webnovel

Pelarian Pertama

Sudah larut malam ketika Mia bangun. Ruangan yang tenang, sekelilingnya yang berwarna merah muda dan putih, dan bau unik air desinfektan milik rumah sakit, semuanya membuat Mia berangsur sadar dan paham di mana dirinya berada.

Ketika menolehkan kepala perlahan-lahan, matanya yang lemah dan kering tertuju pada pria yang sedang membuka berkas dengan kaki rampingnya disilangkan. Sudut mulutnya sedikit tertekuk serius.

Di luar sedang hujan, dan tetes-tetes airnya jatuh dengan lembut di jendela, membuat ruangan terasa lebih sunyi.

"Sudah puas memandangi aku?" Petra memiringkan kepalanya, dan matanya yang dalam bertemu dengan mata Mia.

Mia tersenyum, "Kamu tampan sekali, sih. Kamu sendiri mana tahu…." Karena demam dan belum makan, suaranya sangat parau dan lemah.

Mata Petra menggelap, dan dia berkata dengan dingin, "Mia, kamu ini masih kecil? Kamu tidak bisa pergi ke dokter sendiri kalau sedang sakit?"

Mia terkejut, menatap Petra dalam diam selama beberapa saat. Dia merasa sedih. "Aku sedang sakit… dan aku ditegur?"

"Aku benar, 'kan?" kata Petra lembut. Wajahnya masih dingin, tapi suaranya jelas lebih lembut.

Mia tersenyum, meskipun senyumnya agak masam. "Aku tadinya ingin tidur sebentar, siapa tahu kamu pulang…. Kurasa pada akhirnya kamu merasa tidak enak," Mia mengerutkan bibir dan melanjutkan, "Tapi jelas, kamu tidak kesulitan dan tidak apa-apa. "

Petra sama sekali tidak percaya apa yang dikatakan Mia. Setelah lebih dari setahun berhubungan dengannya, dia masih belum mengenal wanita ini.

Melihat Petra tidak berbicara, Mia pun tampak gelisah dan tidak nyaman. Meskipun penyakitnya datang tiba-tiba kali ini, dia tetap saja tahu bahwa hal ini secara tidak sadar disebabkan karena dia menolak pergi ke rumah Adelia.

"Kata Dokter, kamu masuk angin dan beban pikiranmu tinggi, jadi daya tahan tubuhmu berkurang," kata Petra dari bibir tipisnya, matanya tampak dingin. "Mia, kamu tertekan kenapa?"

Mia gugup. Ketika tiba-tiba ditanya seperti itu, dia tidak berani menatap mata Petra yang tajam. "Karena aku sama sekali tidak bisa mengikutsertakan rancanganku dalam proyek Kaisar, 'kan?"

Petra tidak bicara, hanya menatap Mia dengan diam, memikirkan apakah yang dikatakan Mia benar atau tidak. Tapi jelas, dengan wajah Mia yang kuyu, tidak ada yang bisa dilihat Petra selain tubuhnya yang lemas dan lesu.

"Ra, kamu lihat sendiri aku stres sekali sampai sakit…." Mia mendongak dengan sedih. Dia kembali melanjutkan kebohongannya. "Kamu sendiri paham betul."

Petra beranjak dan menangkupkan tangan di balik punggungnya. Dia langsung pergi tanpa mengatakan apa-apa, meninggalkan Mia dengan dingin dan angkuh.

Sudut-sudut mulut Mia berkedut, dan dia pun mengutuk di dalam hati, 'Dasar sialan, tidak ada simpatinya sama sekali!'

Petra tiba-tiba berhenti, berbalik perlahan, dan menatap Mia dengan tajam. "Kau tadi mengomel padaku di dalam hati?"

"..." Sudut-sudut mulut Mia kembali berkedut. "Aku orang yang baik, aku tidak pernah mengomel pada siapa pun."

Sudut mulut Petra berkedut, dan dia berbalik dengan acuh tak acuh.

Hanya Mia yang tersisa di bangsal itu, dan dia merasa agak miris.

Jika seseorang jatuh sakit, tubuh mereka akan menjadi rentan, dan mereka juga akan terpikirkan akan penyakit mereka. Dulu, kalau Mia jatuh sakit, ada ayah dan ibunya di sisinya.

Dulu, di sekolah, satu tahun setelah dia berpacaran dengan Wira, dia harus mengambil ujian kualifikasi dan belajar sampai larut di perpustakaan. Di luar dingin dan hujan lebat. Dia berlama-lama di sana, dan kemudian keesokan harinya, dia flu dan terkena demam.

Dia ingat, dia sangat marah dan menyalahkan dirinya sendiri. Mia merasa sangat bahagia saat itu meskipun dirinya sakit.

Pintu bangsal didorong terbuka, menyentakkan lamunan Mia. Mia menoleh dan melihat Petra masuk dengan kotak makanan di tangannya.

Seketika, Mia merasa hidungnya berair. Dia tidak paham apakah karena dirinya merasa tersentuh atau karena ingatannya menusuk hatinya. Pokoknya, ketika aroma bubur yang menggoda masuk ke hidungnya, dia merasa agak terharu.

"Kau terharu hanya dengan begini saja?" Petra mendengus dan membantu Mia.

Selubung tipis air mata memenuhi mata Mia, "Kamu baik sekali padaku, tentu saja aku terharu…." Dia mendengus. "Kalau kamu bisa sebaik ini padaku, kamu pasti juga bisa menemukan cara untuk membuat rancanganku diterima."

Setelah mengucapkannya, Mia melihat raut suram di wajah tegas Petra.

Mia tidak berani menyinggungnya lagi. Dia mengambil bubur yang diberikan Petra dan memakannya tanpa bicara sedikit pun. "Kak Adel…" tanyanya ragu-ragu, berusaha membicarakannya.

"Karena harus membawamu ke rumah sakit, aku tidak pergi ke sana," kata Petra dengan tak acuh.

Mia ingin bertanya apakah Wira telah kembali, tetapi dia selalu merasa sepertinya terlalu mengejutkan kalau dia bertanya begitu, dan pada akhirnya, dia tidak bertanya. Dia hanya terus menunduk dan memakan buburnya. Setelah makan setengah mangkuk, meskipun perutnya kosong, dia kehilangan nafsu makan.

"Nanti malam kamu di sini menemaniku?" Setelah makan, Mia tidak bisa menahan rasa penasarannya saat melihat Petra berjalan menuju sofa.

Jelas, dia berharap terlalu tinggi.

Petra pergi untuk mengemasi berkas-berkasnya, dan setelah dia keluar dari rumah sakit, dia membawanya kembali ke Taman Dewata.

Demam bukanlah penyakit serius. Selain itu, Mia sudah jauh lebih baik setelah diinfus. Pada akhirnya, dia tetap merasa lebih nyaman di rumah.

Petra menetap di rumah Mia dan pergi ke ruang kerjanya. Ada merger dan akuisisi dalam dua hari terakhir. Dia benar; dia akan agak sibuk selama beberapa hari.

Karena menghabiskan seharian dengan tidur, Mia sama sekali tidak mengantuk. Dia hanya mengambil ponselnya dan melihat pesan yang masuk.

Ketika membukanya, dia melihat Eri mengirim pesan untuk menanyakan apakah dia sudah bertemu dengan Wira.

Mia dengan tenang menjawab pesan itu: "Tiba-tiba aku demam, jadi tidak bisa."

Eri dengan cepat membalasnya: "Kamu sakit?"

Mia: "Dokter berkata aku terlalu banyak tekanan…."

Eri membuat ekspresi mengejek: "Mia, pernah berpikir tidak, kalau sekalipun kamu melarikan diri dari masalahmu sekarang, lalu bagaimana ke depannya? Jakarta memang luas, tapi Petra dan Wira masih memiliki hubungan keluarga, dan cepat atau lambat, mereka pasti akan bertemu satu sama lain. Kamu bisa saja menghindar hari ini, tapi di masa depan, tidak mungkin!"

Mia sedikit jengkel dan pasrah. Dia membalas: "Seharusnya aku melarikan diri dari masalah ini sejak awal…."

Eri tidak tahan. Dia membalas: "Mia, apakah kamu masih mencintainya?"

Mia melihat pertanyaan Eri dan terdiam untuk waktu yang lama. Dia tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.

Eri: "Lupakan, jangan dijawab. Bagaimanapun juga, kamu harus tahu bahwa sekarang kamu sudah menjadi istri Petra, apapun alasan awalmu menikah dengannya. Hubunganmu dengan Wira sudah tidak mungkin terjadi."

Mia: "Iya, aku mengerti…."

Di luar masih hujan, dan tidak terlalu deras, namun tidak berhenti. Di akhir musim panas dan awal musim hujan, Jakarta selalu mendapat banyak hari berhujan, yang mengingatkan Wira akan Seattle selama dua tahun terakhir.

Bahkan setelah tiga tahun, dia tetap setia pada cinta mereka. Dia menunggu!

Tapi pada akhirnya?

Dia bertahan, tetapi wanita itu tidak menunggunya….

Wira menghembuskan asap dari mulutnya, dan pemantik besi yang dimainkannya memecah keheningan dengan dentang nyaring. Rokoknya menyala dengan pendar kecil ketika Wira mengisapnya dan menghembuskan asap. Saat kepulannya menyebar, selubung putih itu menghalau pandangan.

Nada dering terdengar dari ponselnya tepat pada saat itu. Wira berbalik dan mengambil ponselnya di dalam rumah. Dia melirik panggilan itu, dan melihat Aryo meneleponnya. Mengangkatnya, dia meletakkan ponsel itu di telinganya.

"Teman-teman lama kita sudah mendengar kalau aku pulang, dan mereka sudah berjanji untuk berkumpul bersama…." Suara Aryo terdengar di sela napasnya. "Jumat malam depan, Bar Purnama."