1 Sebelum Tragedi

Prisca Nara baru saja keluar dari sebuah gedung notaris. Kakinya mengayun begitu tegas ketika berjalan menuju area parkir mobil. Wanita yang akrab disapa Prisca itu tampak begitu bahagia. Wajahnya yang cantik bersemu merah muda, menandakan ada sesuatu yang ia pikirkan dan menimbulkan rasa malu-malu.

Tak ada sebab lain, selain sebuah rencana pernikahan yang sukses membuat Prisca kesenangan. Terhitung tinggal dua bulan lagi ia akan resmi menjadi istri dari pewaris perusahaan besar se-Indonesia, bernama Nares Syailendra Candrawinata. Kekasih hati yang sangat ia cintai dan jalinan kasihnya dengan pria itu telah terajut selama empat tahun lamanya.

Selain memang saling mencintai, hubungan Prisca dan Nares sudah mendapat restu dari kedua belah pihak keluarga. Mungkin, semua terasa lebih mudah untuk menuju singgasana pelaminan.

Ketika Prisca hendak membuka pintu mobilnya, tiba-tiba terdengar dering ponsel dari dalam tas jinjingnya. Alhasil, ia membatalkan rencana untuk memasuki kendaraan roda empat tersebut. Tanpa pikir panjang sekaligus tak mau membuat sang penelepon menunggu lama, ia lantas merogoh ponselnya dari benda berwarna hijau toska itu.

Prisca tersenyum-senyum mendapati kontak milik Nares tengah menghubunginya saat ini. Dengan sigap, ia segera menekan tombol hijau dan meletakkan benda persegi panjang tersebut di samping telinga.

"Halo, Nares sayang," sapa Prisca sembari menyandarkan punggung pada badan mobil.

"Halo juga, Sayang, kamu di mana?" balas Nares dari kejauhan sana.

"Mm ... aku masih di kantor notaris, Sayang. Ada apa?"

"Mau aku jemput?"

Meski Nares tidak mengetahui sikapnya, Prisca tetap menggelengkan kepala. "Tidak perlu, aku bawa mobil sendiri kok dan setelah ini mau langsung pulang saja."

"Tidak mau ketemu calon suami dulu, ya?"

"Mm ... tidak deh. Aku harus pulang sebelum Mama dan Om Burhan pulang. Lagi pula, calon pengantin tidak boleh keseringan ketemu sebelum hari H lho."

"Hmm ... kangen."

"Sabar, yah! Besok kita ketemu, oke, Sayang?"

"Ya, ya, baiklah, Nyonya Syailendra. Tapi, ... benar ya, langsung pulang, ya?"

"Iya, kecuali kalau yang ada di rumah si Om doang, aku mau mampir ke tempat lain dulu."

"Hmm ... mama kamu sudah menikah hampir dua tahun lho, Prisca, kenapa masih takut sama Om Burhan? Tidak baik lho begitu!"

"Mau bagaimanapun, Om Burhan tetap orang asing buat aku, Nares. Dan aku perlu hati-hati, aku takut dia pria hidung belang yang mau harta Mama atau mengincar diriku."

"Hahaha, kejauhan kamu mikirnya, Prisca sayang. Tapi ya sudahlah, ada baiknya juga, pulang hati-hati. Jangan ngebut, ya!"

"Mm ... see you."

Panggilan sepasang kekasih yang sebentar lagi akan menjadi suami-istri itu pun berakhir. Lantas, Prisca segera memasukkan ponselnya ke dalam tas jinjing kembali. Namun, ia tidak segera melanjutkan rencana untuk pulang. Hatinya menyesalkan satu hal, yaitu perihal Nares yang enggan mempercayai ucapannya mengenai ayah tirinya—Burhan.

Nares selalu saja menganggap keluhannya seputar Burhan hanya sebuah efek dari ketidaksukaan. Tentu, hal itu membuat Prisca terpaksa menahan semuanya sendiri. Menahan keisengan mata Burhan mengenai tubuhnya, ayah tirinya itu kerap kali bersikap genit terlebih ketika ibunya sedang tidak ada di rumah.

Sempat, Prisca ingin pindah rumah, tetapi ibunya melarang dengan banyak alasan dan ancaman. Akhirnya, selama dua tahun pasca orang tua kandung satu-satunya itu menikah, dirinya bertahan hidup bersama di bawah satu atap dengan pria tua yang genitnya tidak ketulungan.

Prisca menghela napas dengan berat. Sedetik kemudian, ia bergumam, "Tinggal dua bulan lagi, aku harus bertahan di rumah itu. Semoga lancar semuanya, sampai hari H. Yang mana, aku sudah memiliki alasan kuat untuk pindah dari rumah Mama."

Dengan membawa sejumlah keyakinan, Prisca menyegerakan diri untuk memasuki mobilnya. Langit yang berwarna jingga terlihat oleh sepasang mata indahnya. Hari memang sudah sore, tentu membuat Prisca tak ingin berlama-lama menahan diri di area parkir tersebut.

Melodi indah terdengar dari pemutar musik yang terpasang di dashboard mobil. Bibir tipis yang terpoles liptint cherry itu turut melantunkan lirik yang terdengar lembut dan merdua.

Saat ini wanita berparas cantik itu memang benar-benar dalam keadaan bahagia, seolah tak ada sedikit pun beban pikiran yang biasa didera oleh calon pengantin kebanyakan. Tentu saja, sebab Prisca memang sangat beruntung, calon suaminya sudah begitu kaya, ditambah dengan kekayaan yang dimiliki oleh keluarganya sendiri.

Terlepas dari segi materi, Prisca begitu senang lantaran sebentar lagi akan keluar dari jerat genit sang ayah tiri sekaligus ibunya. Tak ada lagi yang bisa mencuri pandang tubuh moleknya, kecuali seorang Nares Syailendra! Tak ada lagi sosok Burhan yang selalu Prisca benci sekaligus sangat ia takuti. Tinggal dua bulan! Prisca sangat berharap semua akan berjalan dengan lancar sampai di hari yang telah ditentukan.

Kemudian, pasang mata indah Prisca tak sengaja menatap sebuah toko perlengkapan pernikahan. Ia berencana menepikan mobilnya terlebih dahulu ke area toko itu. Mencari beberapa souvenir tambahan menjadi rencananya saat ini.

Sesaat setelah turun dari mobil yang ia parkir, Prisca segera turun. Bibirnya terus bersenandung senada dengan langkah kaki yang mengayun lincah. Kehadirannya disambut gembira oleh para pelayan toko. Mereka membimbing Prisca sesuai keinginan dari wanita itu. Kesibukan berbelanja ala wanita pun telah terjadi, bisa ditebak berapa waktu yang akan Prisca arungi demi benda-benda cantik dan beragam jenis serta warnanya itu.

Satu demi satu pertanyaan atas apa macam benda cantik, sudah mulai Prisca lontarkan pada para pramuniaga. Matanya pun kerap kali tergoda akan barang-barang yang imut dan sangat ingin membeli. Semuanya begitu indah bagi Prisca Nara, meskipun berada di dalam area toko cukup murah dibandingkan dengan level dirinya sebagai anak orang kaya.

Ketika mulai sadar atas kekhilafan yang ia lakukan, Prisca segera melirik waktu di arloji perak di lengan kirinya. Nyaris dua jam berlalu, langit yang bersemu jingga telah menggelapkan dirinya. Prisca mendesis kesal karena kecerobohannya dalam mengingat waktu yang kian gelap. Terlebih ketika sudah berjanji pada Nares akan lekas pulang, nyatanya ia justru mampir ke toko tersebut dalam waktu lumayan lama.

"Maafkan calon istrimu ini, Nares, demi pernikahan kita tidak masalah, 'kan?" ucap Prisca memberikan anggapan pada kesalahannya menjadi sebuah kebenaran.

Setelah sibuk menyesali perbuatannya, wanita cantik itu kembali menghampiri keberadaan mobilnya bersama dua paperbag berisi belanjaan. Lalu, sesaat setelah memasuki kendaraan pribadi dengan warna maroon tersebut, ia lantas segera tancap gas menuju arah rumahnya. Sebab, mau bagaimanapun Prisca tidak ingin membuat Nares cemas apalagi kecewa, ia harus sigap ketika pria kesayangannya itu menghubungi ponselnya.

***

Rumah dua lantai dan begitu luas sekaligus megah menjadi pemberhentian mobil merah yang dikendarai oleh Prisca. Sebelum memutuskan untuk keluar dari kendaraannya tersebut, Prisca memandangi pintu rumah dengan matanya yang menatapsendu. Kebahagiaan yang sempat ia rasakan sepanjang hari seolah terkikis habis begitu saja. Keberadaan Burhan di dalam membuatnya enggan untuk pulang. Bahkan, mengambil langkah saja cukup ragu untuk ia lakukan.

Beberapa kekhawatiran Prisca pun membuncah, termasuk ketakutannya jika ibunya sedang tidak ada di rumah. Apalagi keluarganya tidak memakai jasa asisten rumah tangga secara full time. Jika malam telah tiba, tidak ada seorang pembantu satu pun, hanya seorang petugas keamanan yang kerap menghabiskan waktu menjaga gerbang.

"Tenang, Pris! Mama pasti di rumah kok!" gumam Prisca meyakinkan dirinya sendiri. Sebab, hari ini Laksmi—ibunya—memintanya untuk pulang lebih cepat. Ya, meski ia tidak menepati janji tersebut.

***

avataravatar
Next chapter