua yang ngomong gitu, bukan elu, Markonah!" balas si Buto ijo tak mau kalah. "Lagipula, siapa yang lu panggil Buto ijo, heh? Mana ada Buto ijo seganteng gua?"

"Bacot! Bukannya minta maaf. Gak tau apa bahu gue sakit banget sekarang? Kalau tulangnya patah gimana? Mau tanggung jawab, lo?"

Jenggala—nama orang yang kusebut Buto ijo— mengendikkan bahunya acuh tak acuh. "Ngapain gua yang harus tanggung jawab? Kan lu yang tadi nabrak gua." Kemudian, cowok yang rambutnya disemir warna hijau itu mendekatkan wajahnya padaku hingga jarak diantara kami tersisa beberapa sentimeter saja. "Apa lu sengaja nabrak biar bisa modus sama gua? Ngaku aja, Ze. Iya, kan?"

"IH, NAJISUN!" pekikku dengan lantang. Lantas, aku mendorong dadanya sekuat tenaga agar orang itu segera menjauh dariku. "Enyah lo dari hadapan gue!"

Tepat setelah aku mengomel di depan si rambut hijau, seorang laki-laki yang badannya kutilang alias kurus tinggi langsing menongolkan kepalanya di balik pintu kelas. Aku gak tahu siapa orang itu. Yang jelas, dia adalah salah satu anak nakal yang berteman dengan si Buto ijo ini.

"Jenggala, ayo buruan! Nanti kita gak bisa bolos kalau ada guru yang masuk."

Wow, aku speechless. Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan orang-orang yang bolos saat pelajaran. Masa bodoh dengan itu. Tapi, hari ini kan hari pertama jadi anak SMA. Kok bisa-bisanya mereka bolos tanpa takut kena hukuman atau semacamnya?

"Minggir!"

Jenggala bergerak melewati 'ku dan sengaja menabrak bahuku dengan keras. Dia sempat menoleh ke belakang untuk memberikan seringaian kecil yang menyebalkan ke arahku sebelum benar-benar menghilang dari pandanganku.

"Dasar manusia nyebelin! Bukannya minta maaf, malah pergi gitu aja! Udah gitu bahu gue ditabrak lagi pula! Gak tau apa kalau badan dia gede banget kayak Buto ijo! Nyebelin! Dasar nyebelin lo, kampret!"

Mulutku terus mengucap sumpah serapah untuk Jenggala sampai aku menempati kursi kosong di sebelah Alea. Cewek berambut pendek sebahu itu menggelengkan kepala dan memandangiku dengan raut yang ... heran? Entahlah.

"CK ck ck. Baru hari pertama sekolah udah ribut aja sama Jenggala."

Aku menghela napas yang panjang, kemudian menjatuhkan kepalaku di atas meja. "Habisnya, dia nyebelin banget, sih! Bahu gue ditabrak dua kali sama dia tau gak!"

In fact, aku dan Jenggala memang tidak begitu akur sejak masa orientasi siswa seminggu yang lalu. Semuanya berawal ketika kami disatukan dalam grup yang sama. Saat ada tugas yang mengharuskan kerja kelompok, dia selalu menjadi beban para anggota. Sebagai ketua kelompok, aku mau tidak mau harus berurusan dengan bocah itu. Sebenarnya, aku selalu berusaha bersikap baik dan lunak kepadanya. Tapi karena memang Jenggala ini menyebalkan tingkat dewa, aku sering kehilangan kesabaran.

Dan ya ... sejak saat itu aku selalu menghadapinya dengan penuh emosi bahkan sampai saat ini.

Intinya, Jenggala itu nyusahin.

***

Bel tanda pergantian jam pelajaran dan istirahat pertama telah berbunyi beberapa saat yang lalu. Kini, aku, Alea, Rashika, dan Thalia telah duduk berkumpul di salah satu meja kantin yang ramai. Kami masih menunggu kedatangan makanan yang kami pesan dari berbagai tempat di sini.

Aku memperhatikan teman-teman yang baru kukenal sejak masa orientasi ini. Mereka nampak sibuk sendiri dengan ponsel di tangan masing-masing. Alea mungkin sedang membalas pesan dari pacarnya yang sekolah di tempat lain. Sementara Thalia, sepertinya dia sedang membaca sesuatu yang penting, terlihat dari sorot matanya yang serius. Sedangkan cewek yang duduk di sebelahku alias Rashika, dia sedang lihat makanan yang lewat di timeline Joygram-nya.

"Makanan di Joygram enak-enak banget kayaknya. Bikin gue makin laper aja," ujar Rashika tanpa mengalihkan fokus matanya dari benda persegi panjang di tangannya. Kemudian ia melirik ke arahku sambil meletakkan benda persegi panjang itu ke atas meja. "Makanan pesenan kita mana, sih? Lama banget sumpah. Perut gue udah keruyukan, nih."

"Gimana gak keruyukan? Lo aja dari tadi pantengin makanan terus, Rashika. Padahal kita baru duduk gak nyampe sepuluh menit loh di sini," balasku seraya melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kiriku.

"Tau tuh!" balas Thalia. Setelahnya, cewek paling kalem diantara kami ini merogoh kantung roknya lalu mengeluarkan sebungkus wafer cokelat dari sana. "Nih, makan ini dulu nih. Lo rese kalo lagi laper," ucapnya sembari menyodorkan makanan tersebut untuk Rashika.

Mata Rashika berbinar-binar diiringin senyuman lebar yang mengembang penuh di bibirnya saat menerima wafer tersebut dari si cewek kalem ini. "Makasih Athalia, sayang! Emang cuma lo yang ngertiin gue huhuhu! Love you!" serunya sambil menggoyangkan kedua tangan Thalia dengan menggebu-gebu.

Aku menggelengkan kepala, keheranan saat memperhatikan tingkah laku Rashika yang kekanakan itu. Habis itu mataku berpindah ke arah lain. Sialnya, sudut netraku malah menangkap sosok Jenggala, si buto ijo yang sudah merusak suasana hatiku tadi pagi. Dia masuk ke barisan antrean di depan gerobak penjual batagor bersama tiga cowok yang kuyakini adalah teman-teman dekatnya.

"Gue gak habis pikir, deh. Kok bisa-bisanya ada orang yang bolos kelas di hari pertama masuk sekolah? Dia tuh ke sekolah cuma buat mejeng doang apa gimana, deh?" gumamku bertanya-tanya sambil menopang dagu dengan salah satu tangan. Mataku masih sibuk memperhatikan si rambut hijau dari kejauhan. "Udah gitu rambutnya diwarnain ngejreng kayak anak ayam yang dijual di depan SD pula. Padahal ada peraturannya, kan? Kita gak boleh ngecat rambut yang ngejreng kayak gitu."

"Lo lagi ngomongin siapa, Ze? Jenggala?"

Aku mengangguk pelan sebagai respon atas pertanyaan Aleara. "Padahal baru kelas sepuluh, tapi kelakuannya udah kayak yang punya sekolah ini. Gila!"

"Loh, lo gak tau, Ze? Jenggala kan emang yang punya sekolah ini!" timpal Rashika dengan menggebu-gebu. Cewek yang rambutnya digerai ini menghabiskan wafer pemberian Thalia sebelum melanjutkan kata-katanya. "Dia anaknya Pak Byantara, pemilik utama yayasan sekolah kita. Ya, menurut gue sih wajar kalau dia seenaknya di tempat ini. Wong emang tempat ini punya keluarganya kok," sambungnya.

Oh, pantas saja dia bertingkah seolah yang mempunyai sekolah ini. Ternyata memang dia anaknya pemilik yayasan, toh. No wonder, hahaha!

***

avataravatar
Next chapter