webnovel

Jagat Raya Trisha

Ervan memang datang hanya untuk mempermainkan gadis bernama Trisha Putri Admaja, menghancurkan masa depannya, lalu ia tinggalkan begitu saja. Persis seperti perlakuan yang didapat kakak perempuannya dulu. Dendam serta kebencian mengalir deras di dalam darahnya. Namun, berhasilkah Ervan melampiaskan kebenciannya terhadap gadis dengan hati serupa malaikat itu? Atau ia justru terjebak di dalam permainannya sendiri?

Niluh_Suriasih · Teen
Not enough ratings
10 Chs

Jagat Raya Trisha #9

Setelah semua bahan selesai diangkut ke dalam kafe, Trisha bersiap-siap.

"Wah ... wah ... mau ada apaan ini?" Zaki berlagak tidak tahu, padahal Ervan sudah memberitahunya tadi.

"Oh ya, Tris, kenalin dulu ini partnerku, Jeki dan Adam."

"Zaki, ya, bukan Jeki, enak aja ganti-ganti nama orang," protes Zaki.

"Halo, aku Trisha," ucap Trisha sambil mengulurkan tangannya.

"Zaki." Zaki menerima uluran tangan Trisha.

"Aku Adam." Gantian Adam memperkenankan diri.

"Halo, Adam. Aku Trisha."

"Salam kenal juga, Trisha," sahut Adam.

"Udah-udah, cukup sesi perkenalannya. Kalian boleh menyingkir atau pulang aja sana." Ervan mengambil alih situasi.

"Cieeh ... si Bos, maunya berduaan aja sama gebetan, nggak mau banget diganggu. Tapi sayangnya hamba ingin sekali melihat proses melukisnya. Jadi, boleh, ya hamba tetap di sini?"

Ervan melipat tangan di dada, tidak merespons. Sementara, Trisha tersenyum tipis mendengar ocehan Zaki.

"Aku bisa langsung mulai aja, ya, Van?"

"Silakan. Oh ya, mau minum apa, Tris?"

"Eum ... Es jeruk aja. Makasih."

"Es jeruk, Jek."

"Kok, gue? Bagian Adam, lah."

"Oke, gue buatin dulu," sahut Adam kemudian berlalu.

"Mau makan, Tris?" tawar Ervan.

"Enggak, aku masih kenyang. Udah makan di rumah tadi, makasih."

Ervan mengangguk. Sementara Trisha memulai menggelar kertas-kertas koran bekas agar lelehan cat tembok tidak mengotori lantai. Tanpa diminta, Ervan ikut membantu Trisha pada bagian ini.

"Van, kemarin aku minta siapin tangga, udah?"

"Udah. Ambilin, Jek!"

Tanpa banyak bicara Zaki beringsut mengambil apa yang diperintahkan oleh Ervan. Sesaat kemudian, Zaki sudah kembali dengan tangga lipat di kedua tangannya kemudian meletakkannya di lantai.

"Rumah tangga sudah siap!"

Trisha dan Ervan seketika menoleh bersama ke arah Zaki.

"Apa?" Ervan mengeryit.

"Rumah tangga kalian berdua kelak, hehehe ...," celetuk Zaki asal sambil cengengesan.

Trisha mengulum senyum. Menurutnya, Zaki ini orang yang humoris, pencair suasana, tidak seperti bosnya yang kaku.

Sementara, Ervan menatap maut ke arah Zaki. Berani-beraninya Zaki membuat hatinya sedikit bergetar.

Rumah tangga?

"Aku mulai menggambar sketsanya dulu, ya, Van."

"Ah, iya."

"Minum dulu, Tris." Kali ini Adam datang membawa nampan kecil berisi segelas es jeruk manis.

"Terima kasih."

"Sama-sama."

"Terus, ngapain kalian masih di sini?" sungut Ervan saat melihat pegawainya masih berada di dekat Trisha. "Mundur sana!"

"Ya elah, Bos, iya-iya." Zaki kemudian mundur teratur. Adam mengikuti. Mereka memilih menonton drama Indonesia langsung di depan mereka dari kejauhan.

Zaki dan Adam menarik kursi, duduk di satu meja yang sama. Sambil ngopi, mereka mengamati Trisha yang mulai membuat sketsa di dinding kafe. Ervan berada di dekat Trisha, bersedekap tangan.

"Ervan, kok bisa kenal sama cewek itu di mana, ya?" tanya Zaki lirih pada Adam.

Adam hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban.

"Ada gitu cewek yang mau deket-deket sama Ervan, padahal dia itu, kan orangnya nggak asyik. Asyikkan gue ke mana-mana."

"Tapi gantengan Ervan ke mana-mana." Adam tergelak.

"Sialan lo, Dam!" Zaki ikut menertawakan dirinya sendiri.

Sketsa mulai tampak di separuh dinding kafe. Trisha masih memainkan kuasnya dengan palet cat warna hitam di salah satu tangannya. Posisi gadis itu kini duduk di antara anak tangga, membuat sketsa di dinding yang agak tinggi. Ervan di bawah memegangi tangga.

Gadis itu bergerak menaiki satu tangga lagi, tetapi pijakannya tidak tepat hingga membuat Trisha terperosok ke bawah, Ervan sigap menangkapnya. Palet cat warna sudah meluncur bebas ke lantai.

Ada hening sejenak, saat kedua tangan Ervan menahan tubuh Trisha. Keduanya mendadak diserang rasa canggung.

"Ck! Seperti adegan romantis di drama-drama." Zaki kembali menyeruput gelas kopinya dengan santai.

"Biasanya kalau sedang momen seperti itu, musik soundtrack berputar." Adam menimpali.

"Baiklah, mereka saling menatap sekarang."

"Apa yang akan terjadi selanjutnya?"

"Jangan ke mana-mana! Kita akan kembali setelah pesan-pesan berikut ini," seloroh Zaki menirukan gaya bicara seorang MC acara.

Kedua tangan Ervan mengangkap kedua lengan Trisha, saat gadis itu terpleset anak tangga. Mereka sedekat urat nadi sekarang. Jantung keduanya seolah marathon di tempat.

"Hati-hati, Tris," ucap Ervan lembut pada gadis yang kini masih membelakanginya itu.

Trisha menoleh tepat pada tatapan Ervan yang jatuh padanya. Ia hanya setinggi dada Ervan saat berada di depan pria jangkung itu.

Dalam jarak sedekat ini, Trisha dapat menghidu aroma parfum Ervan yang manis. Juga wajah datar itu sedikit merunduk saat bertukar pandang dengannya. Jagat raya ini pun seolah terhenti untuk sejenak.

"Maaf, aku kurang hati-hati." Trisha memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Ervan sekarang, memilih menarik diri dan menormalkan detak jantungnya yang menggila.

"Minum dulu." Ervan beranjak sebentar, meraih gelas es jeruk lalu ia ulurkan pada Trisha.

"Ooo ... diambilin minum, ya ... ya ... ya ...," komentar usil Zaki dari kejauhan.

Dua partner Ervan--Zaki dan Adam--masih setia menyaksikan adegan demi adegan yang tersuguh nyata di hadapan mereka.

Trisha meneguk es jeruknya, Ervan kemudian meraih gelas es, saat gadis itu dirasa sudah cukup meneguknya.

"Makasih, Van."

Ada sisa-sisa kecanggungan yang masih kentara di antara tatapan mata mereka yang berserobok.

"Aku lanjut, ya."

"Istirahat dulu kalau capek, Tris."

"Ini baru mulai, Van." Trisha tersenyum kemudian berbalik arah ke dinding yang sudah setengah ia buat sketsa. Gadis itu meraih palet cat yang tadi meluncur bebas ke lantai.

"Rileks aja, jangan gerogi."

Ucapan Ervan sontak membuatnya menoleh penuh.

"Hah?"

Ervan menarik kursi tak jauh dari tempat Trisha berdiri. Pria itu mendaratkan tubuhnya di sana dengan santai, sambil kedua tangan terlipat di perut. Pandangannya kembali terpusat pada dinding yang kini sudah berubah menjadi guratan garis.

Gimana nggak gerogi, sih?  Trisha meloloskan napas sekali, kemudian meneruskan membuat sketsanya.

Waktu berlalu. Sketsa di dinding sudah terbentuk sempurna. Dinding yang tadinya polos sudah berubah menjadi kerangka bangunan rumah jika dilihat sekilas.

"Keren!" Ervan berkomentar setelah Trisha menyelesaikan sketsanya.

"Belum jadi, Van."

"Belum jadi aja udah keren begini, gimana kalau udah jadi."

"Bisa aja, Van."

"Sebenarnya, kenapa kamu mau melakukan semua ini, Tris? Apa kamu sedang berupaya membalas budi?"

Pergerakan Trisha mencapur warna pada paletnya terhenti. "Eng--enggak. Aku melakukannya dengan senang hati."

"Kenapa?"

"Ya, nggak kenapa-kenapa." Trisha tersenyum kikuk.

"Pasti ada alasan, kenapa kamu mau repot-repot begini, Tris?"

Sekali lagi Trisha dibuat menoleh penuh ke arah Ervan. Harusnya pria itu tidak perlu menanyakan alasan, membuatnya jadi bingung dan sedikit salah tingkah saja.

"Eum ...."

"Lupakan!" Ervan bangkit dari posisinya, mendekati Trisha. "Ada yang bisa kubantu sekarang?"

"Enggak, kamu duduk aja."

"Perlu aku bantu memegangi tangga, barangkali kamu jatuh lagi nanti."

Kali ini Trisha tersenyum lebar oleh gurauan Ervan barusan.

Jatuh ke hati kamu, Van, gitu maksdunya?

Senyum Trisha masih belum luntur, gadis itu tertunduk. Ervan menatapnya hening.

Lambat laun dinding yang tadinya masih berupa sketsa kasar kini sedikit demi sedikit sudah tersapu cat warna hingga tampak lebih hidup.

Trisha masih berada di atas tangga menyelesaikan detail lukisannya pada bagian atas dinding. Ervan merasa kagum, tak henti-hentinya ia memuji karya gadis itu dalam hati.

"Gilak, keren banget nggak, sih?" Zaki melontarkan tanggapannya terhadap lukisan tangan Trisha di dinding kafe.

"Sebuah maha karya," sahut Adam kemudian.

"Ervan harusnya peka, sih."

"Hah? Maksudnya?"

"Ya, apa lagi? Trisha menyukai Ervan."

"Oooh ...." Adam mengangguk-angguk paham.

"Kalau gue jadi Ervan, Trisha nggak akan  gue biarin lolos."

"Yup! Setuju!"

"Jadi, kapan elo nyusul Ervan?"

Adam menoleh penuh. "Nyusul? Nyusul gimana maksudnya?"

"Punya gebetan."

Adam tertawa garing. "Kapan-kapan."

"Kita berdua ini udah kayak pria-pria kesepian aja, nih."

"Mereka bakal jadian nggak, ya?" Adam mengembalikan topik obrolan.

"Tergantung. Tergantung Ervan mau maju apa nggak."

"Ya juga, sih. Ervan, 'kan tahu sendiri orangnya kayak apa."

"Kayak papan reklame. Datar!"

"Kira-kira Ervan juga suka nggak sama cewek itu?"

Zaki terdiam memegangi dagunya. "Eum ... menurut gue, sih, Ervan juga suka. Lihat aja cara dia menatap cewek itu. Tatapan matanya nggak bisa bohong."

"Enggak paham gue."

"Ya, elo, 'kan emang beloon!"

"Njir!"

Malam melarut. Trisha masih fokus dengan detail-detail ornamen pada lukisannya. Tangannya mulai pegal, tetapi tak menyurutkan semangat gadis itu. Ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya malam ini juga agar esok, lukisan dinding 3D ini sudah kering dan siap menjadi view yang menarik atensi para pengunjung Yours Cafe.

"Tris, kamu bisa istirahat dulu, jangan difosir." Ervan mengingatkan.

Trisha melongok ke arah Ervan yang berada di bawah tangga. "Tenang aja, Van."

"Makan dulu, ya? Mau aku masakin apa?"

"Nanti aja, Van. Aku mau selesaiin ini dulu."

Ervan tidak memaksa, menunggu Tisha menyelesaikan detail lukisannya.

"Van, gue balik, ya." Adam mendekat, berpamitan pada Ervan.

"Oke."

"Tris, duluan, ya. Lukisanmu keren!" Adam mengacungkan dua jempolnya.

"Makasih," sahut Trisha dari atas tangga.

"Gue cabut, ya." Adam menepuk-nepuk lengan Ervan sebelum pergi.

"Gue juga cabut, nggak mau jadi obat nyamuk di sini." Zaki mengikuti jejak Adam.

"Tris, gue juga duluan, ya. Titip Ervan."

Ervan melirik tajam ke arah Zaki yang nyengir kuda.

"Jagain gebetannya baik-baik, ya. Bye!" Akhirnya Zaki berlalu. Kini, hanya tinggal mereka berdua di dalam kafe.

"Kenapa pada pulang, sih. Emang ini udah malem banget, ya?" Trisha menilik waktu pada jam di pergelangan tangan.

"Setengah sebelas malam," sahut Ervan langsung.

"Oh, iya. Nanggung tinggal sedikit lagi. Lagian aku pulang sama supir."

"Mau kuantar?"

***

Mau nggak ya? :)

TBC