webnovel

Jangan Bunuh aku!

Namaku Cila, penyesalan pertama yang ada di dalam hidup ku adalah terlahir menjadi putri dari seorang PARASIT dunia. Saat hujan di kota sangat deras. Aku melihat si parasit alias ayahku, pulang ke rumah dengan mengenakan mantel. Mantel tersebut di penuhi dengan bercak-bercak darah. Aku yakin, dia baru saja membunuh. Akibat pembunuhan yang di lakukan ayahku. Aku terancam tak memiliki masa depan. Banyak orang yang mengincar nyawaku, untuk menghapuskan amarah dan dendam mereka kepada ayahku. Dan dari situlah, seorang pria datang dan memberikan pelukan hangat kepadaku untuk pertama kalinya. Pada pandangan pertama, aku jatuh cinta padanya. Namun ternyata pria itu memiliki maksud lain. Balas dendam yang di sematkannya di hatinya akan dilampiaskannya kepadaku. *** Aku membencinya dan membenci diriku sendiri. Aku mencintainya dan mencintai diriku sendiri. *** Namaku Cila, aku seorang gadis hangat di kota yang dingin. Gadis yang ingin mencintai dan dicintai. Namaku Cila dan ini ceritaku. *** Apa yang sebenarnya terjadi? Kepo? Yuk di baca... Jangan lupa di review ya... =)

Pat_mnrg · Urban
Not enough ratings
4 Chs

BAB III : DELAN

Hari-hari ku sama seperti biasa, makan, minum, tidur. Tak ada aktivitas unik lainnya kecuali jika sedang mood. Mafioso baru itu selalu mengikutiku kemanapun aku pergi, itu sebabnya aku jarang melakukan kegiatan lainnya.

"Sebenarnya kamu ini seorang Mafioso atau pengawal pribadi sih...?" tanyaku risih. Pria itu tersenyum. Bibir merah dan tebal itu membiusku.

"Namaku Delan. Panggil saja Elan. Secara resmi aku seorang mafioso namun secara hati aku seorang pengawal yang siap melindungimu kapanpun dan di manapun." Mendengar ujaran pria ini yang begitu romantisnya sempat membuat hatiku goyah. Belom pernah aku di gombalin kaya gini. Aku yang sedari tadi menatap binar matanya, tertegun. Salah tingkah dengan apa yang baru saja aku dengar.

"Ah... Secara hati ya?" tanyaku dengan suara yang bernada.

"Kamu baru seminggu kan bekerja di sini?" tanyaku lagi. Pria itu mengangguk tersenyum. Hatiku meleleh melihat keegoisan wajahnya. Ya, wajahnya sangat serakah karena telah mengambil semua yang bisa di katakan Perfect.

"Kalau begitu, jika kau ingin melindungiku, tulus dari hatimu yang paling dalam. Tolong, jauhi aku! Aku tidak mau menaruh hati untuk mafioso yang membuatku menderita," kataku menjelaskan. Pria itu menunduk lalu berkata, "Tidak semua orang dalam satu kelompok yang sama kepribadiannya."

Mendengar jawaban dari pria ini, mataku menyipit tanda curiga.

"Air susu putih jika di tuang dengan sesendok kopi akan berupa menjadi hitam," kataku singkat.

"Air jika di tuang dengan setetes minyak tidak akan pernah menyatu," sahutnya.

Kami menyampaikan argumen masing-masing, saling sahut menyahut, jawab menjawab, tiba akhirnya aku kalah dalam debat.

"Sudahlah..., aku malas menanggapimu," tanggapku menyerah.

Aku berjalan meninggalkan Delan. Aku berbaring di atas kasur empuk yang di beli ayahku saat dia pergi ke Kanada. Ya..., buat apa lagi kalau bukan untuk menyimpan narkotika. Aku memikirkan kata-kata yang dikatakan oleh Delan tadi. Apakah Delan benar-benar berbeda? Atau dia hanya ingin memanfaatkanku saja? Tidak! Aku benci! Aku adalah satu-satunya orang yang paling membenci mafia.

***

"Delan! Bagaimanapun dengan wanita-wanita yang saya pesan itu?" tanya ayahku dengan suara yang menggema ruangan utama. Aku yang mendengar samar-samar topik itu, langsung melompat dari ranjang, berjalan sanyap-sanyap, lalu bersembunyi di balik tiang dekat sofa utama.

"Semuanya aman tuan, apakah tuan ingin berangkat sekarang?" jelas dan tanya Delan bersamaan.

"Apa kau ikut? Ayolah! Kau kan anggota baru, pasti seru." ajak ayahku, membujuk Delan. Aku menelan ludah, belum pernah kulihat ayahku yang haus nafsu. Ku lihat Delan hanya menunduk, aku menghela nafas. Tahu karena sifat Delan bukan seperti yang aku pikirkan.

"Baiklah tuan, aku ikut." kata Delan, yang mengejutkanku. Aku tersandung karena pot bunga sehingga persembunyianku ketahuan. Serentak ayah dan Delan menatapku. Wajahku berkeringatan karena malu. Aku berlari terbirit-birit menuju kamar.

Setibanya di kamar, aku langsung membaringkan tubuhku, membuka corong paru-paru yang tersangkut.

"Akhirnya bisa bernafas juga" kataku yang berbicara sendirian. Aku menatap langit-langit kamar. Membayangkan wajah mesum Delan yang tadi. Aku tersadar, buru-buru langsung ku hapus bayangan itu.

"Ternyata begitu yah kepribadian pria itu. Hampir aja aku mendaftarkannya menjadi calonku" kataku dalam hati. Tiba-tiba sangkut dalam kepalaku sebuah ide. Aku langsung melompat, berlari menuju dapur.

"Bi! Bisa tolong aku gak?" tanyaku pada kepala asisten rumah tangga yang usianya hampir setengah abad.

"Bantu apa non? Nona lapar? Atau gimana? biar bibi siapin..." jawab asisten rumah tangga itu cepat. Dengan wajah gemilang aku menjawab "Detektif!" Mendengar jawabanku bibi itu diam, berpikir. Untuk menyakinkan pertolonganku, aku memegang berlutut sambil memegang tangannya.

"Eh eh eh! Nona muda ngapain? Berdiri non." Kata asisten rumah tangga sambil mengangkat bahuku.

"Bibi mau membantu, tapi tergantung mau bantu apa?"

"Bantuin Cila mengikuti ayah ke club malam bi,"

"Ayah atau Delan...?" rayu bibi. Wajahku memerah setelah mendengar nama itu. Aku tersenyum malu-malu. Sepertinya rasa sukaku ke Delan terlalu mencolok.

"Tapi nona, itu bahaya. Bibi tidak jamin kalau kita tidak ketahuan, secara sebagian pengawal bersama tuan besar." Lanjut bibi, meng-tapi-kan. Aku yang mendengar ujaran itu langsung cemberut. Bahkan ingin menangis. Tanpa kata-kata, aku pergi meninggalkan asisten rumah tangga itu.

Aku pergi ke belakang, mengambil hoodie hitamku. Senyap-senyap pergi meninggalkan istana lewat jalan rahasia, yang dibuat bersama pak Nam di balik pohon bambu belakang istana.

***

Aku menghentikan taxi, naik dan mengatakan tujuanku. Saat aku mengatakan nama tempat yang ingin ku tuju, mata supir itu langsung sinis. Samar-samar aku mendengar "Aduh neng... neng. Masih muda kok." dari supir itu. Aku menatapnya tajam, berharap dia menarik kata-katanya itu. Sudah jelas aku ke sana bukan untuk yang aneh-aneh. 30 menit perjalanan, mulai membuatku ngantuk. Dari tadi, bibi kepala asisten itu meneleponku, aku mengacuhkannya. Dan supaya handphone ku tidak di lacak mereka, aku mencabut baterai nya, lalu membuangnya ke tong sampah. Aku harap ada yang mengambil, dan membawa handphone itu pergi. Sehingga para pengawal berpikir aku ke arah ke mana handphoneku di bawa pergi. Tenang, aku tidak pernah aktif memakai handphone sehingga tidak ada berkas penting, bahkan goresan yang menyinggung pekerjaan ayahku, karena aku tidak peduli dengan itu.

***

Aku berhenti di gang tempat club malam itu berada. Aku menyusuri jalan yang lebarnya hanya satu meter. Dengan memakai hoodie hitam, aku pikir tidak akan ada yang melihatku. Hampir sampai ke club malam itu, tiba-tiba aku di kejutkan oleh seseorang yang berdiri tepat di belakangku. orang itu memakai hoodie sama persis denganku.

Aku mundur ketakutan, tetapi pria itu maju mengikuti langkah kakiku. Aku tersandung batu, dan orang itu langsung menangkapku lalu mendekap ku. Hangat.

"Apa yang kau lakukan di sini?" kata orang itu. Suara yang sama persis saat aku pertama kali jumpa dengannya. "Apa kau mengkhawatirkanku?" kata Delan lagi, yang masih lengket di tubuhku. Jantungku berdetak kencang, aku tidak bisa mengontrolnya. Aku menjernihkan pikiranku, ini bukan saatnya untuk berperasaan.

"Lepaskan aku." kataku sambil menolak tubuh Delan. Tidak ada respon yang sesuai dengan harapanku dan malahan semakin erat dekapan Delan itu.

"Bagaimana kau bisa kau tau aku di sini?" tanyaku yang lagi-lagi masih berada di dekapan Delan.

"Itu karena hatiku. Hatiku berdegup kencang saat kau berada didekatku," jawabnya. Kini tangan Delan sudah merambat ke rambutku. mengelus halus rambutku. Bisakah aku berkata, "Aku nyaman bersamanya?"

"Tunggu! Apa?" kataku refleks menolak tubuh Delan dari tubuhku.

"Kau! Jangan sukai aku!" bentakku sambil mengacungkan jari telunjuk ke wajahnya.

"Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa tidak masuk, dan bermain bersama 'beauty woman' itu ha?" bentakku lagi. Delan tersenyum, lalu tertawa kecil. Sungguh mempesona.

"Apa kau cemburu?" tanya Delan membalasku.

"Ha? Cemburu? Hello!"

"Lalu apa yang kau lakukan di sini, jika bukan memata-matai ku?" cela Delan sambil memperbaiki topi hoodie nya. Aku terdiam, tidak bisa berkata apa-apa. Padahal aku terkenal cerewet dan judes saat berpapasan dengan para pengawal. Kenapa aku jadi mati kamu gini?

"Sudahlah. Aku pergi saja." kataku, melangkah meninggalkan Delan. Tiba-tiba Delan mendekapku dari belakang. Pipinya, ia tempelkan ke pipiku. So sweet...

Aku yang menikmati moment ini hanya diam saja.

"Hati-hati di jalan ya..." kata Delan, melepasku. Tanpa memalingkan wajah, aku meninggalkannya. Benar-benar meninggalkannga, padahal aku ingin lebih lama lagi berada di posisi seperti itu.