24 PART 23 - WE MEET AGAIN

….

Dalam berbagai kasus, cinta terlarang memang begitu menyakitkan. Bukan hanya saja dihalang oleh kejamnya dinding sosial tapi juga rasa yang tak terbalaskan. Sekuat apapun kita menebus batas – batas yang ada, semua terasa sia – sia. Cinta itu tak akan pernah kembali. Andai saja cinta bisa digadaikan, pasti hal itu sudah dilakukan oleh Vano.

Untuk apa berkelut dengan cinta yang tak berujung. Mau sampai kapan menunggu penantian panjang ini. Haruskah Vano menunggu sampai matahari meredupkan cahanya. Haruskan ia menunggu sampai bintang – bintang berguguran. Apakah Vano bisa sekuat itu.

Jika memang takdir tak merestui mereka sebagai sepasang kekasih, lalu mengapa sang waktu mempertemukannya. Bukankah itu adalah ketidakadilan.

Adil….?

Apa itu….Keadilan hanyalah sebuah teori tong kosong. Jika memang benar keadilan itu benar – benar nyata dan ada harusnya ia bisa mempertemukan kembali cinta yang telah lemah pergi. Tapi apa….cinta itu malah mengasingkan dirinya sendiri. Ia seolah tak sudi untuk menemui dambaan hatinya.

Seperti halnya bayangan yang berjalan tanpa raga, kau dan aku hanyalah sebuah cerita yang tak akan pernah bisa menjadi nyata.

Vano mungkin kuat menanti dirinya yang sekarang entah dimana. Namun pertanyaan yang seolah terus menghantui tanpa tanda titik itu terus menghantui, Sampai kapan ia akan bertahan.

Jika cinta adalah sebuah kebahagiaan yang diberikan Tuhan kepada setiap insan, lalu mengapa dirinya seolah selalu merasa terpuruk. Ia seolah menjadi korban dari permainan cinta itu sendiri. Apakah salah jika berharap pada seseorang yang memang kita dambakan. Apakah salah menggantungkan cinta itu pada dirinya yang belum tentu bisa menerima kita.

Jika pada akhirnya cinta ini harus berakhir tanpa kebahagiaan, mungkin kematian adalah jawaban yang paling baik. Untuk apa terus hidup dalam sebuah khayalan. Menyakitkan. Pedih dan sangat tak bisa dijabarkan.

Kata – kata cinta adalah sebuah gambaran keindahan yang harusnya dirasakan setiap insan, bukan malah kepedihan yang menusuk jiwa. Vano tak ubahnya seperti manusia yang sedang tertusuk pedang. Pilihannya hanya ada dua. Ia mencabut pedang itu tapi kematian mungkin saja akan menghampirinya atau terus hidup dalam sebuah kesakitan.

Kau tidak akan mengerti, bagaimana rasanya cinta yang telah dinantikan sejak lama, kini pergi meninggalkan dirinya.

Setiap malam ia hanya bisa memandangangi langit yang penuh kebisuan. Ia hanya bisa berbicara dengan dirinya sendiri. Berharap bahwa Tuhan akan mempertemukannya kembali.

…..

Secangkir kopi hangat sudah tersedia diatas mejanya. Tapi tatapannya masih saja kosong. Meski tangannya sibuk mengetik laporan yang harus segera diselesaikan, namun pikirannya seolah terbang melayang dan menulusuri setiap jengkal harapan yang ada.

"Permisi pak". Vano hanya terdiam tanpa memperdulikan suara itu. Wanita cantik itu pun kembali mengulangi perkataannya. "Pak.."

"Maaf, ada apa?" Sahutnya.

"Ada beberapa pelamar yang menunggu bapak diruangan sebelah"

"Oh, baik. 10 menit lagi saya segera kesana"

Vano bahkan sampai lupa jika hari ini ia ada tugas untuk menginterview para pelamar kerja. Maklum saja, perusahaan tempatnya bekerja saat ini sedang membuka lowongan kerja besar – besaran. Maka tak heran para pelamar pun yang datang bisa sampai puluhan setiap hari. Tapi tidak semua pelamar bisa mencapai interview terakhir. Yaitu interview dengan Vano.

Vano bukanlah orang yang melihat para pelamar kerja hanya berdasarkan pendidikan dan pengalamannya saja, namun ia juga menilai seseorang dari alasannya melamar kerja disini. Pernah suatu ketika ada seorang pelamar kerja yang hanya lulusan sekolah dasar, pada saat interview dengan pihak HRD ia tidak lolos. Namun pada saat itu Vano memberinya kesempatan untuk memperkenalkan dirinya dan apa alasannya bekerja disini.

Alasan itu pun seolah membuka mata dan hatinya. Sang pria itu berkata bahwa alasannya ia untuk melamar kerja disini, karena ia ingin hidup mandiri secara finansial. Pria berumur 23 tahun itu berkata bahwa ia terinspirasi dengan sosok Vano yang bisa bebas finansial di usianya yang masih muda. Pria itu bahkan sempat membaca biograpi tentang dirinya. Dan dari situlah ia menguatkan niatnya untuk mengikuti jejak idolanya tersebut.

Cerita pria itupun membuat Vano tersentuh. Ia pun memberikan kesempatan pada pria itu untuk berkerja di perusahaannya.

….

Para pelamar kerja memasuki ruangan satu per-satu. Ada yang keluar dengan wajah riang gembira yang artinya ia diterima bekerja, dan ada pula yang keluar dengan air mata.

Vano merapihkan berkas – berkas lemaran yang ada di mejanya, namun tiba – tiba saja tangannya terhenti ketika melihat sebuah lembaran kertas seorang pelamar kerja. Ia pun segera bergegas keluar dan memberitahu pegawainya untuk segera memanggil pelamar tersebut yang sedang bergegas keluar.

….

Wajahnya pria itu nampak begitu murung. Ia berjalan perlahan - lahan menuju lift yang ada diujung lorong. Namun saat dirinya baru saja menekan tombol lift, tiba – tiba saja seseorang memanggilnya.

"Ada apa Bu?" Tanya pria itu yang terheran – heran melihat wanita itu terengah – engah.

"Kamu…" Wanita itu mencoba menarik nafasnya. "Kamu dipanggil lagi ke dalam"

"Saya…" Wajahnya nampak kebingungan. Maklum saja, padahal tadi ia tidak lolos untuk interview di tahap akhir. Lalu mengapa sekarang tiba – tiba ia dipanggil kembali. Pria itu berjalan dengan pikirannya yang masih mengaung – ngaung. Sesekali ia menggarut kepalanya.

"Silakan masuk kedalam" Wanita itu menujuk ke ruangan Vano

Pria itu lalu melangkah perlahan – lahan dengan hati yang begitu berdebar – debar. Detak jatungnya semakin berdebar kencang takala ia mengijakan kaki di dalam ruangan tersebut.

Pria itu berdiri di dekat pintu sembari sesekali melihat seisi ruangan yang hanya ada sebuah laptop dan beberapa lamaran kerja yang tersusun rapi diatas meja. Ia nampak tak melihat ada seseorang disini.

Pria itu hanya bisa menunggu sembari sesekali melihat ke arah jarum jam yang ia kenakan. Setelah sepuluh menit berlalu tiba – tiba saja seorang pria keluar dari dalam kamar mandi. Ia lalu membalikan badan dan menatap dirinya.

"Van…Vano…" Seketika waktu seolah berhenti. Ia seolah membuka lembaran lama yang telah usai dilekang waktu. Kini, tepat dihadapannya ada seseorang dari masa lalu. Masa lalu yang begitu pelik dan penuh misteri.

"Silakan duduk" Vano terlihat santai. Namun wajahnya seolah tak bisa ditutupi. Bahkan sesekali ia menggigit bibirnya untuk menahan rasa rindu.

Vano lalu mengeser laptop dan berkas yang ada dihadapannya. Ia menatap Dimas dengan saja tajam.

"Jelaskan…" Vano menghentikan bicaranya. Ia seolah tak sangggup untuk meneruskan kalimat yang ia ingin ucapkan. Ia mencoba menahan air matanya yang hampir terjatuh. Tapi dihadapannya, ia seolah bersikap tegar. Ia tidak ingin terlihat lemah dan cengeng, apalagi sampai menangis hanya karena dirinya.

Bersambung

avataravatar
Next chapter