1 Aku talak kamu

Bak disambar petir di siang bolong. Ayah ku yang baru saja tiba, setelah satu bulan penuh pergi bekerja di kota. Dengan suara lantang dan keras mentalak ibuku yang sedang terbaring di atas kasur karena sakit.

"Aku Agung Nugraha, dengan sadar dan sehat. Hari ini aku talak kamu Irma," aku yang sedang membuat minum untuk ibu ku di kagetkan oleh suara tangis ibu ku. Tanpa menunggu air itu mendidih, aku langsung pergi melihat apa yang terjadi di depan. Saat aku tiba disana ibuku sedang menangis terisak-isak oleh ucapan ayahku.

"Ibu!" Aku menjerit saat melihat ibuku menangis histeris. "Apa yang terjadi bu!" Tanyaku sambil memeluk tubuh ibuku yang bergetar karena menangis.

"Tidak apa-apa nak, ibu baik-" sebelum ibuku menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba ayah ku memotong ucapannya.

"Meli, mulai sekarang ibumu ayah talak. Ayah tidak mau mempunyai istri yang sakit-sakitan seperti itu," pungkas ayahku sambil berkacak pinggang.

"Apa maksud ayah! Ayah tidak boleh seperti itu pada ibu. Ibu saat ini sangat membutuhkan ayah, hanya aku dan ayah yang ibu punya dan hanya kita yang bisa membuat ibu bertahan saat ini," sanggah ku sedikit emosi.

"Laki-laki mana yang mau mempunyai istri yang sakit-sakitan seperti itu hah. Ayah ini masih muda, masih kuat. Ayah butuh pendamping yang sehat dan cantik, bukan seperti ibumu yang setiap hari hanya bisa berbaring diatas kasur. Ayah malu sama tetangga dan teman-teman ayah meli, jadi mau tidak mau kamu harus bisa menerima kenyataan ini," sungut ayahku sambil menunjuk wajah ibuku yang terbaring sambil terisak.

"Ayah! Tidak sepantasnya ayah berkata seperti itu! Ingat ibu sakit seperti ini juga gara-gara ayah. Siang malam ibu pergi bekerja untuk kebutuhan ayah, jad-" aku berkata dengan penuh emosi aku tidak bisa mengontrol amarahku sehingga secara tidak sadar ibuku bangun dan menarik ku.

"Sudah meli hentikan. Yang ayahmu katakan itu benar, ayah masih muda dan dia sangat membutuhkan pendamping yang sehat. Bukan seperti ibu yang hanya bisa menyusahkan saja nak," papar ibuku sambil menggenggam tanganku.

"Tapi bu," tolak ku dengan tidak ikhlas.

"Sudah sayang." Imbuh ibuku lagi.

"Baik bu. Dan untukmu ayah, seharusnya kamu bersyukur mempunyai istri sebaik dan sesoleh ibuku. Aku doakan semoga hidupmu penuh penyesalan," gumam ku dengan menatap tajam ke arah ayahku berdiri.

"Ha ha ha. Soleha katamu! Asal kamu tahu saja, ibumu yang selama ini kamu bangga-banggakan itu pelacur. Dia itu wanita malam yang selalu dijamah oleh laki-laki hidung belang di luaran sana. Bahkan kau lahir dari benih campuran dari laki-laki itu," cibir ayahku penuh rasa menghina.

"Bu apa maksud ucapan ayah?" Tanyaku penuh rasa ingin tahu.

"Cukup Agung, sudah cukup omong kosongmu. Jika kamu ingin berpisah denganku maka aku menerima keputusanmu. Dan sekarang tolong tinggalkan rumahku, pergi kamu dari sini!" Usir ibuku sambil melempar bantal dan guling ke arah ayah.

"Bagus jika kamu menerimanya, dan untukmu meli? Tolong di ingat apa yang ayah katakan tadi, jika ibumu itu seorang pelacur. Ha ha ha ha," sebelum ayahku pergi dia sempat mengulang apa yang tadi dia katakan. Aku semakin ingin tahu dan penasaran dengan semua ini.

"Bu, bisa kau jelaskan apa yang dikatakan ayah tadi?" Pintaku sambil menatap sendu wajah ibuku.

"Jangan dengarkan omong kosong ayahmu, dia hanya ingin membuatmu membenci ibu saja." Ucap ibuku sambil memeluk tubuhku. Entah kenapa hari ini pertama kali aku tidak mempercayai ucapan ibuku. Aku merasa ibuku sedang menutupi kebenaran dari ku.

"Tapi, mengapa ayah berkata seperti itu bu?" Tanyaku kurang puas terhadap ucapan ibu tadi.

"Sudah meli, ibu bilang jangan dengarkan ucapan si brengsek itu," tegas ibuku sambil memalingkan wajahnya.

"Baik bu," walaupun aku penasaran dengan semua ini. Tapi, aku tidak tega bertanya pada ibuku saat ini. Mungkin suatu saat nanti kebenaran akan terlihat dan tuhan akan segera menunjukkan jalannya.

"Ya sudah lebih baik ibu istirahat dulu," titahku sambil membantu ibuku berbaring.

"Meli!" Pekik ibuku.

"Iya bu, ada apa?" Tanyaku dengan kening berkerut.

"Ini, ini seperti bau gosong. Apa kau sedang memasak?" Tanya ibuku yang memang aroma bau gosong itu semakin pekat.

"Tidak bu. Tapi, tadi aku!" Jawabku sedikit berpikir. "Oh astaga aku sedang merebus air untuk ibu tadi," tanpa membantu ibuku berbaring, aku langsung berlari ke arah dapur. Dan benar saja kepulan asap hitam memenuhi seisi ruangan dapur kami yang sempit. Ada percikan api kecil yang mulai merambat ke sekitar rak piring.

"Ya Tuhan api, bu ada api bu!" Aku menjerit saat melihat percikan api yang sedikit demi sedikit mulai membesar.

"Meli cepat kemari nak, cepat!" Terdengar suara ibu memanggilku, aku bingung harus pergi atau mencoba memadamkan apinya. Tapi, dengan menimbang pikiranku dan melihat api mulai membesar akhirnya aku pergi.

"Bu ayo bu kita keluar, api, api sudah mulai membesar!" Segera ku bantu ibuku bangun dan dengan cepat aku menggendong ibuku di punggung. Walaupun sedikit berat tapi, aku mencoba kuat demi keselamatan kami bersama.

"Tolong,, tolong ada api. Kebakaran!" Aku dan ibu berteriak meminta tolong dan beruntung ada banyak warga yang membantu kami memadamkan api.

"Pak tolong rumah kami kebakaran!" Ucapku dengan sedikit gemetar.

"Ayo si neng nya menjauh dulu. Biar bapa dan yang lain coba memadamkan apinya," aku dan ibuku pun di tuntun ke tempat yang lebih aman. Sedangkan yang lain mulai sibuk mencari air untuk memadam api. Setelah kurang lebih setengah jam akhirnya api yang membakar rumahku berhasil di padamkan.

"Terima kasih bapak-bapak semuanya," ucap ibuku sambil menundukkan kepalanya.

"Iya bu sama-sama." Balas bapak-bapak itu.

Semenjak kejadian itu kesehatan ibuku mulai menurun. Aku tidak tahu harus berbuat apa, jangankan untuk membawa ibuku ke rumah sakit. Untuk makan sehari-hari pun kami sulit.

"Astaga ibu, badan ibu panas sekali?" Tegur ku sambil mengecek suhu tubuh ibuku.

"Ibu hanya kurang enak badan saja nak, sebentar lagi juga ibu sembuh," terang ibuku sambil memalingkan wajahnya.

"Kita harus kerumah sakit bu, aku tidak mau ibu kenapa-kenapa!" Aku bergegas mencari mantel untuk menutupi tubuh ibuku agar tidak kedinginan.

"Tidak usah meli. Ibu baik-baik saja, lagipula kita tidak punya uang untuk membayar rumah sakit." Pungkas ibuku yang menolak ajakan ku.

"Itu tidak penting bu. Yang terpenting sekarang ibu harus bisa mendapatkan perawatan medis, soal uang aku bisa mencarinya!" Dengan sedikit paksaan akhirnya ibuku mau pergi ke rumah sakit. Setelah tiba di sana alangkah terkejutnya aku saat dokter mengatakan penyakit yang di derita ibuku selama ini.

"Apa dokter? Ibuku sakit kangker payudara stadium akhir!" Tanya ku dengan perasaan terkejut.

"Benar. Dan ibu anda harus segera melakukan operasi, walaupun kemungkinan untuk sembuh sangat kecil. Tapi, kami akan berusaha semaksimal mungkin," terang dokter itu dengan menatapku penuh rasa iba.

"Baik dok, lakukan yang terbaik untuk ibuku."

avataravatar
Next chapter