1 Bab I : BENALU

"Mengapa kau ingin membunuhku? Bukan aku penyebab kematian ayahmu." kataku dengan lirih. Masih dengan tatapan yang tajam, Pria itu berjalan menuju ke arahku, sambil menggenggam erat pisau yang ada di tangannya. Sontak aku berjalan mundur, selangkah demi selangkah. Drugh... Aku menabrak botol yang berisikan minyak, aku menatapnya lemah, berharap dia mau memaafkanku. Aku melangkah selangkah lagi, hingga akhirnya tembok gudang ini menahanku.

2 Bulan yang lalu.

Aku duduk di balik jendela 'Istana' ku. Tidak! Bukan istanaku! Melainkan istana ayahku. Malam ini, hujan lebat mengguyur kota, bersamaan dengan dentuman petir, dan cahaya kilat. Dengan tatapan kosong, aku menatap bayanganku melalui kaca jendela. Tertera bayangan wanita, yang mengikuti jejak si parasit dunia. Aku membalikkan tubuhku, malas melihat wajah menyedihkan itu.

Sudah hampir tengah malam, tiba-tiba perutku mengoceh. Jadi aku putuskan untuk turun, dan mengambil beberapa makanan.

"Ada yang bisa saya bantu non?" tanya salah satu asisten rumah tangga di istana ini. Aku menggeleng untuk merespons tawarannya, lalu pergi meninggalkannya. Saat aku hendak menaiki tangga, kakiku berhenti dan mataku langsung tertuju pada sesuatu yang paling menyeramkan yang ada di dunia ini, yaitu 'Ayahku'. Kulihat dia mengenakan mantel hujan berwarna hitam. Aku memperhatikan mantel itu lamat-lamat. Kulihat ada bercak darah yang tertempel di mantel itu. Aku memundurkan langkah kakiku yang sudah di bibir tangga. Aku berjalan menuju ke arahnya, lalu berhenti di langkah ke tiga, dan berkata, "Siapa lagi yang kau bunuh?"

"Anakku, ada baiknya kau tidak mengetahui segala kegelapan yang ada di dunia ini." jawabnya. Aku menatapnya tajam, "Aku bukan anakmu!" teriakku, lalu meninggalkan pria itu.

Aku membanting keras pintu kamarku, sampai membuat pengawal di depan kamarku terkejut. Oh iya, ada hal yang belum aku jelaskan. Aku terlahir menjadi putri seorang bos mafia berat, jadi tidak heran kalau aku di kelilingi oleh pengawal dan juga asisten rumah tangga.

Aku mencampakkan cemilan-cemilan itu ke kasur. Aku menjambak rambutku dengan kuat hingga beberapa helai dari rambutku tercabut. Aku membuka laci, mengambil dompetku, mengeluarkan kartu kredit, dan menyisakan beberapa lembar uang tunai. Aku keluar dari kamar, berlari kecil menuruni tangga, lalu berlari keluar rumah. "Kawali nona Cila!" teriak kepala pengawal Nam yang melihatku keluar dari rumah.

Aku menerobos lebatnya hujan, dan terus berlari menuju gerbang 'istana' ini. Penjaga gerbang 'istana' melihatku berlari. Spontan, penjaga itu pun menerobos rintikan hujan, lalu menghalangi jalanku dengan cara mengunci gerbang 'raksasa' itu.

"Buka gerbangnya!" teriakku. Penjaga itu menggeleng keras, sambil memegang tanganku. Aku membantah, dan berkata "Buka!" secara terus menerus. Pak kepala pengawal Nam menghampiriku, lalu memegang bahuku dengan kedua tangannya. Aku menangis memeluknya dan berkata, "Aku lelah! aku lelah menjadi parasit dari parasit."

Pak Nam balik memelukku erat dan mengelus kepalaku.

"Ada waktunya parasit untuk melepaskan diri dari induknya."

Setelah menenangkanku, pak kepala pengawal Nam, membawaku masuk ke dalam, dan memerintahkan kepala asisten untuk menganti pakaianku. Ayahku berdiri di tangga lantai atas, menatapku datar dan berkata, "Parasit tidak akan bisa melepaskan diri dari induk parasit karena hidupnya sudah tercukupi." Aku mengabaikannya.

***

Pukul 07.30 WIB.

Aku terbangun dari tidurku yang sama sekali tidak nyenyak. Semalam, saat aku selesai mengganti pakaianku. Pak kepala pengawal Nam menidurkanku dengan menyanyikan sebuah lagu Breath dari Lee Hi. Pak kepala pengawal Nam adalah satu-satunya orang yang mengerti siapa aku, apa aku, dan bagaimana aku. Itu sudah valid, karena pak kepala pengawal Nam sudah menjadi pengawalku sejak aku muncul ke dunia ini. Hanya dialah yang mengerti penderitaanku. Saat aku kecil, aku sering di pukul oleh ayahku karena aku pergi bergaul dengan teman-teman di sekitar, aku sering di Jambak ibuku karena aku tidak bisa menghina orang miskin. Tetapi pak kepala pengawal Nam selalu membelaku, sampai-sampai mempertaruhkan pekerjaannya.

Aku bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Karena hari ini ada pertemuan orang tua jadi aku datang sedikit terlambat dari biasanya. Aku meminta pak kepala Nam untuk menjadi perwakilanku.

"Sudah siap non?" tanya pak kepala Nam. Aku membalas dengan menganggukkan kepalaku.

Di perjalanan aku menatap punggung pak kepala Nam, dan bertanya-tanya, mengapa pak kepala Nam sangat peduli denganku?

Tiba di sekolah, pak Nam membukakan pintu untukku. Aku melangkah keluar, berdiri menatap tubuh-tubuh yang melakukan lalang. Hampir seluruh siswa-siswi membawa orang tuanya masing-masing. Hingga suatu pemikiran hinggap di kepalaku, dan aku pun bertanya kepada pak kepala Nam, "Pak Nam? Apa kau setia padaku?"

"Aku adalah pengawal pribadi nona, mustahil bagiku untuk mengkhianatimu." jawabnya.

Pak Nam? Mengapa ayah menyekolahkanku sama seperti anak-anak normal lainnya?" tanyaku lagi. Lalu pak Nam menjawab, "Karena ayahmu juga ingin kau hidup seperti anak lainnya, bukannya terkurung di penjara, seperti yang kau katakan padanya."

Aku menatapnya datar lalu membuang muka, dan berjalan meninggalkannya. Ini pertama kalinya aku mendengar pak Nam berbohong padaku. Jelas sudah, ayahku menyekolahkannya sama seperti anak-anak pada umumnya, supaya pekerjaan ilegalnya tidak di curigai oleh orang sekitar. Si parasit itu hanya bisa memanfaatkanku sebagai tamengnya saja.

Aku duduk di kursi yang telah di sediakan pihak sekolah. Kursi untuk siswa berbeda dengan kursi untuk orang tua. Pak Nam meminta izin kepada kepala sekolah supaya mengizinkannya untuk duduk di sampingku. Kepala sekolah itu mengangguk, setelah pak Nam meyakinkannya. Ruangan ini ramai tetapi aku tetap merasa kesepian. Jadi aku keluar untuk mencari udara. Ada beberapa guru dan orang tua siswa yang menegurku, kuabaikan mereka.

Aku melirik ke belakang, para pengawal sudah bersiap di belakangku. Aku abaikan mereka.

Aku melihat sebuah pohon di taman sekolah. Aku langsung menuju ke bawahnya. Pohon itu sangat besar namun tidak memiliki jiwa lagi. Alias sudah mati, dan hanya menyisakan ranting-ranting yang menurutku indah. Aku mengelilingi pohon itu, kulihat ada tumbuhan benalu yang menempel di akar besarnya. Aku mencabut benalu itu, kemudian tersenyum tipis. Para pengawal yang melihatku, bertatap satu sama lain.

Sudah hampir setengah jam aku menatapi pohon itu, aku mulai bosan dan mencari pemandangan lainnya.

Saat aku melangkah, tiba-tiba ada sekelompok bertopeng hitam yang menyerangku. Pak kepala Nam ligat mengamankanku. Situasi di sekolah kacau. Ada yang menjerit sambil berlari menjauh, ada juga yang diam memejamkan mata di posisinya semula. Para pengawal kewalahan menghadapi sekelompok bertopeng hitam itu, mereka kalah jumlah. Pak Nam mengangkat ponselnya, lalu memanggil unit bantuan.

Seseorang dengan senjata tajam di tangannya mendekatiku perlahan, pak Nam yang sudah siaga, melindungiku di balik punggungnya. Pak Nam melemparkan pukulan ke pipinya, sehingga orang itu tercampak cukup jauh. Orang itu bangkit, lalu melawan pak Nam dengan pukul di sertai senjata tajam yang ada di tangannya. Beruntung pan Nam bisa mengelakkan senjata itu. Pak Nam meninju perut orang itu, sekali, dua kali, tiga kali, hingga orang itu terjatuh. Pak Nam mendekatinya, satu detik. Senjata tajam itu sudah mengenai perut pak Nam. Aku menjerit histeris, membungkam mulutku dengan kedua tanganku. Mataku sudah buram karena air mata.

"Nona, lari!" teriak pak Nam lirih. Aku yang mendengar suaranya itu, menggeleng keras. Aku tidak akan meninggalkannya di sini. Orang itu mengusap darah yang ada di senjata tajamnya, lalu mendekatiku. Aku mundur seiringan dengan langkahnya. Sebuah tembok menghadangku, aku menggeleng lemah. "Jangan bunuh aku!" teriakku. Walaupun memakai topeng hitam, dari matanya bisa kulihat kalau dia sedang tersenyum. Orang itu sudah menarik tangannya ke belakang, bersiap untuk menusukku. Dia bergerak! Trugh... Orang itu terpental jauh. Aku tidak sempat melihat apa yang sejadi sedetik yang lalu. Yang jelas sekrang pria tampan datang menyelamatkanku. Secepat kilat, senjata tajam yang ada di tangan orang bertopeng itu sudah ada di genggaman pria yang menyelamatkanku tadi. Pria itu menatapku yang sudah gemetaran, lalu mendekatiku. Aku mencoba mundur, namun aku sudah kadung di halangi tembok ini. Semakin dekat, aku pun semakin takut.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya. Emosiku berubah seratus delapan puluh derajat. Aku merasa tenang setelah mendengar suaranya, dan juga menatap matanya. Seumur hidupku, belum pernah kulihat ada orang yang bertanya 'apa kau baik-baik saja?' kepadaku. Bahkan untuk seseorang seperti pak kepala Nam. Belum pernah. Ini adalah pertama kalinya.

Jantungku berdetak sangat kencang. Perlahan air mataku keluar, dan aku pun berkata, "Ya, tidak. Aku sedang tidak baik-baik saja. Nyawaku sudah terancam sekarang. Aku tidak bisa baik-baik saja." Air mataku mengalir dan otakku tidak bisa menghentikannya. Pria itu mengusap kepalaku. Refleks aku memeluk pria itu. Dan berkata dalam hati, "Aku sudah mencintainya."

avataravatar
Next chapter