webnovel

Jangan membuka pintu

Prolog Pada 700 tahun yang lalu, ada keluarga kecil, namun mereka hidup bahagia, sang ibu sudah tiada karena melahirkan si bungsu. Kemudian ada satu hal yang tidak pernah disangka-sangka. Karena kecerobohan itu, mengakibatkan semuanya tiada. Sebelum pergi ke hutan, sang ayah yang bekerja sebagai pemburu, berpesan kepada sang kakak dan adik yang bernama, Jaka dan Eko, agar tidak bermain hal yang berbahaya. Begitu ayah pergi, sang kakak, Jaka pergi ke kamar dan tidur. sang adik bosan di dalam rumah, berulang kali dia melihat ke luar jendela. Eko tidak bisa menahan rasa bosannya lagi. Jadi dia membangunkan kakaknya, Jaka. Jaka yang sedang tidur, menggeliat malas. Dan menyuruh Eko main sendiri. Dengan hati yang kesal, Eko pergi ke dapur. Eko menyadari ada batu api di dekat tungku untuk memasak. Dengan rasa penasaran, Eko meraih batu api itu kemudian mulai memainkannya. Api menyala secara mendadak di tangan Eko, karena kaget, Eko melemparkan batu api ke dalam tumpukan kayu kemudian dengan cepat api menyebar. Pintu belakang di dapur tidak bisa di buka lagi, karena tertutupi api. Eko lari ke kamar Jaka yang masih tidur. Dengan panik Eko menceritakan semua. Jaka dan Eko kemudian menghambur keluar. Ruangan itu sangat panas. Api menyebar tidak terkendali. Dan mulai memasuki ruang tamu. Joko juga Eko berusaha membuka pintu. Sayangnya tidak terbuka karena terkunci dari luar. Baru saat itulah Joko menyadari ayahlah yang mengunci dari luar agar Eko tidak main ke pinggir hutan tempat mereka tinggal. *** Dan kisah ini dimulai saat sepupuku, Melisa dan kelima temannya, bermain di rumahku. Aku tak tahu kalau Melisa dan kelima temannya akan merubahku seperti sekarang. Apa kau tahu? Terkadang rasa ingin tahu itu berbahaya. Begitu yang terjadi dengan Melisa dan kelima temannya. Mereka hanya sekedar ingin tahu tentang legenda tahu itu, tapi rasa penasaran itu malah membawa petaka.

Dianra · Horror
Not enough ratings
16 Chs

bab 16

Jika seseorang diambang kematian, dia baru akan menyadari banyak hal yang belum dia lakukan di dunia ini.

Aku pernah mendengar kalimat tersebut dan sekarang aku menyadari betapa benarnya itu.

Blackhole itu lebih kencang dari sebelumnya.

Dan inilah akhirnya...

Padahal masih banyak yang ingin aku lakukan. Terasa sangat menyakitkan karena aku tahu aku tidak bisa melakukan banyak hal.

Tepat aku mau ditarik oleh angin yang kencang menuju blackhole itu, aku merasa pasrah. Badanku perlahan mendekati blackhole itu.

"Aldi," panggil ayah.

Perasaanku bercampur aduk ketika mendengar ayah memanggilku.

Aku tidak bisa menoleh karena leherku terasa kaku.

Sekarang aku hanya berjarak 1 jengkal dari blackhole, angin panas dan juga bau busuk itu semakin kuat. Hingga aku sendiri bisa membayangkan seperti apa akhir hidupku...

... yang pasti tidak akan baik.

"Selamat tinggal, Ayah, Ibu," bisikku.

Praaaaangggg...

Suara piring pecah dan pecahan beling dari kaca itu berhamburan.

"Aldi!"

Ayah terdengar terkejut.

Tangan hitam itu yang semula diam mulai memegang bahuku, seakan ingin mendorongku masuk ke dalam blackhole itu lebih cepat.

Panas saat tangan hitam itu menyentuh bahu, rasanya seperti bara api nan panas, masih menyala, yang langsung ditempelkan ke kulit.

"Argh!" Teriakku. Rasanya lebih baik mati daripada satu detik lagi aku merasakan panas yang menyiksa ini.

Aku baru tahu bagaimana rasanya menjadi Rio dan Dika pada saat itu.

rasanya sakit sekali disertai panas yang melelehkan kulitku.

Deru napas cepat berada dibelakangku. Walau tidak menoleh, aku bisa tahu bahwa ayah mengejarku tanpa memperhatikan bahaya yang jelas ada di depan mata.

"Aldi!!"

Kecemasan begitu kuat dalam suara beliau.

Namun sepertinya terlambat, karena wajahku serta bagian depan badanku sudah mulai masuk ke dalam blackhole itu.

Bau busuk sudah menyelimuti hidung, mataku tidak bisa melihat apapun di dalam blackhole itu.

Tapi, memangnya apa yang kuharapkan?

Karena aku tahu tidak akan ada akhir baik ketika Riko dan Dika memaksaku untuk bermain 'minta tolong' itu.

Meski begitu, aku tidak tahu... kalau akan secepat ini.

Kupikir, masih ada waktu atau kesempatan agar aku bisa ... setidaknya melawan tangan hitam, yang masih memegang bahuku dengan erat disertai panas menyengat yang membuatku kesakitan.

Melisa, saudara sepupuku, contoh nyatanya. Dia menghilang dan menyisakan luka untuk keluarganya sendiri dan untuk keluargaku.

Dan sekarang, aku pada akhirnya.

Ingin sekali aku melihat ayah dan ibu untuk terakhir kali.

Aku menyesal...

Tangan hitam itu menang, aku masuk ke dalam blackhole. Dan ayah yang berada di belakang punggung, menjerit histeris.

"Aldi!!!"

***

Rasanya seperti berabad-abad aku berdiri di dalam blackhole itu dan bau hangus daging yang sepertinya sudah lama tertutup semakin parah. Hingga aku merasa, akulah sumber bau itu.

Ini akhirnya...

Dan aku tak bisa mengucapkan selamat tinggal yang benar kepada kedua orang tuaku dengan benar.

Apa aku menyakiti mereka?

Bodoh sekali menanyakan hal yang jelas.

Aku sendiri di tempat gelap ini.

Seakan aku buta... tempat ini terlalu gelap untuk melihat apapun.

Seakan aku tuli... karena aku tak mendengar apapun.

Dan seakan aku bisu... memangnya aku mau bicara apa? Tertawa dan menangis tidak ada gunanya sekarang.

Aku menggigit bibir bawahku dengan keras. Seolah jika aku melakukan ini, aku terbangun dari mimpi buruk yang sedang terjadi.

Ingin sekali aku menghirup napas panjang, tapi bau busuk yang mengelilingiku ini membuatku mengurungkan niat.

Buamm...

Ada ledakan keras yang membuat mendongak ke atas.

Seolah ada lubang kecil dalam blackhole ini. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat...

Cahaya putih menembus dari lubang kecil itu.

Aku mau melihat apa yang ada dibaliknya, namun tubuhku kaku. Hanya dari wajah sampai leher yang masih bisa kugerakkan.

Sayang sekali, aku tidak bisa melihat apa yang ada dari balik cahaya putih itu.

Mungkin sesuatu yang baik?

Aku memalingkan wajah lagi, tidak memandang cahaya putih dari lubang kecil itu, dan mulai menutup mataku. Terlampau letih untuk mendongak menatap satu-satunya cahaya yang ada di atas kepalaku.

Entah berapa lama, sayup-sayup, aku mendengar suara orang memanggilku. Pelan sekali, hingga aku pikir itu hanya ilusi.

"Aldi..."

"Aldi..."

Seperti inikah yang dirasakan oleh Melisa pada saat itu?

Mungkin Melisa mendengar kalau namanya di panggil. Tapi, dia sendiri tidak bisa bergerak.

Sungguh menyiksa sekali keadaanku sekarang.

Kemudian hening. Tak ada yang memanggilku lagi.

Apa mereka menyerah?

Air mataku menetes. Sakit hati karena aku dilupakan secepat itu.

Namun tak terduga, aku mendengar suara dari rintihan tangis ibu.

"Aldi..." suara ibu bergetar, membuatku merasa bersalah. "Nak, kamu dimana?"

Meski tahu ibu tidak bisa mendengar suara dariku, namun, aku tak bisa menahan untuk menjawabnya.

"Aldi di sini, Bu."

Yang tidak terduga, ibu mendengar suaraku.

"Aldi? Ini benar kamu, nak?" Suara ibu dipenuhi rasa kaget dan tidak percaya.

Mendengar suara ibu yang kaget, aku juga tidak percaya.

"Ibu bisa mendengar suara Aldi?"

"Ya, iya. Ibu mendengarnya. Coba katakan apa saja. Ibu akan menemukan kamu," Suara ibu terdengar riang. "Tunggu... Ibu akan memanggil Ayah."

Ibu terlalu senang. Hingga beliau tidak menyadari kemungkinan terburuknya.

Aku takut aku tidak akan bertahan seperti Melisa dan kelima temannya.

Tidak ada suara lagi setelah ibu berkata akan mencari ayah.

Aku tak tahu berapa lama, aku kembali mendongak untuk menatap lubang kecil yang memancarkan cahaya putih.

Terpikirkan olehku, ketika ada cahaya putih dari lubang kecil di atas kepalaku ini, aku mulai mendengar suara dari dunia asliku. Kenapa bisa seperti itu?

"Aldi," panggil ayah, mengagetkan aku. Sama seperti ibu, suara ayah juga bergetar, seolah tidak percaya.

"Ya, Ayah?"

"Kamu hidup," desah ayah penuh kelegaan. "Syukurlah. Ayah benar-benar bersyukur. Kamu tidak apa-apa kan?"

"Ayah," selak ibu dengan nada mendesak. "Bagaimana mengeluarkan Aldi dari tempat yang kita tidak tahu?"

Ayah merenung sejenak. Dan menggumamkan sesuatu yang samar-samar kudengar.

"Tetua."

"Apa?"

Ayah menatap ibu, sorot matanya memancarkan semangat yang tertahan, karena ayah sendiri belum yakin.

"Ayah pernah dengar, entah ini benar atau tidaknya, tapi selama ada suara menyahut dari orang yang sudah diambil dari tangan hitam itu, masih ada harapan."

"Biar, ibu yang ke sana."

Ibu seperti bergegas menuju keluar.

"Jangan, Ayah saja," cegah Ayah dengan nada halus.

"Tapi, Yah, badanmu." Suara ibu tercekat, khawatir dengan kondisi badan Ayah.

"Tidak apa-apa," suara ayah seperti tersenyum. "Selama Aldi baik-baik saja, Ayah sudah senang."

Selama percakapan ayah dan ibu, sekalipun aku tidak menyahut. Bukan berarti karena aku tidak mendengar.

Kondisi ayah yang tidak bagus, pasti sebagian besar alasannya karena aku. Itu membuatku bersalah.

Seharusnya begitu aku menginjak 17 tahun, aku bertanggung jawab atas apa yang telah kuperbuat.

Nyatanya tidak.

Ayah dan ibu masih mencemaskanku. Dan begitu aku terlibat masalah, ayah juga ibu berusaha sekuat tenaga mencari solusi.

Aku egois.

Bersambung...