1 Seorang Dukun

Bulan purnama pada pertengahan kalender masehi.

Pemuda pekerja paruh waktu mengendarai sepeda motornya melintasi gang kecil di dekat taman kota. Tampak lampu jalan yang masing remang-remang menyinari perjalanan kecilnya yang sedang mengantar paket ke alamat yang tertulis.

Berjalan beberapa menit, dia berhenti tepat di rumah kecil yang pencahayaannya kurang baik. Beberapa tanaman rambat mengitari rumah yang dia datangi sehingga menimbulkan kesan angker dan misterius. Memarkirkan sepeda motor miliknya di halaman rumah tersebut, pemuda itu berjalan santai menuju pintu kayu bergaya tradisional.

"Sepertinya disini…permisi, saya mengantar paket untuk anda."

Memanggil pemilik rumah sambil mengetuk pintu merupakan etika sopan saat mengunjugi rumah seseorang.

Pemilik rumah mendengar seseorang memanggilnya, dengan pakaian piyamanya dia membuka pintu dan menerima paket.

"Iya, iya aku datang."

"Selamat malam, maaf mengganggu waktunya saya Satria Mahesha mengantar paket untuk bapak Sutiyoso."

"Iya, iya saya sendiri."

"Kalau begitu silahkan isi tanda terima ini dulu."

Satria mengeluarkan bukti tanda terima dari tas selempang yang dia bawa

"Mana, mana ah ini ya…pinjamkan aku bolpoin."

Satria juga memijamkan bolpoin miliknya kepada Sutiyoso, pelayanan yang baik dapat memuaskan konsumen.

"Tolong jangan buru-buru mengisinya takutnya nanti ada yang terlewat. Kenapa anda buru-buru pak? Adakah yang harus anda kerjakan setelah ini."

Tangan Sutiyoso berhenti menulis ketika mendengar pertanyaan dari Satria, wajahnya mulai agak pucat dan tak henti-hentinya keringat bercucuran membasahi wajah tuanya.

Pria tua itu mempercepat pengisian tanda terima dan tidak menanggapi pertanyaan Satria .

"Ini, ini sudah aku isi semua…berikan paketnya padaku."

Nada bicara Sutiyoso memaksa saat memberikan lembaran tanda terima kepada pemuda pengantar paket.

Mengambil dan menerima lembaran tersebut, Satria itu mengecek keseluruhan item yang Sutiyoso isikan. Namun ada yang terlewatkan olehnya, dengan rasa penuh tanggung jawab akan pekerjaanya Satria mengingatkan bahwa ada yang belum di isi lengkap.

"Mohon maaf bapak ini ada yang terlewatkan, kiranya bapak bisa mengisi ini dulu baru paketnya saya berikan."

"Merepotkan, mana, mana yang belum…bolpoinnya juga berikan padaku…ini, ini sudah aku isi berikan paketnya padaku."

"Terimakasih…ini paket anda."

Sutiyoso menerima paketnya setelah melakukan kewajibannya.

Namun tanpa disangka saat dia menerima paket tersebut sebuah belati putih menancap di dadanya. Darah mulai merembes keluar dari tubuh tuanya, dia terkejut hingga tidak bisa berteriak saat melihat tubuhnya terluka. Wajah terkejutnya memandang Satria yang ada di depannya dengan senyuman sinis tanpa memperlihatkan emosi bersalah karena sudah melukai pria tua tak berdosa.

"K-kenapa kau lakukan ini padaku…"

Senyuman sinis Satria dia perlihatkan ketika menusuk lebih dalam belati putih di pergelangan tangannya ke dada Sutiyoso.

"Maaf aku hanya melakukan tugasku."

"Siapa kau sebenarnya?."

"Aku hanya seorang kurir yang juga berprofesi sebagai dukun…keberadaanmu yang di luar kenormalan harus dimurnikan."

Sesaat setelah mendengar bahwa pemuda tersebut adalah seorang dukun, Sutiyoso langsung memundurkan langkahnya sambil menutup luka dengan tangannya.

Satria masuk ke dalam rumah sambil menunjukkan belati putih yang ada di kedua tangannya.

"Tugasku adalah mengembalikan sesuatu kepada kenormalan dan keberadaamu sangat menyimpang dari kenormalan oleh karena itulah kau harus dimurnikan…bau tempat ini sangat busuk, sudah berapa lama kau tidak membersihkan sarang kotormu ini."

Pria tua pemilik rumah, Sutiyoso merasakan aura membunuh dari pemuda di hadapannya, kepalanya terasa berat ketika memikirkan bahwa hidupnya akan direnggut oleh salah seorang dukun yang ada di kota ini. Tanpa membuang banyak waktu dia berlari ke arah jendela yang ada disisi kanannya untuk melarikan diri.

Dia menghantam jendela tersebut dengan tubuh tuanya, namun tidak bisa memecahkan kaca jendela dan pergi begitu saja.

"Sayang sekali seluruh bangunan ini sudah aku pasang jimat pengurung, kau tidak bisa melarikan diri."

"Kau akan menyesali ini dukun keparat!."

Amarah meluap dari dalam dirinya, tubuhnya mulai membesar melebihi ukuran manusia normal. Kulitnya semakin menghitam bagaikan arang yang baru terbakar dengan sentuhan kemerahan. Rambut lebat menutupi wajahnya yang menjijikan dan seluruh tubuhnya. Mata merah menyala yang menunjukan jika dirinya adalah bangsa siluman jahat.

Sosok sebenarnya dari manusia yang tinggal di bangunan tersebut adalah siluman Genderuwo.

"Akhirnya kau memperlihatkan sosokmu yang sebenarnya."

"Dasar dukun sialan keberadaan kalianlah yang seharusnya tidak ada di dunia ini!."

Belati putih miliknya dia lemparkan sekeja mata dan langsung mengenai dada sebelah kanan Genderuwo, dalamnya lemparan tersebut mengakibatkan Genderuwo menjatuhkan salah satu kakinya hingga dia tidak berdiri tegak.

Genderuwo langsung mencabut belati yang menancap di dada sebelah kanannya tanpa dia sadari.

"Ugh…bajingan."

Memutar-mutar belati miliknya bagaikan mainan, dukun itu mendekati Genderuwo yang tersungkur.

"Katakan padaku dimana kau menyembunyikan gadis yang kau culik seminggu yang lalu?."

"A-apa yang kau katakan, aku tidak mengerti."

Menutupi kebenaran yang seharusnya dikatakan adalah bukti sebuah dusta, Genderuwo itu tidak mau menjawab pertanyaan yang sebelumnya sudah di lontarkan. Mengetahui jarak yang dekat, kuku tajam milik Genderuwo siap untuk menusuk tubuh Satria yang sedang tidak terlindung benda apapun melainkan hanya sehelai pakaian.

Kurang cepat, itulah kata pertama yang terlintas saat Sutiyoso sang Genderuwo tidak dapat menyentuh tubuh Satria padahal jaraknya hanya sekitar 1,5 meter saja. Dengan gerakan yang cepat sampai tidak terlihat mata sama seperti ketika Satria melemparkan belati putihnya tanpa disadari oleh lawannya hingga menembus ke dalam dada kanannya.

Sutiyoso sang Genderuwo bangkit dan mulai menyerang Satria dengan membabi buta.

Satria menendang bagian kiri tubuh Sutiyoso dengan tendangan kaki kirinya, pada saat yang bersamaan serangan yang Satria lakukan membuka luka baru di sekitar iga kiri. Dan ternyata luka itu diakibatkan oleh tusukan tajam dari ujung sepatu Satria, untuk kali ini serangan yang cukup telak telah Satria tunjukan.

Duduk tersungkur untuk kedua kalinya tanpa bisa mengangkat kedua kakinya karena Satria menusukan belati putihnya bagaikan paku yang menyatukan antara lantai di tanah dengan gumpalang daging makhluk hina.

Kedua tangan Genderuwo juga ditancapkan Satria dengan belati putihnya, dan dengan begitu dia tidak bisa bergerak 1 inci pun dari tempat dia tertunduk lemas tak berdaya.

Dihadapan Satria, siluman tersebut tidak melakukan apa-apa kecuali mengangkat wajah buruknya sambil melihat wajah Satria dari bawah. Bola matanya ingin keluar saat dirinya dipermalukan oleh Satria dengan kondisinya saat ini, sambil memandang rendah makhluk yang ada di bawah wajahnya.

Tundukan wajah yang Genderuwo perlihatkan mencerminkan hinaan besar bagi dirinya.

"Aku ulangi pertanyaanku untuk ketiga kalinya…suara bising yang aku dengar tadi apakah berasal dari teriakan gadis yang kau sekap seminggu yang lalu?."

Satria mengeluarkan intimidasi yang dia miliki untuk membuka mulut siluman tersebut, meskipun akhir dari hidupnya adalah mati.

Karena Satria sangat membenci siluman.

"Hehehe…meski aku katakan apakah kau bisa melepaskanku."

Memohon belas kasih atas hidupnya, Sutiyoso sang Genderuwo melakukan negosiasi dengan Satria meskipun itu hal yang mustahil untuk dilakukan.

"Kau menjawab hidupmu akan hilang, tidak menjawab hidupmu akan hilang…mana yang kau pilih."

Sutiyoso sang Genderuwo mencoba untuk melepaskan dirinya namun tidak berhasil karena setiap belati yang ditusukan ke bagian tubuhnya sudah terpasang mantra pengikat.

Alhasil dia tidak bisa melakukan apapun kecuali mati, dia tidak bisa berbuat apapun kecuali hilang dan itu sudah menjadi takdirnya saat bertemu dengan Satria.

"Oya apa kau ketakutan saat akan dimurnikan, tubuhmu gemetaran dan raut wajahmu sangat menjijikan segitukah dirimu tidak ingin termurnikan."

Belahan tipis terukir di wajah Genderuwo yang sejak tadi tidak ingin membuka mulutnya.

"Saat hidupnya akan berakhir dia akan berkata jujur… biasanya itu berlaku pada saat seseorang dihadapkan dengan kematiannya . Tapi sayang sekali aku tidak tertarik untuk berbelas kasih denganmu, karena kau adalah siluman jahat."

Satria membacakan mantra untuk memurnikan siluman.

[Ketika dosa-dosa saling berhamburan tanpa memandang.

Sang iblis terus memakan jiwa pendosa begitu lahapnya.

Perlahan semua tumbuh menjelma menjadi kemarahan.

Kecemburuan tidak pernah berakhir dan kesombongan akan terus menghiasi

Saat itulah makhluk selain manusia tak dapat hidup disini.]

[Shaitaan]

"T-tidaaakkkkkkkk!."

Satria mengangkat belati putihnya dan menusuk kepala Genderuwo.

Seketika itu juga Genderuwo itu dimurnikan oleh Satria yang seorang dukun.

Tubuh Genderuwo hilang tak berbekas karena sudah kembali ke alam gaib tempat dia berasal, Satria memungut kembali belati putihnya yang dinamakan pusaka.

Siluman Genderuwo sering menculik wanita untuk memuaskan hasrat seksualnya dan ada diantara mereka yang mati. Seminggu yang lalu ada laporan di kepolisian tentang hilangnya gadis, laporan itu dibuat oleh orang tua korban.

Berdasarkan informasi yang beredar kemungkinan besar mereka diculik oleh keganjilan, dan klan Kartanegara salah satu keluarga dukun mengetahui lokasi siluman yang menculik gadis ini kemudian mereka mengirim salah satu pengikut klan mereka yakni Satria Mahesha.

Belati miliknya ternodai darah kotor dari Genderuwo.

"Jadi dimana makhluk itu menyekap orang yang dia culik?."

Pintu besar di sudut ruangan dimana Genderuwo itu menyekap sanderanya tidak begitu sulit untuk ditemukan.

Satria menyusuri tangga yang menuju ke bawah rumah, tempatnya sangat gelap butuh percika cahaya untuk bisa berjalan.

Saat sudah berada di bawah rumah Satria melihat penjara yang dibuat oleh Genderuwo tersebut, berjalan mendekat tempat kotor itu Satria melihat tubuh gadis telanjang yang terikat rantai di kedua kakinya.

Genderuwo adalah siluman yang suka menyetubuhi wanita, sudah banyak kejadian pembunuhan yang dilakukan oleh makhluk yang hina.

Jeruji besi penjara tersebut cukup berkarat, jadi tidak sulit bagi Satria untuk bisa membuka penjara.

Tubuh gadis itu penuh akan luka cambukan, itu terlihat dari bekas kulit yang hampir terkelupas dan memiliki tubuh kurus sampai tulangnya sangat terlihat dengan jelas.

Didekatnya, terdapat wadah makanan hewan, tidak dapat dipungkiri bagaimana perlakukan yang dia dapatkan hingga diibaratkan sebagai binatang peliharaan. Pandangan wanita itu menjadi buram karena pencahayaan di dalam sini merusak penglihatannya.

Gadis itu mendengar seseorang berjalan ke arahnya, dipenuhi dengan rasa takut dia berteriak.

"Kumohon jangan setubuhi aku lagi! Aku mohon, jangan siksa aku!.

Teriakan yang dari tadi bergema dari bawah rumah ini adalah suaranya. Dejitan suara saat langkah kaki Satria turun melewati tangga membuatnya ketakutan sampai dia berpikir bahwa yang datang menghampirinya adalah Genderuwo.

Dengan lembut Satria membelai rambut panjang kusut wanita yang menjadi korban penganiayaan siluman jahat.

"Tenang saja aku datang untuk menyelamatkanmu."

Dia tersenyum mengetahui orang yang datang kepadanya bukanlah siluman jahat. Dia tidak sadarkan diri karena tubuhnya yang lemah, suaranya hilang dalam kegelapan tempat itu.

Rantai yang memborgol kedua kakinya dalam sekejap langsung terputus. Satria mencari kain untuk menutupi tubuh telanjangnya dan membawa gadis itu keluar dari penjara.

Tubuh gadis ini begitu kurus, oleh karena itulah Satria memasukan nutrisi padat ke dalam mulutnya. Satria perlahan membuatnya mencerna nutrisi, dengan cara mengangkat dagunya, nutrisi itu bisa langsung masuk kerongkongannya.

Butuh waktu hampir 2 jam bagi gadis yang pingsan untuk sadar kembali dari kondisi parah yang menimpanya, dan Satria setia menunggu hingga dia sadar kembali.

Gadis itu mulai tersadar.

"Cahaya bulan? Aku bisa melihat langit lagi, aku keluar dari tempat itu, aku aku aku…hiks…"

Memandang langit malam yang berhiaskan bintang-bintang setelah sekian lama terkurung di tempat gelap itu.

Wanita yang menyedihkan tak hentinya melihat gemerlapnya bintang dan bulan purnama malam ini.

Dia menolehkan wajahnya yang tertuju pada sosok pemuda yang baru saja menolongnya dari tempat yang mengerikan tersebut.

"Anda yang menyelamatkanku, bukan."

"Bisa dibilang begitu juga tapi jangan terlalu memaksakan dirimu saat ini kondisimu cukup parah, aku akan menelpon ambulan."

"Terimakasih, terimakasih, terimakasih, sudah menyelamatkanku, aku sangat sangat bersyukur bisa bebas dari sana."

"Kau pasti memiliki kenangan pahit dalam seminggu ini, bukan."

"Aku sangat tersiksa disana, aku berharap mati daripada harus menerima perlakukan dari bajingan itu…eh apa ini…aku menangis…ini memalukan, hiks…hiks…hiks…"

"Tak apa, kau bisa menangis tidak ada yang salah dari itu."

"Huaaaaaa.....aku sangat takut tidak bisa keluar dari tempat ini, berpikir jika aku harus disana selamanya membuatku sangat takut….huaaaaaaa...."

Tangisan yang cukup keras itu menunjukan penderitaan yang dia dapatkan selama ini. Air mata mengalir deras dari bola matanya, tak berhenti dan masih mengalir hingga membasahi seluruh paras cantiknya.

"Maaf aku sudah menangis keras, bolehkan aku tau nama anda?." Dia mengusap air matanya

"Namaku Satria Mahesha seorang dukun."

"Dukun?."

"Sederhananya aku orang yang bertugas menolong orang yang bernasib sama sepertimu."

"Itu terdengar mudah dipahami, ah maaf aku lupa memperkenalkan diri namaku Lisa Bahar, senang bertemu dengan anda."

"Jangan memangilku dengan sebutan anda, usia kita tidak terpaut jauh."

"Hihihihi…memang umur kita tidak jauh beda, kalau begitu aku akan memanggilmu mas Satria, bagaimana kalo gitu."

"Itu lebih baik….sebentar lagi ambulan akan datang, orang tuamu juga sudah aku hubungi mereka sedang menunggu di rumah sakit. Sebelum itu aku minta maaf kepadamu karena datang terlambat sampai kau memiliki pengalaman mengerikan, maksudku kau sudah tidak perawan lagi."

"Jadi anda sudah tau perlakuan yang aku dapatkan disana."

"Benar, aku minta maaf terlambat menolongmu."

Penuh rasa akan bersalah karena kedatangan yang sangat terlambat, Satria tidak bisa memaafkan dirinya yang gagal menolong masa depan seorang gadis muda. Masa depannya hancur seketika saat dia tertangkap oleh Siluman Genderuwo.

Satria menundukan kepalanya sebagai bentuk permohonan maaf.

"Tidak apa, aku bersyukur sudah bebas dari tempat ini. Langkah kedepannya akan aku pikirkan, jangan anggap ini semua salahmu, aku sudah menerima kondisi ini dengan lapang dada."

"Kau sungguh berhati kuat, aku merasa malu akan diriku sendiri."

"Itulah yang ingin kudengar darimu, mas Satria."

"Benarkah aku terkejut kau bisa membaca pikiranku."

Ambulan yang dari tadi sudah ditunggu akhirnya datang.

Dengan cepat tenaga kesehatan langsung membawa Lisa ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut terutama kondisi mentalnya. Satria hanya bisa mengantar kepergianya, dan kali ini pekerjaan Satria sudah selesai.

Hidup sebagai dukun bukanlah jalan yang Satria pilih tapi itu merupakan paksaan atas kejadian yang menimpanya sejak kecil.

Masih membekas di dalam ingatannya tentang kenangan yang tidak bisa dia lupakan.

Semenjak insiden malam berdarah saat dia berumur 6 tahun dia sudah hidup tanpa kasih sayang orang tua. Malam itu terjadi pembantaian yang dilakukan oleh siluman jahat yang muncul saat warga disana sedang berpesta.

Dia tidak bisa melupakan kenangan pahit ketika orang tua dan saudarinya meregang nyawa mereka selama-lamanya.

Meninggalkan dirinya yang masih kecil dan polos untuk hidup sendiri sampai dia bertemu dengan klan Kartanegara, salah satu keluarga dukun.

"Saatnya untuk pulang."

Saat kembali ke kosnya Satria mendapat 2 pesan yang masuk ke ponselnya. Salah satu pesan itu berasal dari Lisa Bahar gadis yang mengalami kejadian pahit dengan siluman jahat mengirim pesan terima kasih karena sudah menyelamatkan hidupnya.

Dia juga mengirim fotonya yang berpakaian SMA.

"Darimana dia mendapat nomorku, dan kenapa dia mengirim fotonya padaku…terlebih lagi foto waktu pakai seragam, aku tidak memiliki fetish seperti itu. Anak zaman sekarang suka yang aneh-aneh, hahahahaha."

Pesan yang masuk berikunya adalah panggilan kerja besok, yang seharusnya dia libur shift tapi karena ada pegawai yang sakit Satria harus bekerja besok.

Dia memandang pesan ponselnya dengan wajah yang menjijikan.

avataravatar
Next chapter