1 Jingga di Langit Senja

"Lihat deh langitnya!"

"Kenapa? Langitnya masih di sana, belum pindah tuh."

Si lelaki lawan bicaranya tersenyum hangat. Ia meraih wajah perempuannya dan menangkupnya gemas.

"Maksudku bukan pindah, Tasya. Coba kamu lihat itu warnanya."

Perempuan yang diketahui bernama Tasya mendongak. Ia menatap langit yang menguning. Ia lantas menoleh dan menatap lelaki itu dengan alis mata bertaut bingung.

"Jingga?"

"Betul. Sebelum taburan bintang menghiasi langit malam, Jingga pasti lebih dulu menghiasi langit bumi."

"Terus sebenarnya kamu mau ngomong apa, sih, Vernon?"

Vernon terkekeh. Ia menepuk lembut kepala Tasya dengan sayang. Dari samping ia membuka jaket dan menyampirkannya ke bahu Tasya yang terbuka.

"Meski pun hubungan kita bisa dibilang singkat seperti waktu jingga menghiasi langit bumi, aku bahagia bisa bertemu denganmu.... Ingat kan kamu menerima cintaku saat Jingga juga."

"Iya juga ya. Ah, kamu puitis banget. Aku kadang suka gak paham cara bicaramu dan pola pikirmu. Yah, mungkin itu yang dinamakan orang jenius punya caranya sendiri."

"Ya, sayang. Bisa aja begitu."

 

 

*****

 

Seorang laki-laki, terlihat tengah duduk nyaman menyesap cocktail selagi matanya menatap ke arah objek yang sedari 10 menit lalu menarik perhatiannya.

 

Seorang gadis --ramping, tinggi, bersurai hitam legam sebatas pinggul-- berdiri di bibir pantai. Kakinya bersentuhan dengan air, surainya menari-nari tersapu angin, wajahnya tampak fokus menatap lautan biru nan luas di hadapannya. Tangannya tampak terulur, menjatuhkan sesuatu dan membiarkannya dibawa ombak, kembali ke laut lepas.

 

Objek yang sang lelaki tengah amati dengan saksama tersebut berbalik. Gadis itu menatap lurus ke depan. Poni ratanya mempermanis tampilan sang gadis meski dengan ekspresinya yang kosong. Ada debaran debaran halus di sana saat melihat sang gadis. Sungguh kesan awal yang membuat sang lelaki merona.

 

Sang gadis terdiam sekitar 5 menit. Saat lamunanya buyar ia menoleh ke kanan, tepat ke arah sang lelaki itu berada. Sontak saja, sang lelaki yang ditatap, membalikkan tubuhnya dengan segera. Ia sungguh malu, benar-benar malu.

 

Sang gadis hanya melirik lalu melangkahkan kakinya menjauh dari pantai. Urusannya di sana sudah selesai.

 

Sang lelaki kembali berbalik, mencari objek yang sedari tadi asik menyita waktunya. Tapi karena terlalu sibuk dengan debarannya, ia tak mendapat apa yang dicarinya lagi. Ya, sang gadis sudah pergi dari sana.

 

Sang lelaki menolehkan pandangannya ke belakang. Ada yang menepuk bahunya. Si penepuk itu duduk di sebelahnya dengan nyaman, menyilangkan kakinya sembari menyesap cocktail yang ia bawa dari bar terdekat.

 

Penepuk itu melirik sang lelaki yang kini tengah mengamati pantai dengan saksama. Seperti mencari-cari sesuatu di sana.

 

"Richie, apa ada sesuatu yang menarik?"

 

Richard, nama sang lelaki yang matanya sedari tadi sibuk bergerak ke sana-kemari.

 

"Lo gak mau kasih tau abang ganteng lo ini, Chie?"

 

"Jijik bang gue dengernya.... Tadi gue gak sengaja lihat cewek, manis banget mukanya, kayaknya gue suka cewek itu bang."

 

Leonard --si penepuk-- tersenyum. Cukup dengan menatap mata sang adik, ia tahu bahwa telah terjadi sesuatu yang menarik bahkan itu menyita waktunya selama 15 menit. Bukan hal yang sulit bagi dirinya melihat perubahan ekspresi di diri adiknya yang sudah selama hampir 20 tahun hidup berdampingan dengannya.

 

Richard berhenti mencari. Sorot matanya menjadi lebih teduh. Ia menghembuskan nafasnya perlahan dan bibirnya kembali menyunggingkan senyuman.

 

"Kalau berjodoh, lo bakal ketemu sama cewek itu lagi. Percaya deh sama gue."

 

Leo menepuk kembali pundak sang adik, memberi semangat. Kemudian mereka memfokuskan pandangan, menatap ke arah sunset dengan tenang, seolah menghipnotis mereka agar enggan memalingkan wajah dari pancarannya yang begitu menyejukkan mata sesiapa pun yang melihat.

 

Senja kini telah berganti malam. Matahari telah kembali ke peraduannya dan sang rembulan sudah beranjak menggantikan sinar hangat sang mentari bagi bumi. Udara yang sempat hangat kini beralih menjadi dingin menusuk. Richard mengeratkan jaketnya dengan susah payah lalu berdiri, menatap sang kakak sebelum mulai melangkahkan kakinya menjauhi pantai.

 

"Kita mending balik sekarang. Besok kita udah masuk semester baru lagi, bukan? Gue gak mau bikin kesan buruk di awal perkuliahan. Lagipula Denpasar-Bandung bakal makan waktu lama banget, kan?"

 

Leo tersenyum mendengar penuturan sang adik. Ia pun berdiri, membawa 2 gelas cocktail kosong, dan mulai mengekori Richard. Sempat beberapa kali Leo memanggil nama Richard, namun Richard berpura-pura tidak mendengarnya, membuat sang kakak menjadi jengkel dan berteriak sembari berlari mengejar dirinya.

 

Tak butuh waktu lama, mereka sampai di bar dimana mereka membeli cocktail dan Richard menyapa bartender di sana. Richard memang lelaki yang sangat ramah terhadap siapapun, begitu pun dengan Leo. Kakak beradik ini tampak seperti kembar dari sisi sifatnya. Sama-sama ramah, sama-sama baik hati, sama-sama pemaaf, sama-sama royal, sama-sama murah senyum, dan masih banyak lagi.

 

"Thankyou. Seharusnya biarkan saja pelayan kami yang mengambilnya ke sana."

 

Leo dan Richard menggeleng bersamaan. Leo lalu meletakkan gelas yang sedari tadi digenggamnya. Matanya menatap ke arah bartender sekaligus pemilik bar itu.

 

"Tak apa. Sekalian kami juga lewat bar ini. Omong-omong saya suka cocktail di sini. Kali lain kami akan membeli cocktail anda lagi bila berkunjung."

 

Richard menarik tangan Leo, mengajaknya untuk lekas ke mobil dan beralih pulang. Perjalanan mereka akan cukup memakan waktu, belum lagi mereka harus memesan tiket penerbangan. Tentu saja itu akan memakan waktu. Mungkin mereka akan sampai di rumah pada malam hari kalau mereka langsung mendapatkan tiketnya, mengingat saat ini sudah jam 7 malam. Ini semua berkaitan dengan kemampuan berberes Leo yang bagi Richard sangat payah, sangat lamban. Bukannya Richard tidak bisa membantu bebenah, tapi ia tak mau membereskan baju yang bukan miliknya, terlebih lagi kakaknya itu agaknya berisik bila barang pribadinya disentuh orang lain. Dan Richard masih sangat sayang pada telinganya yang berharga.

 

Leo dan Richard berjalan beriringan menuju parkiran yang tak jauh dari pantai. Di perbatasan gerbang, Richard tercenung. Ia menangkap objek yang sempat ia cari.

Leo terdiam dan mengikuti arah pandang Richard. Ia pun merangkul pundaknya dan menarik sang adik untuk masuk ke mobilnya. 'Udah gak ada waktu,' batin Leo.

 

Klik. Suara pintu mobil terkunci. Leo menatap sang adik yang masih sibuk menatap ke arah objek berharganya. Tatapannya penuh dengan rasa penasaran. Walaupun ia duduk dengan manis, tapi tak dapat dipungkiri bila ia sangat ingin ke luar dan mendekatinya.

 

"Lo tahu 'kan Chie ini sudah waktunya kita balik ke hotel dan siap-siap pulang ke Bandung?"

 

Richard hanya berdeham tanpa melepaskan pandangannya dari fokus utama miliknya. Gadis itu. Ia tampak menaiki mobil dan tak lama mobil itu bergerak menjauh dan meninggalkan area parkiran dengan cepat.

 

"Bang, gue rasa gue benar-benar tertarik sama cewek itu. Gue pengen tahu dia lebih jauh lagi."

 

Pandangan Richard kini sepenuhnya kepada sang kakak. Leo melirik sedikit untuk melihat raut wajah adiknya.

 

"Berdoalah. Siapa tahu besok cewek pujaan lo itu bakal ada di hadapan lo."

 

"Lo benar bang."

 

Richard menjulurkan tangannya ke arah radio. Ia menyalakan dan memutar channel-nya sampai akhirnya berhenti ketika ia mendengar lagu yang nyaman untuk pendengarannya.

 

'Sunny by BCL'

 

Bagaikan mewakili perasaannya serta apa yang telah ia lewati hari ini. Lagu yang ia sukai. Leo pun juga menyukainya. Selera musik mereka tak jauh berbeda. Mendengar lagu itu, membuat keduanya berdendang bersama-sama.

 

"Mana sunny-ku...."

 

 

 

avataravatar
Next chapter