webnovel

Annoying But ...

Zerina menghela napas dalam-dalam sambil bergerak mendekati Jenggala yang masih berjongkok di meja sebelah. Kemudian dia menaiki punggung laki-laki berambut mullet itu lalu kedua tangannya terulur melingkari leher jenjang milik si pemuda.

"Anj*r berat amat lu, Ze," kata Jenggala sembari mengangkat badannya dan perempuan yang membebani punggungnya. "Lu makan apaan, sih? Sumpah, gua--Aduh!" Pemuda itu mengusap kepalanya sambil meringis setelah mendapat pukulan dari Zerina. "Zerina! Lu apa-apaan sih?!"

"Lo yang apa-apaan, sialan?! Kalau gak ikhlas ya udah gak usah bantuin gue! Jangan pake body shamming segala!" bentak Zerina dengan suara setengah meninggi. Gadis itu segera menutup bibirnya ketika mendapatkan lirikan tajam dari penjaga perpustakaan yang sedang merapikan daftar buku di sudut ruangan.

"Turunin gue sekarang, Jenggala!"

"Nggak mau," tolak Jenggala. Selanjutnya, laki-laki itu berjalan sambil membenarkan posisi Zerina di punggungnya. "Udah deh, mending lu diem daripada ngedumel gak jelas." Setelah itu ia bergerak meninggalkan perpustakaan usai berpamitan kepada penjaga yang sedang memasukkan beberapa buku ke dalam suatu rak di dekat pintu masuk.

Zerina akhirnya menurut. Dia membungkam mulutnya rapat-rapat selama Jenggala membawanya menyusuri koridor lantai dua hingga menuruni anak tangga menuju lantai satu. Gadis itu membenamkan kepalanya di antara ceruk leher lelaki itu ketika rasa nyeri bercampur pening kembali menyerang pusat otaknya. Sesekali ia meringis sambil memijat pelan salah satu pelipisnya.

"Kenapa, Ze? Pusing?"

"Hmm." Zerina mengangguk sekenanya, lalu menjauhkan kembali tangannya dari pelipis setelah rasa pening mulai berkurang. "Gue kayak pengen terbang hahaha."

"Terbang aja. Paling nanti dipatok burung," canda Jenggala kemudian tertawa pelan. Zerina ikut terkekeh menanggapi candaan yang diberikan Jenggala. "Ya nggak, lah. Paling nanti gue langsung ketemu bidadara ganteng, hahaha!"

"Lah, ngapain jauh-jauh ke langit? Kan di sini ada bidadara ganteng, Ze. Namanya Jenggala Kalandra Byantara."

Zerina mengernyitkan kening sambil melirik Jenggala dengan tatapan yang sengit. "Hilih. Mending gue langsung terbang ke langit daripada ketemu yang katanya bidadara modelan kayak lo, Gal."

Percakapan keduanya terhenti sejenak ketika kaki jenjang Jenggala menapaki lantai pada ruangan putih yang didominasi dengan bau obat-obatan. Laki-laki itu segera berjalan menuju tempat tidur paling ujung yang menempel dengan tembok. Selanjutnya, ia menidurkan Zerina di sana.

"Lu tadi sarapan gak?" tanya Jenggala.

Zerina menggeleng. "Gue gak sempet," jawabnya singkat. Raut wajahnya perlahan berubah menjadi sendu saat raut ketus tak bersahabat sang ibunda kembali terekam di benak. 'Kalau gue sarapan, nanti Zalina bisa terlambat, Gal.'

"Pantesan muka lu pucet kayak mayat hidup dari pagi. Lu punya maag gak?"

" ... ada." Zerina menundukkan kepala sambil meringis kecil. Kemudian ia mengangkat kepalanya lagi dan segera menatap Jenggala tepat di matanya. "Tapi lagi gak kumat kok. Serius! Tadi gue cuma pusing aja."

Laki-laki dengan tinggi di atas seratus tujuh puluhan ini menghela napas panjang sembari memandangi Zerina dengan tatapan yang tak dapat dimengerti. "Kalau tau punya maag, harusnya lu antisipasi dong. Isi perut lu seenggaknya pake roti atau apa kek. Iya, sekarang mungkin penyakit lu lagi gak kambuh. Tapi bisa aja nanti dateng tiba-tiba, kan?"

Selanjutnya, dia membalikkan badan dan berjalan mendekati kotak obat yang terletak dekat dengan meja penjaga tak berpenghuni. Laki-laki itu mengambil potongan obat yang masih disegel dalam blister dari kotak P3K kemudian mengambil air mineral dari dispenser di sebelahnya.

"Nih, minum dulu obatnya. Walaupun maag lu gak kumat seenggaknya untuk antisipasi sebelum makan nasi," titah Jenggala sembari menyerahkan sebutir obat berwarna hijau kepada Zerina. Setelah itu dia meletakkan segelas air mineral di atas meja kecil.

"Udah, ya, gua cabut dulu. Makanan buat lu nanti gua titipin ke satpam." Setelah itu Jenggala membalikkan badannya lagi dan bergerak menuju pintu masuk UKS. Sampai di ambang pintu, dia menolehkan kepalanya ke belakang. "Kalau udah dateng, makanannya habisin. Jangan didiemin aja," sambungnya. Habis itu ia kembali berjalan hingga sosoknya tak dapat terdeteksi oleh ekor mata milik Zerina.

"Si Jenggala kesurupan apaan, deh? Tumben banget dari tadi baik sama gue," gumam Zerina ketika si rambut biru kehijauan tersebut sudah tak nampak di depannya. "Tapi tetep aja sih. Dia ngeselin banget. Pake ngatain gue berat segala pula. Ck."

***

"Zeze!"

Zerina segera menoleh ke arah pintu ketika merasa namanya dipanggil. Dia mendapati Alea dan Rashika berbondong-bondong masuk ke dalam ruang kesehatan. Dua gadis itu nampak berlarian hingga akhirnya tiba di hadapannya.

"Loh, kalian kok ke sini?" tanya Zerina sembari mengernyitkan dahinya, menyoroti teman-temannya dengan raut yang bingung. "Emang gak ada kelas kah?"

Dua perempuan itu serempak menggelengkan kepala. Kemudian Alea menarik sebuah kursi di dekatnya lalu menduduki benda itu sembari memandangi Zerina dengan cemas. "Sekarang lagi free class. Kata Adam, bu Gina gak masuk karena ada urusan ke Bali," jelasnya.

"Tadi kata Jenggala lo sakit maag, Ze? Kenapa? Lo gak sarapan kah?" tanya Rashika sambil mendaratkan bokongnya di tepi ranjang di kosong di sebelah kanan Zerina.

"Heh, apaan? Nggak, Shik. Gue cuma pusing sama lemes aja. Maag gue gak kumat kok, itu mah si Gala ngawur," elak Zerina sambil menggelengkan kepalanya. "Tapi, iya sih. Tadi pagi gue gak makan. Hehehe."

"Hadeh, Zerina." Alea menggeleng sambil berdecak pelan. Kemudian dia bangun dari duduknya lalu meletakkan sebuah kantung plastik berisi air mineral serta kotak styrofoam putih di atas meja. "Oh iya, satpam nitipin ini ke gue. Katanya dari Gala."

"Oh, ya."

Zerina melirik Alea yang sedang mengeluarkan dua benda itu dari plastik tersebut. Kotak styrofoam warna putih itu ternyata adalah bubur ayam; salah satu makanan kesukaannya. Pupil matanya spontan melebar ketika salah satu temannya itu menyerahkan kotak tersebut kepadanya.

Lantas, Zerina menyendokkan bubur beserta toping kacang, ayam, serta seledri ke dalam mulutnya dengan lahap. Gadis itu refleks tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala, menandakan bahwa makanan tersebut sangat cocok dengan selera lidahnya.

"Ze, lo kenapa bisa sampe gak makan tadi pagi?" Pertanyaan dari Rashika berhasil membuat Zerina menghentikan gerak tangannya sejenak. Senyum di bibir ranumnya meluntur kala mengingat bagaimana wajah sang bunda ketika melarangnya sarapan hanya karena takut Zalina terkena imbas kesialannya pagi ini.

"Ya ... gue gak mau telat dan bikin Zalina kena imbasnya karena harus nungguin gue sarapan dulu."

"Harusnya gak kayak gitu dong, Ze. Kalau emang Zalina gak mau telat, dia kan bisa berangkat duluan. Serius deh, gue mendingan dateng terlambat daripada nge-skip sarapan," tutur Alea panjang lebar. Gadis yang duduk di tepi ranjang sontak mengangguk pertanda setuju dengan pernyataannya barusan.

"Iya, Ze. Sarapan itu penting, tau!" timpal Rashika.

Zerina mengangguk kemudian tersenyum kecil kala memandangi kedua temannya satu demi satu. "Gue tau kok. Makasih ya, guys."

"Sama-sama, sayangku," balas Alea seraya memberikan senyuman tak kalah manis untuk yang duduk di ranjang itu. "Eh iya, omong-omong gue gak nyangka loh ternyata Jenggala punya sisi gentle juga. Gue kira dia cuma anak urakan yang suka foya-foya gak jelas gitu."

Zerina mengendikkan bahunya acuh tak acuh, menanggapi perkataan Alea. Selepas melahap satu suapan bubur ke dalam mulutnya lagi, dia berkata, "mungkin dia kayak gitu karena kesurupan setan baik atau semacamnya?"