1 Tamu Aneh

"Kasihku... sampai di sini kisah kita, jangan tangisi keada--" suara Rahel berhenti seketika, karena adik satu-satunya yang bernama Nica masuk ke kamar tiba-tiba tanpa mengetuk pintu, bahkan mengucapkan salam sekalipun.

"Denger nggak sih? Dari tadi gue manggil lo mulu di bawah! Kok malah enggak nyahut?!" tanya Nica sambil melipat tangan dan melihat sang kakak dengan kesal.

"Iya maaf. Namanya juga lagi pakai earphone. Ngapain juga sih dateng-dateng langsung mukanya asem gitu?" tanya Rahel sambil menatap sang adik tanpa menoleh ke arah lain.

"E-Eh...! Siapa juga yang mukanya asem? Udah mandi juga! Kakak aja yang aneh ngatain muka gue asem. Padahal kan Kakak yang belum mandi, HAHA...!" sahut Nica, nyengir ke arah kakaknya.

Rahel mengoletkan tubuhnya sejenak. "Euhhh... ya udahlah ngalah aja. Emang ngapain manggil? Ada yang pengen di ceritain lagi ke Kakak? Kalau ada sini, duduk di sebelah Kakak," ucap Rahel sambil menepuk kasur yang sedang didudukinya.

"Bukan. Tapi itu, ada yang pengen ketemu sama Kakak, katanya penting gitu ... buruan sana...! Udah ditungguin dari tadi," jelas Nica dengan tampang sedikit kesal karena melihat sikap sang kakak yang tidak segera berdiri dari duduknya.

"Siapa? Perasaan nggak ada yang kirim chat gue kalau mau maen ke rumah. Kalau Rika apa Puspa, pasti dia udah langsung masuk ke kamar. Apa Vina? Tapi kalau emang bener si Vina, Nica kan udah pernah lihat. Kok aneh, temen gue kan cuma mereka. Tck! Jarang banget nih ada yang kayak gini..." resah Rahel dalam hati.

"Woiii...! Buruan, Kak! Yaelah ... kok malah diem? Nggak gerak-gerak tapi malah ngelamun...! Dasar!" teriak Nica teramat kesal dengan kebisuan Rahel.

"Bentar deh Nic... Ekhm, dia cewek atau cowok? Perasaan nggak ada yang ngehubungin Kakak. Enggak pada bilang kalau mau ke rumah. Sekalinya penting pasti chat dulu, apalagi kalau cowok ... mana mau dateng ke sini...? Tahu sendiri mamah sama ayah gimana?" balas Rahel dengan bingung. Aneh sekali ada seseorang yang datang ke rumah secara mendadak.

"Tahu ah, lihat aja sendiri. Bye!" sentak Nica tegas. Ia berjalan kearah pintu kamar Rahel berniat untuk keluar dari ruangan itu karena baginya sang kakak terlalu malas untuk memeriksa. Dia juga malas kalau harus disuruh tanya siapa namanya.

"Tinggal bilang aja kenapa sih?! Jadi males ketemu tahu nggak?! Orang Kakak enggak kenal juga!" teriak Rahel dengan muka menahan jengkel dan tangan yang terkepal karena menahan emosi atas sikap adiknya, Nica.

"Nggak usah ngegas juga bisa kan? Cepet tua nanti, dasar Mak Lampir! " ungkap Nica, menoleh ke arah sang kakak, menahan tawa karena takut jika kakaknya benar-benar marah.

"Ishhh ... sialan!" kata Rahel sambil mengambil salah satu bantalnya dan hendak dilempar pada adiknya itu, tapi urung ia lakukan karena Nica sudah menghilang dari kamar. Berlari secepat mungkin seperti sedang dikejar harimau.

"Tadi bilang apa? Ada urusan penting? Nica nggak kenal? Cewek, ya?! Apa cowok? Aishhh...! Gila aja kalau gue ngerasa deg-degan. Idih ... siapa coba?" Menggaruk-garuk kepalanya, Rahel sungguh tak tenang sekarang.

"Apa mungkin dia? Huh ... bisa jadi sih, tapi ... NGGAK! Nggak Bakal!" Kepalanya sudah menggeleng kuat dan mulutnya kembali teriak, "Sangat-sangat enggak mungkin! Just in my dream...!"

Rahel berusaha keras mencoba tenang sambil terus mengayunkan kaki. Ia tetap keluar kamar dan mencoba menilik siapa yang datang. Langkah demi langkah diayunkan Rahel dengan rasa gugup yang menggerogoti hatinya.

Sampai di bawah dia justru celingak-celinguk ke kanan dan kiri. "Lah, sepi... mana orangnya?" Membuang emosi melalui lubang hidung dan mulutnya, Rahel memejamkan mata kuat. "Jangan-jangan dibohongin nih sama si bocil Nica?!" Lalu dengan kuat dia menjerit, "Sialan emang lo, Nic!" karena Rahel sungguh tidak melihat siapa pun di ruang tamu rumahnya.

"Nica! Woi! Turun lo Nic, buruan sini, Bocil! Ke bawah, ke ruang tamu! Kurang ajar benget sih bohongin Kakak sendiri...!"

"Emang bener nih anak, candaannya kelewatan! Kalau mau ngerjain jangan keba--" teriak Rahel yang sedang memanggil adiknya terputus karena bocah itu menunjukkan batang hidungnya.

"Nggak usah teriak-teriak, emang gue tuli apa?! Siapa juga yang bohong?! Enak aja ngatain gue bocil!" sahut Nica yang sudah berada di ruang tamu, dan benar kata si Rahel, tidak ada siapa-siapa di ruang tamu rumahnya.

Rahel lantas melirik Nica sembari menghembuskan napas kasar. "Bodo amat mau ngatain lo apa! Sekarang mana orangnya? Katanya nggak bohong? Kok enggak ada?" tanya Rahel pada Nica.

"Iya ... beneran nggak bohong. Tadi itu dia ada di sini, huh...!" sambil menghentakkan kaki kirinya, bibirnya maju beberapa sentimeter. "Gue suruh dia duduk di sofa dulu waktu mau ke kamar lo tadi. Beneran di sini tadi dia, Kak. Mana mungkin gue bohong?"

"Yakin lo?"

"Orang tadi gue manggil lo mulu, tapi Kakak gue yang bolot itu malah nggak turun-turun! Gue kesel banget sama lo tadi. Apa nggak liat muka gue tadi? Lo bilang muka gue asem kan? Ya itu karena kesel sama lo, Kakak..." jelas Nica pada Rahel sekenanya.

"Serius lo, Nic?" tanya Rahel yang masih tidak percaya.

"Iya Kak, serius gue. Ya udahlah, mungkin dia ada perlu kali. Kakak juga sih yang terlalu lama jalan dari kamar Kakak ke sini! Padahal kan nggak nyampe lima menit."

"Dih!"

"SIPUT SIH!" ejek Nica yang diakhiri dengan cengiran ke sang kakak dan mengayunkan kaki lebar-lebar menuju lantai atas, kamar idamannya.

"Terus yang ke sini siapa?" monolog Rahel sambil jalan, dia juga kembali ke kamarnya. Tentu dengan bingung. Digaruknya kepala yang tiba-tiba gatal sekali. "Enggak mungkin kalau itu tadi makhluk halus 'kan?"

***

"Kak bangun...! Cepetan dong udah pagi nih! NGGAK SEKOLAH LO?!" semprot Nica lantang dan tangan yang siap untuk mengguyur kakaknya dengan gayung yang. Barusan dia ambil dari kamar mandi.

"Bentar lagi," lirih Rahel yang masih bergelung dalam hangatnya selimut tercinta. "Lima menit aja, deh. Masih ngantuk gue Nic ... kalau nggak, lo berangkat dulu aja sana...!" sahut Rahel lagi yang masih memejamkan mata erat-erat. Kedua tangan sudah ia gunakan untuk menutupi telinga, sebab dia tahu kalau Nica akan teriak-teriak seperti orang gila.

"Nggak! Bangun sekarang! Pokoknya cepetan!" Sungguh, emosi sudah di ubun-ubun. Sangat kesal melihat kakaknya yang molor begini. "Lo mau telat?! Ini udah jam enam kurang dikit, Kak! Lo nggak sadar ini hari apa? Macet nanti!" tambah Nica yang sudah sangat amat emosi akibat jawaban dari Rahel yang masih mengotot untuk melanjutkan tidurnya.

"Ini hari Senin. Kenapa emang?" balas Rahel dengan enteng. Tetapi, sedetik kemudian ia melotot. "APA?! SENIN, NIC?! Buruan siapin seragam gue Nic!" Dengan buru-buru dia turun dari ranjang.

"Jangan lupa motornya keluarin juga, ya! Kuncinya diatas meja belajar, sarapannya juga tolong siapin, Nic! Makasih Adekku sayang...!" sambung Rahel dengan langkah besar karena sadar dengan ucapannya sendiri bahwa hari ini adalah hari termacet sedunia. Jalanan pasti padat-padatnya.

"Nyadar kalau telat, nyuruh seenak jidat! Gue harap lo makin tua secepat kilat!" teriak Nica ketika kakaknya sudah di lantai bawah untuk mandi. Memang tidak ada kamar mandi sini. Di lantai atas hanya kamar mereka berdua yang bersebelahan. Lantai satu terdapat dua kamar mandi, dapur, ruang tamu dan juga ruang televisi. Satu lagi, ada kamar orang tuanya di lantai bawah itu.

"Mimpi apa gue punya kakak yang begitu amat?! Mamah ngidam apaan sih waktu hamil dia? Nyebelin mulu kerjaannya. Tapi kadang juga baik sih, hehe ... yah, meskipun nyebelin gitu gue juga sayang sama lo, Kak. Kalau pas baik, ya baik banget, sampai gue bingung itu beneran lo apa nggak..." gumam Nica saat dirinya mulai mencari seragam putih abu-abu milik Rahel.

"Gue harap ... lo selalu tersenyum, Kak."

Karena Nica pernah lihat Rahel pagi- pagi, dengan tampang yang menyedihkan. Mata bagian bawah bengkak. Rambut acak-acakan, dan turun ke lantai bawah cuma diam saja.

Rahel hanya bilang, jangan pernah menceritakan kondisi dia yang seperti itu pada mama dan sang ayah. Nica pun mengangguk saja, karena gadis itu bingung ingin bicara apa, bahkan merasa tak tega. Dari situlah Nica merasa bahwa Rahel punya beban yang tidak ingin diketahui oleh orang lain, termasuk Nica yang dari dulu dekat dengannya.

Meskipun terkadang Rahel sangat menyebalkan baginya, Nica tahu betul kalau Rahel tidak mau membuatnya merasa khawatir. Itu juga yang menjadi alasan terbesar bagi Nica. Membuat rasa sayang Nica pada sang kakak tidak pernah pudar.

avataravatar
Next chapter