webnovel

JANGAN PANGGIL AKU KUCING

Dimas tak pernah menyangka bahwa kehidupannya akan berubah, saat dirinya merantau ke Ibu kota demi mengadu nasib. Berawal sebagai seorang pelayanan restoran di Jakarta, bekerja berkat bantuan teman lamanya bernama Vano. Namun, beberapa bulan kemudian Dimas berhenti dan bekerja di salah satu tempat hiburan malam. Semula, semuanya berjalan normal hingga suatu ketika ia diperkenalkan dengan seorang wanita bernama Jen. Jen sendiri merupakan wanita bayaran. Jen menawarkan kepada Dimas untuk meninggalkan perkerjaannya dan menjadi cowo bayaran (Escort) agar hidupnya bisa berubah. Pada awalnya Dimas bimbang, namun akhirnya ia mencoba jalan barunya tersebut. Benar saja, setelah berubah haluan dan menjadi cowo bayaran, kehidupannya berubah drastis. Hingga pada suatu ketika, ada seorang pelanggan bernama  Hans yang ingin memakai jasanya. Mulanya Dimas pun menolak, karena ia sama sekali tidak tertarik dengan pria apalagi sampai harus melayaninya. Namun, uang seakan menjadi senjata yang meleburkan harga diri. Hubungan Dimas dan Hans pada awalnya hanya sebatas pelanggan dan pemberi jasa. Namun, waktu seakan mengubah semuanya. Cinta yang tumbuh diantara keduanya seakan menjadi abstrak hingga terjalin sebuah hubungan terlarang. Hingga pada suatu ketika hubungan mereka diketahui oleh istri Hans yaitu Vera dan anak sulungnya bernama Chris. Vera bersama anak sulungnya melabrak Dimas dikediamanya. Karena kejadian itu hubungannya dengan Hans  menjadi renggang. Dimas pun seakan menghilang ditelan bumi. Setelah bertahun – tahun menghilang siapa sangka waktu mempertemukannya kembali, namun kali ini bukan dengan  Hans melainkan dengan Chris anak sulung dari Vera. Mereka yang awalnya bermusuhan karena kejadian dimasa lalu, justru menimbulkan benih – benih cinta diantara keduanya. Hingga konflik yang lebih tragis terjadi lagi dan membongkar siapa sebenarnya Dimas,  Hans, Vera dan Jen. .....

Ansyah_Ibrahim · LGBT+
Not enough ratings
27 Chs

PART 24 - SEBUAH TITIK MASA LALU

Dua insan yang dulu sempat terhalang oleh jarak, waktu dan juga harapan. Kini seolah bertemu kembali di sebuah persimpangan. Persimpangan yang masih menyimpan sebuah misteri. Antara cinta dan dendam dari masa lalu. Mereka hanya bisa saling bertatapan satu sama lain. Ada yang menatap dengan sangat tajam. Seakan penuh dengan kebencian dan amarah. Namun, ada pula yang menatap dengan keraguan dan ketakutan.

Jika malam selalu membawa kesepian, maka masa lalu terkadang membawa kepahitan. Mereka terkadang kembali di waktu yang tidak tepat. Kini, ia berada dihadapannya. Menatap pria yang dulu pergi menjauh karena soal cinta. Kini, ia menatap pria itu seakan ia adalah pelaku dari kejahatan di masa lalu.

Mampukah…mampukah ia bertahan atau justru kembali melangkah mundur.

"Silakan jelaskan profil diri anda dengan singkat" Vano sebisa mungkin bersikap profesional. Ia tidak ingin persoalan asmaranya membuat dirinya tidak bersikap objektif.

Dimas pun bisa sedikit bernafas lega. Ternyata Vano bukan menanyakan soal permasalahan di masa lalu, melainkan tentang dirinya. Dimas pun menarik nafas sejenak dan mulai memperkenalkan dirinya dihadapan orang dari masa lalunya.

Sesi interview kali ini berjalan cukup lama, bahkan lebih lama dari biasanya. Umumnya Vano hanya menghabiskan waktu 5-10 menit untuk menginterview para pelamar kerja. Tapi nampaknya kali ini ia memperlakukan Dimas dengan cara berbeda. Ia seolah mengambil kesempatan yang mungkin saja tidak akan datang untuk kedua kalinya.

Bahkan acap kali pertanyaan yang diajukan oleh Vano tidak ada kolerasinya dengan pekerjaan yang ingin dilamar oleh dirinya. Namun meski begitu, Dimas tetap menjawab pertanyaan tersebut dengan sopan.

Ia tahu bahwa Vano seolah menggiringnya kesebuah jebakan masa lalu, namun ia bersikap sekeras mungkin untuk tidak terjebak dengan itu semua. Dengan pertanyaan – pertanyaan yang bisa saja menusuk dirinya sendiri.

Setelah sesi wawancara selesai Dimas bergegas keluar ruangan, namun baru beberapa langkah Vano menahannya.

"Bisa kita bicara sebentar diluar" Ia memohon dengan suara sangat lembut. Bahkan lebih lembut dari sebuah salju yang turun musim dingin.

Meski bibirnya ingin berkata tidak akan ajakan tersebut, tapi entah mengapa hatinya seolah berkata yang berlawanan.

….

Mereka berbicara empat mata di kantin belakang tempat Vano biasa makan siang. Dimas pun terlihat canggung bahkan sesekali ia melihat ke layar ponselnya.

"Ada apa?" Tanya Vano sembari menatapnya.

"Tidak ada apa – apa Van"

"Ayo dimakan"

Sebuah makan siang ala masakan jawa menemani mereka siang itu. Meski kini mereka telah bertemu kembali namun keduanya seolah tidak seperti dulu kala. Vano yang masih berharap bisa menyentuh kembali ke dalam kehidupan Dimas seolah terus berusaha mendobrak dembok yang ada di hatinya tersebut. Meskipun ia tahu, bahwa hal tersebut tidak akan mudah, atau bahkan bisa dibilang mustahil. Tapi biarlah.

Setelah selesai makan Dimas bergegas pergi, namun lagi dan lagi Vano seolah tak membiarkannya begitu saja. Ia memegang tangan pria yang ia cintai tersebut. Matanya begitu bersinar. Ia seolah menampakan sebuah harapan yang begitu dalam. Harapan tentang cintanya. Harapan bahwa ia bisa hidup bahagia dengan diriya. Tapi akankah Dinding besar yang menghalangi cinta mereka bisa dihancurkan. Atau justru Dimas tetap mengelak dan tidak akan pernah bisa menerima kenyataan bahwa ada seseorang yang mencintai dirinya dengan sepenuh hati.

Dimas melepaskan tangan Vano dengan perlahan – lahan. "Maaf Van aku masih ada urusan lain". Bibirnya mungkin berucap demikian, namun Vano bukanlah orang bodoh yang bisa dibohongi begitu saja..

Setelah Dimas pergi meninggalkan dirinya Vano membuntutinya. Dari dalam mobil ia melihat Dimas berjalan seolah tanpa tunjuan. Ia seperti orang yang kebingungan. Layaknya seorang anak kecil yang terjebak disebuah hutan belantara.

Suara klakson mobil yang begitu kencang menggagetkan dirinya yang sedang berjalan. Ia pun naik pintam dan hampir saja memukul kaca mobil tersebut. Namun tangannya terhenti saat kaca mobil tersebut terbuka. "Vano…" Ia memalingkan wajahnya.

"Ayo masuk biar aku antar"

"Tidak usah, aku bisa pulang sendiri"

"Ok, kalau begitu aku akan terus mengikuti mu"

Melihat tidak adanya sebuah kesempatan Dimas pun pada akhirnya menuruti keinginan Vano. Ia lalu masuk kedalam mobil dengan wajah yang begitu gelisah.

Di sepanjang perjalan keduanya nampak tidak berbicara satu sama lain. Bahkan Dimas terus saja mengalihkan wajahnya. Vano yang melihat hal tersebut pun nampaknya mulai kesal.

"Dim" Ucapanya tidak dihiraukan oleh dirinya. Dengan nada yang lebih tinggi ia kembali mengulangi ucapannya "Dimas!!!"

"Ada apa Van" Dimas segera mengalihkan wajahnya ke arah Vano.

"Kau dari tadi hanya terdiam saja. Apa ada hal yang sedang kau pikirkan?" Pertanyaan Vano seolah ingin membuka pembicaraan tentang masa lalu. Tentang perasaannya yang belum tersampaikan dengan tuntas. Tentang cintanya yang sampai saat ini masih di ombang – ambing dengan ketidakjelasan.

"Van…" Dimas menghentikan bicaranya. Ia menatap Vano dengan sangat tajam, tapi bukan dengan penuh kemarahan melainkan sebuah harapan.

"Bisakah kita tidak membahas masa lalu?"

Vano mengalihkan wajahnya. Ia mencoba menahan air matanya. Tapi bagaimana mungkin. Bagaimana mungkin air mata yang hampir jatuh itu bisa ditahan jika kau dan dirinya saja masih terbelenggu. Terbelenggu oleh perasaan yang begitu menyiksa. Cinta yang tak terbalaskan memang menyakitkan. Ia tidak hanya menusuk jiwa dan perasaan, tapi juga sendi – sendi kehidupan.

Rasanya Vano ingin sekali menyerah dan berkata bahwa dunia ini benar – benar tidak adil, tapi apa daya dan kuasa ia seolah tidak bisa berkata begitu.

"Kenapa, kau seolah ingin aku mengubur perasaan ini?". Air matanya pun tumpah. Tangisan itu pun seolah menghiasi pertemuan pertama mereka setelah sekian lama. Cinta yang dulu ada memang nampaknya tidak akan pernah hilang begitu saja.

Menghapuskan sebuah kenangan dari masa lalu bagaikan menusuk diri sendiri dengan sebuah pisau. Perih dan menyakitkan.

Dimas mengambil sebuah tisu dan mengusap air mata Vano. "Kau tak perlu menangis Van, air mata pun terlalu berharga untuk menangisi diri ku yang hina ini"

Ucapan Dimas semakin membuat derai air matanya mengalir deras. Layaknya sebuah rintik hujan yang turun dari langit. Melihat hal itu Dimas semakin tidak tega. Ia memeluk Vano dengan erat dan hangat.

Pelukannya bagaikan sebuah kehangatan yang menyelimuti bayi di musim dingin. Cinta yang dulu pernah ada kini seolah membuka tabir yang baru. Membuka sebuah perjalan yang dulu penuh misteri dan teki – teki dan juga tanda tanya. Bisakah ia dan dirinya kembali bersama. Bersama seperti sediakala. Seperti halnya kisah di masa lalu atau rasa ini memang benar – benar telah musnah ditelan kejamnya kehidupan.

….

Tak perlu mencintai begitu dalam

Kita hanya perlu mengerti batasan dan kelogisan

Jika cinta memang tidak bisa disatukan

Maka untuk apa berharap pada sebuah keajaiban

….

Bersambung