webnovel

Jangan membuka pintu

Prolog Pada 700 tahun yang lalu, ada keluarga kecil, namun mereka hidup bahagia, sang ibu sudah tiada karena melahirkan si bungsu. Kemudian ada satu hal yang tidak pernah disangka-sangka. Karena kecerobohan itu, mengakibatkan semuanya tiada. Sebelum pergi ke hutan, sang ayah yang bekerja sebagai pemburu, berpesan kepada sang kakak dan adik yang bernama, Jaka dan Eko, agar tidak bermain hal yang berbahaya. Begitu ayah pergi, sang kakak, Jaka pergi ke kamar dan tidur. sang adik bosan di dalam rumah, berulang kali dia melihat ke luar jendela. Eko tidak bisa menahan rasa bosannya lagi. Jadi dia membangunkan kakaknya, Jaka. Jaka yang sedang tidur, menggeliat malas. Dan menyuruh Eko main sendiri. Dengan hati yang kesal, Eko pergi ke dapur. Eko menyadari ada batu api di dekat tungku untuk memasak. Dengan rasa penasaran, Eko meraih batu api itu kemudian mulai memainkannya. Api menyala secara mendadak di tangan Eko, karena kaget, Eko melemparkan batu api ke dalam tumpukan kayu kemudian dengan cepat api menyebar. Pintu belakang di dapur tidak bisa di buka lagi, karena tertutupi api. Eko lari ke kamar Jaka yang masih tidur. Dengan panik Eko menceritakan semua. Jaka dan Eko kemudian menghambur keluar. Ruangan itu sangat panas. Api menyebar tidak terkendali. Dan mulai memasuki ruang tamu. Joko juga Eko berusaha membuka pintu. Sayangnya tidak terbuka karena terkunci dari luar. Baru saat itulah Joko menyadari ayahlah yang mengunci dari luar agar Eko tidak main ke pinggir hutan tempat mereka tinggal. *** Dan kisah ini dimulai saat sepupuku, Melisa dan kelima temannya, bermain di rumahku. Aku tak tahu kalau Melisa dan kelima temannya akan merubahku seperti sekarang. Apa kau tahu? Terkadang rasa ingin tahu itu berbahaya. Begitu yang terjadi dengan Melisa dan kelima temannya. Mereka hanya sekedar ingin tahu tentang legenda tahu itu, tapi rasa penasaran itu malah membawa petaka.

Dianra · Horror
Not enough ratings
16 Chs

bab 2

Suasana terasa mencekik saat aku berjalan sembari membawa nampan menuju ruang tamu, dimana semua orang menungguku. Wajah ayah datar begitu juga dengan ibu, beliau menatapku ketika aku berjalan membawa air.

"Aldi bawa minumnya kurang, apa Aldi bawa lagi?" Tanyaku sembari meletakkan nampan di meja.

"Enggak usah dulu, nanti Ibu yang ambil," kata ibuku sembari memegang lengan. Dengan isyarat mata ibu, beliau memintaku duduk di sampingnya.

"Aldi, sebenarnya apa yang terjadi?" Tanya ayah, setelah aku duduk di sebelah ibu. "Benar Melisa ke sini?"

"Iya," jawabku. "Tapi Melisa sama teman-temannya datang ke sini sebelum Aldi berangkat berenang dengan Riko. Kata Melisa saat itu dia mau main di kamar Aldi. Terus, Aldi tinggal karena sudah janji sama Riko mau berenang."

Wajah semua orang tua yang anaknya belum pulang terlihat tegang mendengar penjelasanku.

"Waktu Aldi kembali ke rumah, Melisa masih ada di rumah?"

"Enggak, Melisa dan teman-temannya sudah enggak ada," jawabku.

"Terus dimana Melisa?" Tanya ibu Melisa yang duduk di seberang bangkuku.

"Aldi enggak tahu, tante."

Air mata ibu Melisa menetes. "Ya ampun, Melisa. Kamu dimana, nak?"

"Waktu kamu pulang, kondisi rumah seperti apa?" Tanya ibuku lagi. "Berantakan atau gimana?"

"Lampu masih mati. Terus waktu Aldi buka pintu, ada bau daging hangus..."

"Apa?" Ibu Melisa menyelak perkataanku.

"Ada bau daging hangus?"

"Iya, tapi waktu Aldi periksa ke dapur enggak ada yang terbakar. Semua seperti waktu Aldi tinggalkan," ucapku, berusaha menenangkan kekalutan semua orang yang terlihat cemas.

"Jadi legenda itu benar?" Gumam salah satu orang tua teman Melisa.

"Enggak mungkin!" Teriak ibu Melisa mengagetkan semua orang yang hadir di ruang tamu rumahku. "Anakku enggak mungkin bermain permainan 'meminta tolong itu'!"

"Tenang, Ma," ujar ayah Melisa sembari mengelus lengan ibu Melisa. Kemudian, ayah Melisa menatapku. "Semua perkataan yang Aldi ucapkan ada saksi dan buktinya?"

Suara ayah Melisa begitu serius dan tatapan matanya tajam. Aku mengerti, bahwa mereka tidak berniat menuduhku.

"Kalau saksi Aldi main sama Riko, saksinya kedua orang tua Riko. Soalnya, Aldi mampir ke rumah Riko dulu sebelum berenang." Ujarku. "Lalu, kalau saksi untuk Aldi sama Riko berenang, Mas Imran yang jadi penjaga siang bisa jadi saksinya."

"Melisa waktu kamu tinggal ngomong apa?" Tanya ayah Melisa lagi.

Raut wajahnya cemas dan ada sorot ngeri di mata ayah Melisa.

"Melisa ijin main di kamar Aldi. Tapi, habis itu Aldi enggak tahu."

"Aldi," panggil ibu Melisa setengah meratap. "Kenapa kamu engak cegah Melisa agar tidak bermain 'meminta tolong'. Sekarang, kemana Tante harus mencari Melisa?"

"Mbak, Aldi juga enggak tahu kalau Melisa sama teman-temannya bermain seperti itu. Jadi ini enggak sepenuhnya salah Aldi," kata ibu membelaku.

"Aldi, saat itu, kenapa kamu ijinkan Melisa juga teman-temannya main ke rumah? Kamu enggak kasih tahu kalau kamu pergi?" Tanya ayah.

"Dia bilang, mau bermain di kamar Aldi, dan janji enggak bakal acak-acak kamar Aldi," jawabku.

Setelah mendengar jawabanku, semua tidak ada yang menjawab sedikitpun. Sesekali, tangis ibu Melisa terdengar.

"Kita tidak bisa berdiam diri seperti ini," ujar salah seorang ayah teman Melisa. "Kita harus mencari mereka."

"Sekarang sudah malam, terlalu berbahaya untuk mencari mereka."

"Aku enggak peduli. Bagaimanapun caranya aku harus menemukan Melisa," ujar ibu Melisa terdengar gelisah.

Hasil dari percakapan 2 menolak mencari sekarang, sementara 3 orang tua setuju untuk pergi mencari. Ayah dan ibu menjadi pendengar dan netral. Tapi, karena Melisa dan keempat temannya itu bermain di rumah kami, setidaknya secara tidak langsung kami terlibat. Meski kami tidak ingin terlibat dengan hal yang sebenarnya kami tidak ketahui.

Jadi para ayah yang berada di ruang tamu termasuk ayahku, pergi berkeliling mencari di sekitar atau bertanya kepada warga, meski kami punya dugaan kuat kemana sebenarnya keberadaan Melisa dan keempat temannya. Meski kecil kemungkinan kami menemukan mereka, tapi para orang tua yang cemas dan takut, sangat berharap menemukan mereka.

Para ibu yang anak-anaknya menghilang itu berkumpul di ruang tamu rumahku.

Malam itu sangat ramai sekali.

Para warga saling bersahutan memanggil Melisa dan keempat temannya. Aku rasa para warga itu tahu apa yang terjadi setelah ayah dan ibuku menceritakan masalah kalau saat aku pergi bermain bersama Riko, Melisa dan keempat temannya bermain di kamarku, dan tidak ada orang dewasa yang mengawasi Melisa dan teman-temannya.

Suasana di ruang tamu sepi, tegang sekali. TV dinyalakan hanya untuk latar belakang agar suasananya tidak kaku sedikit.

Tak kuduga Riko datang ke rumah bersama kedua orang tuanya. Wajah mereka terlihat gelisah dan kaget. Ibuku datang menyambut dan mengantarkan mereka masuk ke dalam.

"Ini gimana ceritanya?" Tanya ayah Riko begitu bergabung duduk bersebelahan dengan ibu Riko. Sementara aku dan Riko berdiri di depan tembok.

"Saya sampai kaget waktu ada warga yang datang ke rumah menanyakan Melisa," sambung ibu Riko, matanya berkeliling melihat semua orang yang duduk di sekitaran ruang tamu, para ibu yang cemas karena anaknya belum juga ditemukan.

Ibu Melisa masih menangis dan menatap ibu Riko.

"Mbak, benar anak saya tidak ke rumah Mbak?" Tanya ibu Melisa, wajahnya pucat dan tangannya gemetar saat menghapus air matanya.

"Lho kok ke rumah Riko? Mbak salah. Melisa main ke rumah Aldi, sementara Aldi sama Riko pergi berenang," terang ibu Riko.

"Terus Melisa kemana?" Tatap ibu Melisa, nafasnya tersengal-sengal dan akhirnya pingsan.

Suasana di ruang tamu langsung gaduh.

"Bawa Mamanya Melisa ke kamar Aldi," pinta ibuku.

Aku memegang lengan ibuku, ibu langsung menoleh dan memandangku penuh tanya.

"Ma, itu kamar Aldi mungkin tempat Melisa dan yang lainnya menghilang, apa enggak masalah?" Tanyaku, ragu.

Ibuku tersentak dan menyadari bahwa akan jadi masalah lebih besar lagi kalau ibu Melisa kenapa-napa juga.

Sementara ibu-ibu setengah memapah ibu Melisa menuju kamarku, bahkan ada seorang ibu yang sudah membuka pintu kamarku.

Ibuku langsung mencegah.

"Ibu-ibu, enggak jadi di kamar Aldi." Teriak ibuku langsung lari dan memblokir dia orang ibu yang sedang memapah ibu Melisa. "Jangan di kamar Aldi."

"Loh kok enggak jadi?" Tanya salah seorang yang memapah ibu Melisa, wajahnya cemberut.

"Terus Mamanya Melisa bagaimana?"

Semua orang saling memandang dan akhirnya menatap ibuku.

"Tolong bantu saya memapah Mamanya Melisa ke kamar sebelah Aldi."

Meski terlihat tidak suka kedua ibu itu dengan sigap kembali berjalan menuju kamar di sebelahku.

"Emang kenapa sih Mamanya Aldi?" Tanya ibu yang tadi sudah membuka pintu kamarku.

"Kamar Aldi kan dipakai buat mainnya Melisa sama yang lainnya," kata ibuku menjelaskan.

"Oh," semua orang terperangah tidak menyangka.