webnovel

Jangan membuka pintu

Prolog Pada 700 tahun yang lalu, ada keluarga kecil, namun mereka hidup bahagia, sang ibu sudah tiada karena melahirkan si bungsu. Kemudian ada satu hal yang tidak pernah disangka-sangka. Karena kecerobohan itu, mengakibatkan semuanya tiada. Sebelum pergi ke hutan, sang ayah yang bekerja sebagai pemburu, berpesan kepada sang kakak dan adik yang bernama, Jaka dan Eko, agar tidak bermain hal yang berbahaya. Begitu ayah pergi, sang kakak, Jaka pergi ke kamar dan tidur. sang adik bosan di dalam rumah, berulang kali dia melihat ke luar jendela. Eko tidak bisa menahan rasa bosannya lagi. Jadi dia membangunkan kakaknya, Jaka. Jaka yang sedang tidur, menggeliat malas. Dan menyuruh Eko main sendiri. Dengan hati yang kesal, Eko pergi ke dapur. Eko menyadari ada batu api di dekat tungku untuk memasak. Dengan rasa penasaran, Eko meraih batu api itu kemudian mulai memainkannya. Api menyala secara mendadak di tangan Eko, karena kaget, Eko melemparkan batu api ke dalam tumpukan kayu kemudian dengan cepat api menyebar. Pintu belakang di dapur tidak bisa di buka lagi, karena tertutupi api. Eko lari ke kamar Jaka yang masih tidur. Dengan panik Eko menceritakan semua. Jaka dan Eko kemudian menghambur keluar. Ruangan itu sangat panas. Api menyebar tidak terkendali. Dan mulai memasuki ruang tamu. Joko juga Eko berusaha membuka pintu. Sayangnya tidak terbuka karena terkunci dari luar. Baru saat itulah Joko menyadari ayahlah yang mengunci dari luar agar Eko tidak main ke pinggir hutan tempat mereka tinggal. *** Dan kisah ini dimulai saat sepupuku, Melisa dan kelima temannya, bermain di rumahku. Aku tak tahu kalau Melisa dan kelima temannya akan merubahku seperti sekarang. Apa kau tahu? Terkadang rasa ingin tahu itu berbahaya. Begitu yang terjadi dengan Melisa dan kelima temannya. Mereka hanya sekedar ingin tahu tentang legenda tahu itu, tapi rasa penasaran itu malah membawa petaka.

Dianra · Horror
Not enough ratings
16 Chs

Bab 8

Sebelum berangkat kerja ayah mengajakku berbicara. Wajah ayah terlihat serius, tak ada gurat santai seperti biasanya.

"Kamu mau pergi ke suatu tempat?" Tanya ayah.

Mungkin karena dipengaruhi oleh kecemasan ibu semalam, ayah jadi terlihat lesu dan khawatir. Ayah memang terlihat tenang dan seakan tidak percaya dengan firasat ibuku, tapi dilihat dari mata merah beliau, ayah pasti tidak bisa tidur nyenyak semalam.

"Tidak, Aldi di rumah saja."

"Begitu?" Ayah bergumam. "Kalau siapapun yang mengajak pergi entah kemana. Jangan mau, bilang ayah melarang. Tidak peduli kamu dianggap anak manja atau apa, keselamatan kamu yang paling penting. Mengerti Aldi?" Tanya ayah dengan nada tegas.

"Iya mengerti."

Ibu melongok dari kaca mobil yang terbuka, tatapan beliau terlihat heran saat menatap ayah dan aku.

"Apa yang sedang kalian bicarakan? Kita hampir telat, Yah."

"Iya, sebentar," sahut Ayah sambil memandang ibu dan kemudian kembali menatapku. "Jangan lupa pesan Ayah, Aldi. Jangan pergi kemana-mana."

Aku menganggukkan kepala.

Setelah itu, ayah pergi bersama ibu. Tinggal aku sendiri di rumah.

***

Aku bukannya tidak mau pergi jalan-jalan entah kemana. Tapi, karena ibu yang begitu cemas dan ayah juga terlihat was-was, aku memutuskan untuk di rumah saja.

Kunyalakan TV dan suara dari TV menjadi pengisi latar belakang rumah yang sepi.

Beberapa menit kuhabiskan waktu untuk menonton TV dengan acara yang membosankan. Ketika jeda iklan, aku menatap pintu kamar yang sudah lama terkunci, pintu kamar paling pojok tempat tidur lamaku, tempat dimana Melisa menghilang kareba permainan 'minta tolong' itu.

Rasanya aneh sekaligus membuatku merinding.

Rumahku jadi terkesan gelap dan suram ketika aku menatap kamar yang sudah lama terkunci tersebut.

Hanya seminggu sekali, kamar itu dibuka dan dibersihkan oleh ibu dan aku. Tapi, karena minggu ini kami baru pulang sehabis liburan, ibu dan aku tidak sempat membersihkannya.

Tadi pagi sebelum berangkat kerja, aku sempat bertanya kepada ibu, apakah boleh ketika ibu dan ayah tidak ada di rumah aku membersihkan kamar lamaku?

Ibu menolak.

"Nanti saja kita bereskan sehabis ibu dan ayah pulang. Kamu jangan berani-beraninya ya, Al? Membersihkan kamar lama sendirian." Ujar ibu dengan nada tegas, tidak mau dibantah.

Ayah yang mendengarkan, menganggukkan kepala, setuju dengan ibu.

Sepertinya aku terlampau lama menatap kamar lama yang gelap karena perasaan aneh yang membuatku merinding terus menjalar hingga badanku terasa kaku.

Jadi ketika ada suara pintu yang mengetuk kamarku, aku kaget sendiri.

Ketukan pintu dari luar rumah diiringi suara orang yang memanggilku.

Aku hapal suara yang memanggilku, itu suara Dika dan Riko.

Mau apa mereka, tumben sekali datang ke rumahku.

Menghela napas karena merasa enggan dikarenakan bertemu dengan orang yang tidak ingin aku temui, aku berjalan menuju pintu dan membukanya.

Riko dan Dika menyambut pintu rumah yang aku buka dengan senyum yang lebar.

"Hai, Al," sapa mereka berbarengan.

"Oh," aku menatap mereka berdua dengan tenang dan kembali menutup pintu.

"Al!"

"Jangan tutup pintunya!"

***

"Kamu kenapa sih, kita tuh sekarang bertamu. Ber.ta.mu. kenapa malah main tutup pintu saja!"

"Tahu nih, Al!"

Dika dan Riko sama-sama menggerutu karena masih sebal dengan keisenganku yang berpura-pura menutup pintu tanpa mempersilahkan mereka masuk.

Aku menyodorkan minuman gelas satu-satu ke mereka yang duduk di sofa ruang tamu. Diam-diam menahan geli karena melihat wajah konyol Dika dan Riko yang melongo tidak percaya tadi di depan pintu rumah.

"Maaf."

Dika dan Riko sama-sama mendengus dan membuang muka, masih kesal.

"Gimana liburan kalian?" Tanyaku sembari duduk di kursi yang berhadapan dengan mereka berdua. "Menyenangkan?"

"Apa yang menyenangkan?" Keluh Riko sembari mengambil cemilan yang berada dihadapannya dan memakannya. Wajah Riko terlihat lesu dan bosan.

"Ada juga membosankan banget!" Sambung Dika, menggelengkan kepala.

"Kalau kamu kemana, Al?" Tanya Riko.

"Seminggu ini, aku sama kedua orang tuaku pergi ke pantai."

"Wiiih! Asyik banget!" Kata Dika dan Riko berbarengan.

"Bawa oleh-oleh apaan, Al?" Tanya Riko kembali.

"Enggak bawa apa-apa." Jawabku dan setelahnya minum air gelas.

Dika memperhatikan keadaan rumahku dan menatap TV yang sedang menyala lama sekali. Kuperhatikan arah tatapan Dika.

"Kenapa, Dika? Mau nonton? Ya udah, pindah aja, ayo ke ruang TV."

"Ayo," sahut Riko.

Dika dan Riko sama-sama membawa minuman dan toples makanan ringan. Kami duduk di karpet hangat dan menghadap TV.

"Masih ada seminggu lagi, nih. Kalo di rumah bakalan bosan," kata Riko. "Bagaimana kalau besok kita ke kolam renang? Habis kalau ijinnya pergi ke pantai seperti Aldi, enggak bakalan dapat ijin."

"Ayo," sambutku. "Jam berapa?"

Dika tidak menanggapi perkataan kami dia masih memandang arah lain, dengan pandangan fokus dan serius. Hingga membuat Riko dan aku berhenti berbicara.

"Dika?" Panggilku. "Melihat apa sih?"

Orang yang kupanggil tidak menjawab. Dika seakan tidak mendengar suaraku.

Kupandang Riko, karena dia lebih akrab dengan Dika ketimbang aku.

Namun, Riko sendiri mengangkat bahu, tidak tahu kenapa Dika seaneh itu.

Kali ini giliran Riko yang memanggil Dika.

"Dika!" Sentak Riko sembari menepuk bahu Dika kencang sampai Dika yang duduk terdorong ke depan dan hampir jatuh.

"Aduh," keluh Dika yang tadinya terdorong ke depan, kembali duduk tegak. "Sakit, Riko!" Jelas sekali kalau dari wajah Dika, dia kesal.

"He he," Riko nyengir tanpa rasa bersalah. "Maaf."

"Lagian kamu sih, Dika. Kamu melihat apa sih sampai enggak berkedip gitu?" Tanyaku, penasaran.

"Hah?" Dika kaget, ketika aku bertanya seperti itu. "Memangnya kamu manggil aku?"

"Bukan hanya Aldi saja yang manggil kamu, aku juga." Protes Riko, karena enggak dianggap bantu memanggil Dika.

"Iya, tapi enggak usah sampai mengeplak segala." Sungut Dika dengan wajah kecut.

"Oke, tahan berantemnya," kataku sembari mengangkat kedua tangan, seakan memisahkan mereka berdua. "Kamu melihat apa, Dika?" Tanyaku sembari menatap Dika.

"Ah," wajah Dika terlihat jelas menutupi sesuatu. "Lagi melamun sebentar." Ujar Dika, berbohong.

Aku memundurkan badanku, sedikit menjauh dari Dika. Karena arah yang dilihat Dika tadi jelas adalah kamar lamaku, tempat dimana Melisa menghilang.

Wajah Riko juga berubah, terlihat pucat dan ketika berdiri dengan cepat, kulihat kakinya bergetar. Jelas sekali kalau Riko ingat kalau arah yang dipandangi oleh Dika adalah kamar lamaku.

Aku ikut berdiri menyusul Riko yang sudah jalan terlebih dahulu ke ruang tamu.

Bisa kurasakan hawa dingin menerpaku ketika aku berdiri, berbalik dan berjalan cepat membelakangi kamar lamaku.

Aku tak pernah merasa sehoror ini selama hidupku!

Bahkan ketika hilangnya Melisa diiringi bau daging hangus, aku masih berani ditinggalkan sendiri karena kedua orang tuaku harus bekerja.

Kali ini...

Bersambung...