webnovel

Jangan membuka pintu

Prolog Pada 700 tahun yang lalu, ada keluarga kecil, namun mereka hidup bahagia, sang ibu sudah tiada karena melahirkan si bungsu. Kemudian ada satu hal yang tidak pernah disangka-sangka. Karena kecerobohan itu, mengakibatkan semuanya tiada. Sebelum pergi ke hutan, sang ayah yang bekerja sebagai pemburu, berpesan kepada sang kakak dan adik yang bernama, Jaka dan Eko, agar tidak bermain hal yang berbahaya. Begitu ayah pergi, sang kakak, Jaka pergi ke kamar dan tidur. sang adik bosan di dalam rumah, berulang kali dia melihat ke luar jendela. Eko tidak bisa menahan rasa bosannya lagi. Jadi dia membangunkan kakaknya, Jaka. Jaka yang sedang tidur, menggeliat malas. Dan menyuruh Eko main sendiri. Dengan hati yang kesal, Eko pergi ke dapur. Eko menyadari ada batu api di dekat tungku untuk memasak. Dengan rasa penasaran, Eko meraih batu api itu kemudian mulai memainkannya. Api menyala secara mendadak di tangan Eko, karena kaget, Eko melemparkan batu api ke dalam tumpukan kayu kemudian dengan cepat api menyebar. Pintu belakang di dapur tidak bisa di buka lagi, karena tertutupi api. Eko lari ke kamar Jaka yang masih tidur. Dengan panik Eko menceritakan semua. Jaka dan Eko kemudian menghambur keluar. Ruangan itu sangat panas. Api menyebar tidak terkendali. Dan mulai memasuki ruang tamu. Joko juga Eko berusaha membuka pintu. Sayangnya tidak terbuka karena terkunci dari luar. Baru saat itulah Joko menyadari ayahlah yang mengunci dari luar agar Eko tidak main ke pinggir hutan tempat mereka tinggal. *** Dan kisah ini dimulai saat sepupuku, Melisa dan kelima temannya, bermain di rumahku. Aku tak tahu kalau Melisa dan kelima temannya akan merubahku seperti sekarang. Apa kau tahu? Terkadang rasa ingin tahu itu berbahaya. Begitu yang terjadi dengan Melisa dan kelima temannya. Mereka hanya sekedar ingin tahu tentang legenda tahu itu, tapi rasa penasaran itu malah membawa petaka.

Dianra · Horror
Not enough ratings
16 Chs

bab 14

Ayah jelas tidak menyangka itu permintaan istri dari adiknya sebelum meninggalkan daerah ini untuk melupakan peristiwa tragis tersebut.

"Kalau sudah setuju ya biarlah. Toh, Aldi tidak akan tidur di kamar itu lagi," Kata ayah.

Karena persetujuan dari ayah, maka keesokan pagi harinya, dengan bantuan orang, teralis besi itu dibongkar.

Dengungan mesin menderu ketika membongkar penghalang jendela. Pagi hari itu terdengar riuh.

Paman, tante serta keluargaku, menyaksikkan proses pembongkaran teralis besi jendela kamar lamaku.

Akhirnya, teralis besi itu benar-benar terlepas.

"Ini akhirnya kan, Mas?" tanya ibu dari Melisa menahan sedu sedan.

Dengan lembut ayah dari Melisa merangkul bahu istrinya.

Entah bagaimana ada angin bertiup perlahan dari angin dalam ke kamar lamaku dan membelai tubuh mereka berdua, seolah mengucapkan perpisahan.

Isak tangis yang sebelumnya tertahan, akhirnya pecah.

Ibu dari Melisa kembali menangis kencang.

"Melisa sayangku."

Rangkulan di bahu ibu dari Melisa semakin mengerat, memberikan dukungan moral yang diperlukan karena kehilangan anak perempuan satu-satunya, Melisa.

"Gadisku, tenanglah di alam sana," kata ibu dari Melisa dan menyandarkan kepalanya di bahu suaminya.

"Selamat tinggal, anakku," kata ayah dari Melisa lirih dan begitu sendu.

Dan pada keesokan harinya, pada pagi hari seperti yang dijanjikan, ayah dan ibu Melisa pergi dari daerah ini, entah untuk berapa lama, atau mungkin tidak akan pernah kembali. Semenjak itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan kedua orang tua Melisa.

Waktu itu aku tidak mengerti kenapa harus banget teralis besi itu dibongkar, lalu setelah kejadian ini aku baru menyadari...

Jika teralis besi yang kuat itu masih berdiri kokoh diambang jendela, menjadi penghalang yang kuat...

Nasib Dika, Riko dan aku persis seperti Melisa dan kelima temannya.

Menghilang dari dunia ini untuk selamanya. Masih hidup tapi tidak bisa ditemukan oleh orang lain.

***

Matahari bersinar kuat, terik juga menyilaukan. Namun, aku merasa kedinginan karena angin yang berhembus kencang.

Aku tidak tahu jam berapa sekarang. Hanya bisa memperkirakan saja, melihat matahari yang sudah mulai bergerak ke arah barat.

Mungkin sekarang jam setengah tiga sore?

Aku sendiri tidak begitu yakin.

Udara semakin dingin hingga aku merinding dan membuatku mengantuk.

***

Entah berapa lama aku tertidur di bawah pohon dan terbangun karena ada seseorang yang menepuk bahuku.

Pertama yang kulihat adalah langit yang sudah gelap begitu aku membuka mata. Kemudian, ada suara deru mobil yang begitu dekat denganku.

"Aldi," suara seseorang terdengar cemas ketika memanggilku. "Sayang, kenapa kamu tidur di sini?"

Aku mengerjapkan mata, karena kantuk masih membuat mataku berat untuk sadar sepenuhnya.

"Ibu?" tanyaku begitu menyadari orang yang berbicara begitu cemas adalah ibuku sendiri. Mataku menyipit karena masih mengantuk.

"Nak, kenapa kamu di sini?"

Aku sudah mengecewakan kedua orang tuaku. Aku membenci diriku. Aku juga membenci Riko dan Dika yang membuat hari ini menjadi kacau.

Membuat aku melihat ketakutan terbesar dalam hidupku.

Tangan hitam legam seperti arang dan bisa memanjang, bisa melayang menuju arah yang diinginkan tanpa melihat kemanapun kau pergi. Panas yang menyengat walau kau sudah berjarak jauh dari mahluk itu berada. Dan bau menyengat... Bau daging busuk yang seolah sudah lama tersimpan dan terpanggang begitu lama.

"Hueek," aku muntah tanpa bisa menahan diri lagi.

"Aldi!" Teriak ibu terkejut.

"Hueeeeek..."

Rasa asam dari kerongkongan bercampur air liur, aku muntahkan tanpa bisa kutahan.

Ah, benar, aku belum makan seharian ini.

Mataku mendadak gelap dan diiringi teriakan ibuku, aku sepertinya mau membentur tanah. Tapi, ada tangan kuat yang mencegah supaya aku tidak menghantam tanah.

"Biarkan Aldi tidur, Bu. Kita akan bertanya jika Aldi sudah siap."

***

Badanku terasa berat dan lelah sekali. Seakan aku habis berolahraga tanpa henti seharian ini.

Aku masih mengantuk. Tapi, rasa lapar di perutku yang membangunkanku.

Langit malam berwarna gelap. Mungkin sudah lewat dari jam 10 malam. Suara jangkrik dan kodok mengisi kesunyian malam.

Aku tak ingat bagaimana aku bisa tidur di kamarku. Bajuku sudah berganti, dari kaos dan celana panjang. Menjadi baju piama belel yang sering kugunakan.

Samar-samar aku mendengar suara orang bergumam diiringi lagu latar belakang, suara TV.

Aku memaksakan diri untuk bangun. Tapi mungkin karena aku terlalu tegang seharian ini, badanku terasa kaku dan sakit. Nyaris terjatuh ke lantai, jika aku tidak cepat berpegang pada dinding di sebelahku.

Rasanya seperti digelayuti batu berat ketika berjalan keluar dari kamarku.

Begitu kubuka pintu, aku bisa melihat ayah sedang duduk di atas karpet ruang TV.

Ayah melihatku namun tak berkata apa-apa. Banyak pertanyaan yang tersirat dari sorot matanya. Namun beliau tidak mengucapkan satu patah kata pun, khawatir membuatku takut atau semacamnya.

Itu membuatku bertanya, seberapa parah kondisiku saat ayah dan ibu menemukanku duduk di halaman depan, menunggu mereka pulang?

"Kamu sudah siap untuk bicara, Aldi?" Tanya ayah dengan tenangnya, saat aku berjalan mendekat dan duduk di sebelah beliau.

"Ayah," bisikku dengan suara gemetar.

Tapi belum sempat aku mengucapkan kata 'maaf', perutku berbunyi.

Aku tertegun dan merasa malu.

Sementara ayah seperti tidak memperhatikan namun sirat matanya seperti ingin tertawa tapi tertahan.

Tanpa banyak bicara, ayah bangun dari duduknya dan menuju dapur, dan aku mengikuti ayah dari belakang.

"Mie rebus enak kayaknya, Yah." Ucapku memulai percakapan.

"Hm," sahut Ayah dan mulai mengambil bahan-bahan dari kulkas. Aku memperhatikan ayah beberapa saat sampai akhirnya ayah berhenti memotong sayuran dan memalingkan wajahnya ke arahku.

"Kamu duduk dulu sana di ruang TV, kalau sudah matang nanti Ayah panggil."

***

Rupanya perkiraanku mengenai jam tadi salah, kupikir masih jam 10 malam. Ternyata sudah jam 3 pagi. Aku baru lihat jam di atas TV saat aku akan duduk kembali.

Tak banyak acara yang menarik perhatian di jam 3 pagi. Dan aku sebenarnya tidak berminat melihatnya...

Oh...

Aku baru teringat mengenai Riko dan Dika. Bagaimana mereka sekarang?

Jam segini, apa mereka sudah bangun?

Aku beranjak dari duduk dan berjalan menuju kamar tidurku, bermaksud mengambil ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur.

Shaaaa....

Ada angin yang melewatiku dan membuat sekujur badanku menggigil tanpa bisa kutahan.

Pintu kamarku terbuka sendiri.

Jarak dari aku ke kamar itu masih ada beberapa langkah dan aku belum menyentuh gagang pintu.

Tapi...

Aku membeku sesaat, berusaha mencari penjelasan yang masuk akal dengan kejadian di depan mataku.

Suasana sepi sekali.

Padahal aku tahu ayah sedang memotong sayuran di dapur dan TV yang menyiarkan acara membosankan masih menyala.

Tapi aku tidak bisa mendengar satupun dari suara yang harusnya aku dengar.

Lari!

Aku harus lari!

Otakku secara jelas mengirim sinyal bahaya yang membuat aku ingin kabur.

Tapi, baru kusadari aku tak bisa bergerak!

Shaaasshhh...

Angin itu kembali menerpaku. Namun tak ada jendela yang terbuka. Pintu yang ada di kamarku seolah dipermainkan angin, melambai ke depan dan ke belakang tanpa ada satu pun manusia yang menyentuhnya.

Bersambung...