webnovel

Istri yang Tak Dirindukan

Anan merantau ke Jakarta untuk memperbaiki kehidupan ekonomi keluarganya. Selama di perantauan dia mengirim kabar hanya melalui ponsel. Anan juga mengirim uang nafkah kepada istrinya dengan dititipkan tetangga. Lima tahun merantau di Jakarta tak pernah pulang. Namun, setelah dia kembali hanya memberi hadiah talak kepada Ayi Fradilla. Wanita yang sudah memberinya dua orang anak anak. Anan pulang bersama dengan istri barunya. Seorang wanita muda dan kaya menggunakan mobil mewah. Hati Ayi hancur saat mengetahui suami telah menikah dengan perempuan lain. Kemudian hidup Ayi dan kedua anaknya berubah setelah Ustaz Rahman membawa kabar bahagia dengan mengikuti lomba MTQ, yang diadakan oleh seluruh provinsi. Habib mengikuti lomba dan memenangkan juara satu dengan hadiah 100 juta. Namun, di tengah kemenangan Habib, Ayi dan Ustaz Rahman difitnah dengan tuduhan berzina. Ustaz Rahman dan Ayi harus menikah siri karena fitnah. Kemudian Ustaz Rahman membawa Ayi dan kedua anaknya pulang ke rumah, tetapi ditolak ibunya. Umi Fatimah menolak Ayi menjadi menantunya karena statusnya yang janda miskin beranak dua. Dengan tegas sang ibunda meminta untuk menceraikan Ayi Fradilla. Ustaz Rahman menolak menjatuhkan talak kepada Ayi, akan tetapi ibunya murka dan menolak dengan tegas. Lantas Umi Fatimah menjodohkan Ustaz Rahman dengan gadis pilihannya. Ustaz Rahman terpaksa menceraikan Ayi Fradilla yang baru resmi dinikahi beberapa hari. Lantas Ayi diusir dari rumah besar itu. Hingga akhirnya keputusan untuk hijrah pun dia pastikan untuk kembali ke Jakarta mengadu nasib. Di sanalah kehidupan sukses berawal. Sampai pada akhirnya datang kembali Ustaz Rahman dan ibunya ke Jakarta untuk mencarinya. Umi Fatimah menyesal sudah mengusir Ayi beserta anak-anaknya. Ternyata menantu pilihannya divonis mandul. Kisah percintaan Ustaz Rahman dan Ayi kembali terulang saat bertemu di Jakarta. Umi Fatimah memohon maaf atas semua perbuatannya dan meminta Ayi untuk kembali menikah dengan anaknya demi mendapatkan keturunan. Seorang ahli waris dari keluarga Kyai Rasyid. Kedatangan Umi Fatimah dan mantan suaminya ditolak oleh Ayi. Lantas Nur Azizah melamar Ayi kembali untuk suaminya menjadi adik madunya. Ayi menolak permintaan itu. Sampai pada akhirnya Umi Fatimah menyerah karena harus bertarung dengan penyakitnya hingga menghembuskan napas terakhir. Sebelum Umi Fatimah wafat, dia telah berpesan agar Ustaz Rahman kembali menikahi Ayi untuk mendapatkan keturunan. Pada akhirnya Ayi menyerah dan menikah kembali dengan Ustaz Rahman.

Kariani_Sukadi · Urban
Not enough ratings
13 Chs

Bab 4 Disekor Dari Sekolah

Mentari masih menunjukkan garis merah di ufuk timur. Ayam berkokok bersahutan menandakan fajar telah tiba. Seperti pagi ini, Ayi sudah bangun subuh untuk menyiapkan keperluan sekolah Habib.

Ayi berencana akan pergi ke sekolah Habib, untuk membayar uang SPP yang tertunda selama enam bulan. Itu pun hanya akan dibayar separuh untuk menangguhkan, agar Habib tidak dikeluarkan dari sekolah. Setelah menyiapkan sarapan singkong rebus Ayi membangunkan Habib untuk sekolah.

"Habib, bangun, Nak!" ucapnya sembari menguncangkan tubuh Habib yang meringkuk di balik selimut.

Habib mengerjab perlahan membuka matanya. Di lihatnya jam dinding yang sudah usang menunjukkan pukul enam pagi.

"Bunda," panggilnya.

"Iya, Nak."

"Habib, mau mandi dan melaksanakan salat subuh."

Ayi mengangguk pelan. "Iya."

Habib berinsut dari tempat tidur busa yang tipis, lalu menuju kamar mandi belakang untuk mandi, dan melaksanakan salat subuh. Hari ini dia kesiangan karena bundanya tidak membangunkannya untuk salat subuh di masjid. Biasa pukul lima pagi, Habib sudah bangun mendengar azan subuh yang berkumandang. Rumahnya tidak jauh dari masjid hanya berjarak sekitar 200 meter.

Setelah semuanya selesai dia kerjakan, Habib pun keluar dengan memakai seragam sekolah. Baju putih panjang yang sudah terlihat lusuh sudah terlalu lama dipakai.

Sejak dari kelas satu sampai sekarang kelas lima SD, Habib hanya punya satu pasang baju untuk dipakai. Kalau basah Ayi akan menjemurnya, dan pagi sebelum Habib sekolah Ayi terlebih dulu mensetrika agar tidak terlihat kusut. Bahkan celana pun hanya satu tidak ada yang lain untuk dipakai sebagai ganti. Kini Habib sudah terlihat mulai tinggi. Celana yang dulu kepanjangan, sekarang sudah terlihat mulai menggantung di atas mata kaki.

Habib memakai seragam SD Sanawiyah karena memang dia sekolah di Ibtidaiyah sekolah Islam terpadu.

"Bunda, Habib takut pergi sekolah karena belum bisa melunasi biaya sekolah yang tertunda," keluhnya.

Ayi menghela napas berat. "Bunda, akan bayar separuh dulu, Nak. Agar kamu tidak dikeluarkan dari sekolah."

"Bunda dapat uang dari mana untuk melunasi uang sekolah, Habib?"

"Bunda, masih ada sedikit uang simpanan untuk membayar rekening listrik. Bunda, bisa pakai itu dulu untuk menutupi biaya sekolah kamu, Nak," jelas Ayi.

Seraya meletakkan potongan singkong rebus ke dalam piring Habib. Umbi itu kemarin sore dia cabut, dan direbus untuk menganjal perut anaknya.

"Bagiamana listrik kita nanti kalau diputus Bun?"

"Kamu, gak usah pikirkan itu, Nak. Yang penting sekolah saja biar pintar. Soal pembayaran listrik biar, Bunda yang urus," jawab Ayi.

Habib kemudian memakan singkong rebus pemberian bundanya. Keadaan ini tidak membuat dia kaget ataupun manja, baginya sudah biasa karena memang bukan cuma sekali saja dia makan singkong, untuk mengajal perut yang lapar. Namun, sudah sering hal ini dialami oleh keluarganya sejak dulu.

Jika bundanya tidak punya uang, maka hanya akan diberi singkong rebus saja yang di masak hanya memakai garam. Habib tidak pernah mengeluh ataupun perotes. Habib faham betul jika bundanya tidak masak, dan hanya memberinya makan singkong rebus pasti tidak lagi ada uang.

"Bunda, tidak makan?" tanya Habib kemudian. Ayi hanya menggeleng saat Habib bertanya padanya.

"Tidak, Nak. Bunda, sedang berpuasa," jawabnya datar.

"Ooh."

Setelah menyelesaikan sarapannya, Habib lalu bergegas memakai tas sekolah yang sudah banyak jahitan. Dia tidak merasa malu memakai tas sekolah, meskipun tas itu sudah banyak jahitan dan tambalan sana-sini.

"Ayo kita berangkat!" ucap Ayi sembari mengendong Nara.

"Ayo, Bun," sahut Habib mengulas senyum.

Tidak lama kemudian mereka berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Mereka berangkat dari rumah pukul 6.30. Sesampai di sekolah pukul tujuh lewat lima belas menit. Jarak yang ditempuh dari rumah ke sekolah lumayan jauh. Melewati kebun sawit, dan sungi kerena letak kampung mereka agak ke tengah jadi untuk tiba di tempat tujuan harus melewati beberapa persawahan, dan perkebunan warga desa.

Setiba di sekolah Ayi segera menemui guru yang ada di kantor, untuk menyelesaikan biaya SPP Habib.

Di depan kantor sekolah Ayi berdiri dan mengucap salam.

"Assalamualaikum," ucapnya.

"Waalaikumsalam," jawab Ustaz Rahman.

"Ayi, ada apa kamu datang ke sekolah?" tanyanya heran.

Tidak biasa Ayi datang kesekolah.

"Maaf, Ustaz. Dimana ruang guru bendahara, ya? Aku mau bayar tunggakkan uang sekolah Habib," kata Ayi.

Dia menundukkan kepala tak berani menatap pandangan ke arah Ustaz Rahman.

"Oh, itu, masuk saja! Bendahara ada di dalam," tunjuk Ustaz Rahman ke ruang bendahara.

Ayi mendongak, lalu mengikuti arah yang di tunjuk Ustaz Rahman.

"Terimakasih, Ustaz," lanjutnya. "Permisi."

Ustaz Rahman mengangguk. "Iya."

"Asalamualaikum," ucap Ayi.

"Waalaikumsalam," jawab guru bendahara.

"Maaf, Bu. Saya ingin membayar tunggakkan uang sekolah, Habib," ungkap Ayi.

"Silahkan duduk, Bu!"

"Em ... maaf, Bu. Saya hanya bisa membayar tunggakkannya tiga bulan saja," ucap Ayi kemudian.

"Iya, tak apa, Bu. Tapi, kami dari sekolah mohon maaf. Untuk sementara Habib kami sekor tidak boleh sekolah, jika uang tunggakkannya belum dilunasi," lanjut bendahara.

Ayi menarik napas berat. "Apa tidak ada cara lain agar bisa terus sekolah, Bu?"

Bendahara menggeleng. "Tidak."

"Tolonglah, Bu. Saya mohon kebijakkan dari sekolah. Agar anak saya bisa tetap sekolah," tutur Ayi memelas.

"Sekali lagi mohon maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas tapi, tidak bisa membantu."

"Ya, sudah kalau gitu," lirih Ayi.

Dia kemudian mengambil uang dari saku gamisnya, lalu menyerahkan pada bendahara sekolah.

"Tiga bulan, ya, Bu?"

Ayi mengangguk. "Iya."

"Sudah saya catat, Bu."

"Iya, makasih. Permisi," ucap Ayi kemudian setelah membayar uang tunggakkan sekolah.

Dia kemudian melangkah dengan gontai, meninggalkan ruang kantor sekolah.

Setiba di luar dia segera ke ruang kelas Habib, dan mencari keberadaan anaknya.

"Bib," panggil Ayi melambaikan tangannya.

Habib datang menghampiri bundanya yang berdiri di ambang pintu ruang kelas.

"Ada apa, Bunda?" tanya Habib.

"Kita pulang yuk!"

"Kenapa pulang, Bunda? Habib, kan mau sekolah?"

"Bendahara tadi bilang, kamu belum boleh sekolah kalau Bunda belum bisa munasi uang sekolah kamu. Kamu belajar di rumah saja dulu sementara waktu sampai Bunda bisa melunasi uang sekolahnya," jelas Ayi.

"Em ... Bunda, Habib, mau sekolah sekarang."

Ayi merunduk dan mensejajarkan dengan ketinggian Habib. Tangan lembut itu membelai rambut anaknya.

"Sabar, Nak. Nanti ... kalau Bunda punya uang akan dilunasi dan kamu bisa sekolah kembali, ya," bujuk Ayi.

Seraya mengelus pucuk kepala Habib dengan mata berembun. Tidak berdaya menghadapi situasi ini.

Habib terlihat bersedih mendengar ucapan dari bundanya. Segera dia kembali ke dalam ruang kelas untuk mengambil tas sekolahnya, lalu kembali pulang.

Ayi hanya memandang anaknya dengan mata yang berkaca-kaca. Hatinya sakit melihat Habib, anaknya harus pulang karena ketidakadaan biaya untuk melunasi tunggakkan uang sekolah. Perih terasa menyayat kalbu bagai disayat sembilu.

"Maafkan, Bunda, Bib. Bunda, belum bisa menjadi orang tua yang baik untukmu," batin Ayi berkata.

Sudut matanya kini mulai mengembun. Wajah itu terlihat sedih, dan muram.

Dari dalam kelas Habib mengemasi, kembali buku pelajarannya yang sempat dia keluarkan tadi, dan memasukkan kembali ke dalam tas. Dia berjalan gontai menuju ke arah bundanya.

"Bib," panggil Satria teman sebangkunya.

Habib menoleh membalikkan badannya ke arah Satria. Dia menatap sayu ke arah teman sebangkunya.

"Iya," sahut Habib.

"Kamu mau kemana kok bawa tas. Kayak mau pulang aja?" tanya Satria.

"Aku memang mau pulang, Satria."

"Loh, kenapa kamu pulang, Bib? Kan' pelajaran belum dimulai. Sebentar lagi Ustad Rahman datang mengajar. Kenapa kamu pulang, Bib?" tanya Satria lagi.

"Iya, aku tahu, Satria. Tapi, pihak sekolah memintaku pulang karena Bundaku belum melunasi tunggakkan uang sekolah tiga bulan lagi," tutur Habib. Dia pun segera berlalu dari hadapan satria, dan keluar dengan menjijing tas bututnya.

Sesampai di depan pintu kelas Habib menghampiri bundanya, berdiri menunggu sambil mengendong Nara adiknya.

"Ayo, Bun kita pulang!" ucapnya.

Ayi mengangguk lalu mengiyakan ucapan Habib. "Ayo, Nak."

Ayi berjalan menyusuri koridor sekolah beriringan dengan Habib di sampingnya.

***

Di dalam kelas Ustaz Rahman masuk dan memberikan mata pelajaran agama. Sebelum memulai mata pelajaran dia terlebih dahulu mengabsen murid-murid yang hadir. Seperti biasa para murid akan dipanggil satu-persatu namanya dengan nyaring, untuk mengecek kehadirannya sebelum mata pelajaran berlangsung.

Semua para murid hadir mengisi mata pelajarannya kecuali, Habib yang tidak hadir saat disebut namanya.

"Habib," panggilnya.

Hening tidak ada jawaban, semua murid terdiam tidak ada yang berani bersuara.

Ustaz Rahman mengulangi kembali panggilannya.

"Habib!"

Tetap hening tidak ada jawaban.

Dia kemudian bertanya pada Satria- teman sebangkunya, apakah tadi melihat Habib, dan tahu kenapa Habib tidak masuk kelas hari ini.

"Satria," panggil Ustaz Rahman.

"Iya, Ustaz," sahut Satria.

"Kemarilah!"

Satria bergegas menghampiri Ustaz Rahman yang duduk di depan ruang kelas membelakangi papan tulis.

"Ada apa, Ustaz?"

"Kamu tahu kemana teman sebangkumu? Habib kenapa tidak datang?" tanya Ustaz Rahman.

Satria mengangguk. "Tahu, Ustaz."

"Kemana dia? Kenapa tidak datang? Apa dia sakit?" tanya Ustaz Rahman bertubi-tubi.

Habib adalah murid paling pintar di kelas. Da selalu menjadi juara satu tiap pembagian rapor.

Tidak hanya juara kelas saja Habib juga menjadi juara umum, dia cerdas karena otaknya yang pintar selalu mendapatkan rengking satu.

Satria menjelaskan dengan gamblang kenapa Habib tidak sekolah hari ini.

"Tadi, Habib sudah datang dan masuk kelas Pak Ustaz tapi dia pulang lagi," jelas Satria.

"Loh, kenapa?"

"Pihak sekolah menyuruhnya pulang karena dia belum melunasi tunggakkan uang sekolah," jawab Satria.

Kening Ustaz Rahman berkerut. "Jadi, karena itu Habib pulang?"

Satria kembali mengangguk. "Iya, Pak."

Ustaz Rahman kembali meminta Satria untuk duduk. Dia pun segera menyampaikan materi pelajaran kepada murid-muridnya.

***

Bersambung.

Di gantung dulu ya guys. Masih ada kelanjutan cerita yang lebih seru lagi berikutnya. Jangan lupa tinggalkan jejak komen dan like di bawah ini.