webnovel

Jangan membuka pintu

Prolog Pada 700 tahun yang lalu, ada keluarga kecil, namun mereka hidup bahagia, sang ibu sudah tiada karena melahirkan si bungsu. Kemudian ada satu hal yang tidak pernah disangka-sangka. Karena kecerobohan itu, mengakibatkan semuanya tiada. Sebelum pergi ke hutan, sang ayah yang bekerja sebagai pemburu, berpesan kepada sang kakak dan adik yang bernama, Jaka dan Eko, agar tidak bermain hal yang berbahaya. Begitu ayah pergi, sang kakak, Jaka pergi ke kamar dan tidur. sang adik bosan di dalam rumah, berulang kali dia melihat ke luar jendela. Eko tidak bisa menahan rasa bosannya lagi. Jadi dia membangunkan kakaknya, Jaka. Jaka yang sedang tidur, menggeliat malas. Dan menyuruh Eko main sendiri. Dengan hati yang kesal, Eko pergi ke dapur. Eko menyadari ada batu api di dekat tungku untuk memasak. Dengan rasa penasaran, Eko meraih batu api itu kemudian mulai memainkannya. Api menyala secara mendadak di tangan Eko, karena kaget, Eko melemparkan batu api ke dalam tumpukan kayu kemudian dengan cepat api menyebar. Pintu belakang di dapur tidak bisa di buka lagi, karena tertutupi api. Eko lari ke kamar Jaka yang masih tidur. Dengan panik Eko menceritakan semua. Jaka dan Eko kemudian menghambur keluar. Ruangan itu sangat panas. Api menyebar tidak terkendali. Dan mulai memasuki ruang tamu. Joko juga Eko berusaha membuka pintu. Sayangnya tidak terbuka karena terkunci dari luar. Baru saat itulah Joko menyadari ayahlah yang mengunci dari luar agar Eko tidak main ke pinggir hutan tempat mereka tinggal. *** Dan kisah ini dimulai saat sepupuku, Melisa dan kelima temannya, bermain di rumahku. Aku tak tahu kalau Melisa dan kelima temannya akan merubahku seperti sekarang. Apa kau tahu? Terkadang rasa ingin tahu itu berbahaya. Begitu yang terjadi dengan Melisa dan kelima temannya. Mereka hanya sekedar ingin tahu tentang legenda tahu itu, tapi rasa penasaran itu malah membawa petaka.

Dianra · Horror
Not enough ratings
16 Chs

bab 4

Ketika aku sampai di SMA, tempatku bersekolah, aku melihat Riko melambaikan tangannya. Dia berdiri di samping tembok penyimpanan sepeda, tersenyum ketika aku mendekati dirinya. Riko menepuk bahuku.

"Wajah kamu pucat banget, Al?"

Aku mendengus. "Terimakasih sudah menjelaskan ke anak baru tentang legenda tabu di sini," setelah berkata seperti itu, aku berjalan ke kelas terlebih dahulu meninggalkan Riko yang masih tertegun.

"Al, Al," panggil Riko yang berada dibelakangku.

Aku berjalan lebih cepat, berusaha untuk tidak tersusul Riko. Meski itu percuma saja, karena aku, Riko dan Dika itu satu kelas di SMA ini.

Kelasku ada di lantai satu dekat pohon yang tidak aku tahu apa namanya tidak berbuat hanya ada bunga kecil berwarna kuning pucat dan wanginya membuatku pusing.

"Ada PR enggak sih?" Tanya Riko yang berhasil menyusulku.

Aku mendelik ke Riko, merasa kesal karena dia tidak ingat, akibat dia cerita ke Dika kemarin, aku jadi tidak bisa tidur semalaman. Riko merasa tidak bersalah, jadi dia bingung ketika aku menatap marah ke dirinya.

"Ada apa, Al?" Tanya Riko.

"Semalam tidur nyenyak, Rik?" Aku balik bertanya, mengabaikan pertanyaan Riko.

"Iya, kenapa?"

"Syukur deh." Kataku langsung berjalan kembali masuk kelas.

"Hei, Al, memangnya kenapa kalau semalaman aku tidur nyenyak?" Tanya Riko kebingungan melihat aku yang terlihat kesal.

Tapi aku tidak menjawab, terlalu jengkel untuk menjelaskan kepada Riko kalau karena dia bercerita kepada Dika mengenai legenda tabu itu, aku jadi teringat kembali peristiwa 2 tahun yang lalu, yang mengakibatkan sepupuku dan teman-temannya menghilang.

***

Pada istirahat pagi, Dika yang baru 2 hari jadi anak baru di kelas sudah akrab dengan beberapa anak di kelas, termasuk Riko. Aku mengamati Dika dan Riko tertawa berbarengan. Tidak tahu apa yang mereka tertawakan.

Tanpa sengaja, mataku bertemu pandang dengan Dika. Setelahnya, Dika berbicara pelan ke Riko, entah apa yang dibicarakan, tapi Riko mengangguk. Kemudian, mereka berdua berjalan bersama ke mejaku yang dekat dengan jendela halaman belakang sekolah.

"Al, diam saja," sapa Dika yang berjalan ke arahku bersama dengan Riko, mereka berdua tersenyum.

"Sudah mengerjakan PR?" Tanyaku kepada mereka berdua yang terlihat santai dan tenang.

"Hah? Ada PR?" Wajah Riko langsung pucat.

Dika yang mulanya tersenyum, seketika itu juga berhenti tersenyum dan wajahnya berubah serius, dia langsung melirik Riko. "Serius nih?" Dika terlihat muram.

Aku bisa membayangkan betapa paniknya Dika dan Riko.

"Bercanda," tukasku, sembari berusaha untuk tidak tersenyum. Wajah mereka berdua yang panik karena belum mengerjakan PR lumayan lucu.

Riko bengong ketika melihatku tersenyum. Mungkin dia menyadari kalau aku tidak serius ketika bilang ada PR.

"Bisa saja nih si Aldi." Kata Riko sembari terkekeh.

"Dipikir hanya aku saja yang lupa," ujar Dika menghela napas lega. "Untung enggak ada PR beneran."

"Ada apa?" Tanyaku kembali menatap buku yang terbuka. "kenapa ke sini?"

"Kamu tuh serius banget," kata Dika. "Belajar terus. Enggak capek?"

Aku menatap wajah Dika yang terlihat ramah dan juga pintar bergaul. Aku tidak akan bisa sama dengan Dika yang bisa cepat akrab dengan orang baru.

Apa yang akan aku ucapkan ini bisa saja menyinggung Dika yang ramah, tapi ini demi kebaikannya sendiri. Melisa, sepupuku yang menggemaskan itu, karena rasa penasarannya, bermain dengan legenda tabu itu bersama keempat temannya dan akhirnya menghilang.

Aku tak mau ada orang yang aku kenal hilang lagi karena legenda itu.

"Ini sebenarnya bukan urusan aku. Tapi, gimana kalau kamu tidak usah tahu tentang legenda tabu di daerah sini?" Kataku sembari memperhatikan wajah Dika.

Kuperhatikan wajah Dika yang terlihat tidak senang.

Terlalu ikut campur, itu yang Dika rasakan ketika aku berkata seperti itu, aku tidak bakal meminta Dika mundur dari penasaran jika itu tidak berbahaya.

"Aku hanya mengingatkan. Itu berbahaya. Kejadian yang tidak akan kulupakan seumur hidupku karena sepupuku menghilang 2 tahun yang lalu karena legenda itu," Ujarku menerangkan sebelum Dika marah.

Riko mengangguk dan menepuk bahu Dika. "Aku termasuk sepupu Aldi, berarti anak perempuan yang hilang itu juga termasuk saudaraku."

Dika duduk di kursi depan mejaku dan Riko duduk di sebelahnya. Ada banyak pertanyaan yang tersirat dari mata Dika. Rasa penasaran itu tidak berkurang malah semakin menguat.

"Bagaimana bisa sepupu kamu hilang? Seperti apa kejadiannya?" Tanya Dika, rasa ingin tahunya terlihat jelas dari nada bicaranya.

"Kamu tidak takut?" Tanyaku heran sekaligus tidak menyangka.

Sebenarnya apa yang dipikirkan bocah ini? Kenapa dia tidak mundur meski sudah tahu ada korban akibat legenda tabu di tempat ini?

"Kenapa harus takut? Justru menurutku itu sangat menarik," kata Dika sembari menyunggingkan senyum.

Aku dan Riko saling berpandangan, tidak tahu harus berkata apa, dan kembali menatap Dika yang menatap aku dengan pandangan penasaran.

"Ceritakan lebih tentang legenda itu dan sepupu kamu yang menghilang itu," pinta Dika bersemangat.

Aku menghela napas panjang.

Dika ini, benar-benar di luar dugaan...

***

Riko mengikuti aku pulang, sedikit banyaknya Riko mengerti kenapa aku tidak mau Dika penasaran dengan legenda itu. Pengalaman menghilangnya sepupu dan keempat temannya cukup membuatku takut dan ngeri.

Bisa terlihat jelas kalau Dika ini tidak bisa hanya lewat omongan, harus pakai tindakan agar dia mengerti. Kalau legenda tabu di daerah ini bukan untuk main-main.

"Al, kenapa kamu bicara seperti itu ke Dika?" Tanya Riko begitu masuk rumahku. Orang tuaku masih pergi bekerja, dan akan pulang ketika sudah malam.

"Ayahku yang bilang untuk mengingatkan Dika agar kejadian 2 tahun yang lalu itu tidak terjadi lagi," ujarku sembari membawa minuman dari dapur, kemudian meletakkan minuman di meja. Aku duduk di depan Riko.

"Dika hanya penasaran, tidak mungkin dia bermain seperti Melisa yang mengakibatkan menghilang," kata Riko.

Aku mengerutkan kening, tidak suka karena Riko terlihat begitu membela Dika. Dika itu anak baru yang tidak mengerti bahaya dari legenda yang membuat penduduk sekitar sini segan. Malah, aku rasa dia tertantang.

"Apa yang membuat kamu yakin kalau Dika enggak akan berbuat sesuatu yang mengakibatkan dia menghilang seperti Melisa?" Tanyaku, berusaha untuk menutupi rasa jengkelku.

Aku pikir aku bisa menutupi rasa tidak suka karena Riko begitu percaya kalau Dika tidak akan berbuat berbahaya. Tapi ternyata tidak, Riko menyadarinya. Dia menatapku pengertian.

"Jangan kekanak-kanakan, Al. Kita udah 17 tahun. Pasti udah ngerti apa yang berbahaya apa yang tidak. Dan saat itu, Melisa berusia 12 tahun, tidak ada orang dewasa yang mendampingi ketika bermain permainan tabu itu." Kata Riko menjelaskan kepadaku.