webnovel

Nanda dan Nayla

Nayla terkejut. Baru saja dirinya sampai di depan pintu, ia sudah mendapati lelaki yang diakuinya sebagai pacar kemarin sudah berdiri di depan pintu kelasnya. Sontak Nayla terkejut bukan main. Ia lantas membalikkan tubuhnya. Namun, semua itu terlambat. Nanda sudah terlebih dahulu menahan pergelangan tangannya. 

Nayla terdiam, belum berbalik. Peluhnya mengalir melewati pelipisnya, Nayla takut. Ia tampak menggigit bibir bawahnya dan bola matanya bergerak gelisah. Aura yang datang dari Nanda menguar begitu menyeramkan baginya. Untung di sana sepi. Belum ada satupun yang datang ke sekolah mereka. 

"Lo, Nayla Clarissa, XI IPA 1, yang memproklamirkan diri sebagai pacar gue... kenapa semalam lo gak datang ke taman? Apa gak romantis? Oh, gue tahu, kayaknya lebih oke kalo gue dateng ke rumah lo terus ketemu sama keluarga lo-"

Nayla membalikkan tubuh, menyela ucapan Nanda, "Mau lo apa? Gak usah bertele-tele."

Nanda menyeringai dengan mata yang masih memandang Nayla tajam. "Bukannya kebalik ya? Motif lo apa bilang lo pacar gue? Gue kenal lo aja enggak." 

Nayla merutuk dalam hati. Ia tahu betul tatapan itu adalah tatapan mengintimidasi. Ya, dirinya sedang diintrogasi oleh si juara olimpiade berturut ini. 

"Simpel. Karena kita bakal jadi partner di olimpiade Biologi nanti."

Nanda mengernyit, jawaban Nayla tak membuatnya puas. "Terus kenapa lo gak datang semalam? Masa iya lo takut padahal sudah jelas lo sudah mempermainkan orang lain." 

Nayla melotot mendengar kalimat terakhir itu. Seketika ia melirik Nanda dengan tatapan tajamnya. "Lo ke sini cuma mau tanya itu? Segitu penasarannya ya lo sama gue?"

Nayla balik menyeringai. Ia berjalan mendekati Nanda dan berhenti tepat di depannya. Tatapan tajam mereka beradu. 

"Kalo mau kepo, jangan ke gue. Minggir. Gue mau masuk ke kelas."

Nayla masuk ke kelasnya. Ia duduk dan meletakkan kepalanya di atas meja. Hatinya kembali merutuk. Kata-kata sinis itu keluar begitu saja dari mulutnya. Padahal Nayla bukan orang yang seperti itu. 'Ah, kenapa juga tatapan matanya sangat memojokkan begitu? Ah!' batinnya berperang. 

Sementara Nanda masih berdiri di sana. Baru kali itu dirinya diperlakukan berbeda. Ia lantas menoleh, memperhatikan Nayla yang sedang merebahkan kepalanya di atas meja. Sedikit garis bibirnya terangkat. Ia menyeringai lagi. 

"Berani sekali. Lihat ya nanti, Nayla."

.

Esok hari tiba. Nayla menyempatkan pergi ke toko buku setelah jam sekolahnya berakhir. Sebelumnya ia sudah berusaha membujuk Ayla agar mau menemaninya di sana. Tapi temannya itu mengelak, katanya main di toko buku bukan gayanya. Maklum, sahabatnya itu tipikal murid yang setengah-setengah kalau urusan belajar.

Tanpa menunggu lama, ia pun bergegas pergi ke toko buku dengan kendaraan umum tentunya. Ia kekurangan materi untuk persiapan olimpiade Biologinya. Sesampainya di sana, jemarinya dengan lihai membuka dan membaca dengan teliti. 

'Dapat!' pekiknya dalam hati. Ia mencari posisi yang pas dan bersandar di sudut rak yang sepi. Ia membaca dan menyalinnya ke dalam notes kecil yang biasa ia bawa ke mana-mana. 

"Oh, Nayla?"

Nayla menghentikan aktifitasnya. Lantas, ia mendongak. Seketika saja, dahinya mengernyit heran. 

"Kok bisa pas ya? Gue sendiri dan lo juga kayaknya lagi sendiri."

Nayla diam. Ia tak membalas sama sekali. Ia hanya terlalu malas berdebat. Di otaknya hanya ada pertanyaan tentang kenapa Nanda ada di sana?

"Bisu ya?"

"Ck. Lo gak lihat ya gue lagi baca? Ganggu konsentrasi aja."

Nanda menyeringai. Ia membungkukkan sedikit tubuhnya dan mendekatkan diri pada Nayla. Nayla tak bergerak. Matanya masih diam mengawasi gerak-gerik Nanda. Mata mereka kembali beradu. Yang satu dengan tatapan meremehkan, yang satu lagi dengan tatapan perlawan diri. 

Tepat 10 senti jarak wajah mereka, Nanda berkata dengan dinginnya, "Semangat ya, nya-lin-nya." 

Nanda pergi dengan kekehan halusnya. Itu membuat Nayla menggeram kesal. Nanda benar-benar meremehkan dirinya. Apa yang salah dengan menyalin? Yang pentin ilmunya, 'kan?

Nayla meneruskan kegiatan mencatatnya. Namun, tak lama kemudian ada petugas yang datang berkeliling. Sialnya, Nayla tertangkap basah sedang mencatat dari buku yang ia pegang. 

"Dek, di sini boleh saja mencatat asal tidak ketahuan. Tapi karena saya melihatnya, saya harus bersikap tegas. Kamu gak boleh mencatat atau menyalin buku di sini. Kalau sekadar membaca gak apa-apa. Kalau kamu butuh sekali, belilah bukunya. Saya bilang begini supaya kamu gak diusir sama atasan saya."

Nayla tergagap, ia sudah ketahuan. "Ma- maaf ka! Saya gak akan ulangi lagi. Saya hanya akan membacanya saja."

"Baiklah. Perhatikan lingkungan sekitar kalau kamu mau mencatat."

Nayla mengangguk dan berterima kasih. Pikirannya meraung, ia sedang bingung. Daya ingatnya tak sebagus itu untuk menghapal seluruh informasi yang ia butuhkan. 'Sudahlah, pulang saja,' batinnya.

Naya sudah sampai di pintu keluar. Ia berjalan kecil sambil menunduk. Tanpa diduga, sebuah suara menghentikannya. 

"Gue bisa sharing kalo lo butuh, tapi kalo gak ya bagus." 

Nayla berbalik. Ia melihat siapa orang yang bersuara tadi. Nanda. Menjengkelkan sekali, kata-kata yang dilontarkannya membuat rahang bawahnya serasa mau copot. Lelaki ini memberi tawaran tapi kenapa kesannya tidak ikhlas ya? 

"Mau gak nih? Lama mikirnya, gue-"

"Mau! Gue mau, Nan! Tunggu gue."

Yah, alhasil Nayla terbujuk. Disatu sisi harga dirinya memang sedikit tercoreng, tapi di sisi lain dirinya butuh sekali materi yang ada di dalam buku itu. Mau tak mau ia harus mendapatkan isinya. Urusan harga diri ia geser ke paling belakang.

.

Mereka berdua tampak duduk di sebuah kafe di sekitaran toko buku tadi. Nanda yang memilih tempat, sedangkan Nayla hanya membuntuti saja. Di otaknya hanya ada pikiran tentang harga minuman. 

'Mampus gue. Dia pasti bakal minta bayarin buat upah gue nyatet dari bukunya. Gimana nih? Uang gue kan cuma cukup buat ngangkot pulang.'

"Woy! Bengong aja lo! Sampe gue panggil berkali-kali kaya orang budeg."

Nayla kaget bukan main. Nanda menggebrak meja mereka. Sedikit membuat keributan dan orang disekitar jadi sibuk berbisik-bisik ke arah mereka.

"Gue bengong?" 

"Ya ampun. Udah buruan salin apa yang mau lo salin. Gue ke toilet dulu."

Nayla pun tidak memedulikannya, ia hanya fokus pada apa yang ia butuhkan. Tak lama, Nanda kembali dengan dua gelas lychee tea di kedua tangannya. 

"Nih. Belum minum kan lo dari tadi?"

Nayla menatap lamat-lamat gelas itu. 'Ambil tidak ya?' tanyanya dalam hati. 

"Minumnya udah gue bayar tadi di kasir. Nih, pegel gue."

Nayla melongo. Nanda rupanya baik. Meskipun orangnya cenderung muka dua dan kata-katanya menjengkelkan, tapi Nanda ternyata memperhatikan sekitarnya. Nayla sedikit tersentuh. Setidaknya itu yang dirasakan Nayla saat ini.

"Baik 'kan gue mau bayarin lo padahal lo yang butuh." 

Sial. Naya mendecih. Menyesal dirinya menyebut Nanda ini perhatian. Nyatanya lelaki di hadapannya ini hanya ingin pamer dan meremehkan saja. 'Sabar, Nay. Kamu butuh ini. Telen dulu harga dirimu,' batin Nayla nelangsa.

Lanjut pada Nanda yang tanpa sengaja melihat ketekunan Nayla. Mereka sama-sama jenius tapi dengan tingkat berbeda. Tak seperti Nanda, Nayla harus belajar keras untuk meraih segalanya. Kapasitas daya ingatnya tak begitu bagus, jadi ia dituntut harus terus belajar secara berkala agar ilmunya selalu menempel. 

"Lo gak perlu belajar sekeras itu kali. Lo kan partner gue nanti. Selow ajalah." 

Nayla menggertakkan giginya. "Memangnya lo siapa? Gue bukan orang yang bisa bersandar sama orang yang gak jelas macem lo."

Nanda tertawa ringan. Ia menyeringai lagi. "Loh, kita kan pacaran. Lo pacar gue dan gue pacar lo. Kan lo sendiri yang ngumumin itu. Lo ga pikun kan, sa-yang?"

Nayla mendelik. Tatapan sudah setajam silet. Namun, yang ditatap pun tak peka dan malah tertawa bahagia. Nayla yang misi menulisnya belum selesai pun tak membalas. Ia hanya menatap galak saja.

"Bener, lo harusnya gak banyak omong sekarang. Biar cepet selesai dan gue bisa cepet rebahan."

"Lo berisik, kayak cewek."

Nanda melongo. Ia memalingkan pandangannya untuk menatap Nayla. Tanpa sadar, Nanda menerjemahkan visual di hadapannya dengan baik. Rambut hitam sebahu, mata bulat, dan lesung pipi yang tercetak jelas meski tidak tersenyum. 'Dia cantik tapi aneh,' batin Nanda. Tidak ada perasaan aneh seperti dag dig dug. Nanda hanya mengakuinya saja. 

"Lo itu pintar dan cantik sekaligus galak dan aneh."

Nayla tertawa sinis. "Lo juga jelek dan pintar sekaligus rese dan sombong."

"Pedasnya.... Untung aja gue be-li es di si-ni." 

Nayla menghela napasnya. Niat hati ingin membuat kesal, eh malah dirinya sendiri yang kesal. Baru itu Nayla bertemu lelaki model Nanda. 

"Lain kali gue yang bayarin lo, mister sombong."

Nanda tertawa geli. Tak peduli orang menatapnya seperti apa. Reaksi Nayla adalah sebuah kebahagiaan baginya. Beginilah sifat asli Nanda, hanya Gilang dan Lana saja yang tahu. Sisanya mengenal Nanda sebagai lelaki kalem, pintar, dan jauh dari kata menjengkelkan. 

"Bilang aja lo mau ketemu gue lagi. Haha."

'Sinting. Sudi betul ketemu lo lagi. Ini juga kalo ga gara-gara kepepet mah ogah! Kalo gue bawa hp, gue rekam sekalian video in ni tingkah lo, terus gue sebar. Biar topeng lo kebuka. Sayang aja-' 

"Oy, lagi mikirin rencana busuk apa lo?" tanya Nanda tiba-tiba. 

Nayla membelalakkan matanya sedangkan Nanda menyeringai. Tertangkap basah lagi. Habis sudah. 

"Nethink aja lo jadi orang," kilah Nayla dengan cepat meski terlihat gugup.

"Jelas kali. Lo ngelihat gue dengan tatapan silet lo terus lo juga gertakkin gigi. Apalagi coba kalo ga mikir jelek tentang gue?"

Nayla terkekeh, "Pede banget sih-" 

Belum selesai bicara, Nanda malah memotongnya. "Ngelak mulu. Ngaku aja si, sa-yang."

Nayla mendiamkan ocehan Nanda. Ia mempercepat gerak tangannya. Bisa keriput Nayla menghadapi kelakuan Nanda ini. 

"Sudah nih. Makasih."

"Lah, makasih doang? Ga ada yang lain ni?"

Nayla memakai tasnya dan bertanya, "Emangnya lo mau apa dari gue? Lo kan tau gue miskin, gak banyak duit kayak lo. Udah ah, gue duluan."

Nanda terdiam. Ia melihat Nayla yang berjalan dengan tergesa keluar dari kafe. Nanda beralih menyeruput tehnya sampai habis. Ia melirik sekilas gelas es milik Nayla. Masih setengah. Ia juga melirik uang yang terselip di bawah buku tadi. 

"Lima ribu untuk setengah gelas es yang lo minum ya, Nay? Cerdik. Haha."