1 Bab 1

Pagi ini Seno dan kedua orang tuanya tengah menikmati sarapan pagi bersama. Suasana cukup hening, tidak ada percakapan antara mereka. Yang ada hanya suara dentingan garpu dan sendok yang saling beradu di atas piring. Namun, selang beberapa menit, Regina membuka suara, percakapan pun terjadi antara mereka bertiga.

"Seno, kapan kamu akan mengenalkan calon menantu kepada mama sama papa?" tanya Regina disela-sela mengunyah makanan.

Seno menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah ibunya. "Maksud, Mama? Bukannya Seno pernah bilang kalau Seno akan menikah dengan Cristie."

Regina meletakkan sendok dan garpu di atas piring. "Seno, harus berapa kali mama bilang. Kalau mama sama papa tidak akan pernah setuju kamu menikah dengan Cristie. Apa kamu lupa dengan apa yang sudah orang tuanya perbuat kepada kita."

"Apa yang mamamu katakan memang benar, Nak. Mereka pernah membuat kita terjatuh, dan sekarang kamu ingin menikahi putrinya," sela Akbar.

Seno terdiam sejenak. "Seno tidak peduli dengan apa yang pernah terjadi dulu. Yang jelas, Seno akan tetap menikah dengan Cristie. Keputusanku sudah bulat, jadi Seno minta mama sama papa bisa menerimanya."

"Seno sudah kenyang." Seno berdiri dan beranjak pergi meninggalkan meja makan.

Regina menghembuskan napasnya, ia tidak menyangka jika putranya itu tetap bersikukuh untuk menikah dengan Cristie. Wanita karier yang telah mampu membuat Seno mabuk kepayang. Namun Regina sama sekali tidak setuju jika putranya menikahi wanita itu. Memang cantik, tetapi kepribadiannya sangat diragukan.

"Sudahlah, Ma. Jangan dipaksa terus, nanti lama-lama Seno pasti akan menikah," ucap Akbar yang mencoba menenangkan sang istri.

"Iya, Pa. Mama tahu, tapi kita harus lebih waspada. Mama tidak setuju jika Seno menikah dengan wanita itu," ungkap Regina penuh dengan kekesalan.

"Papa tahu, Ma. Ya sudah lanjut dulu sarapannya." Akbar kembali melanjutkan sarapan paginya, begitu juga dengan Regina.

Sementara itu Seno tengah bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Pria berjas itu saat ini tengah mengambil kunci mobilnya, setelah itu ia bergegas masuk ke dalam mobil. Perlahan mobil BMW i8 berwarna putih melaju meninggalkan halaman rumah mewah berlantai dua. Mobil melaju dengan kecepatan cukup tinggi, Seno memilih fokus untuk menyetir meski ucapan orang tuanya masih terngiang-ngiang di telinga.

"Ah, sial. Kenapa sih mama sama papa tidak pernah setuju kalau aku menikah dengan Cristie." Seno memukul setir mobilnya dengan hati yang cukup dongkol.

"Tapi kalau aku tidak nurut, mama sama papa tidak akan tinggal diam," ucap Seno kemudian.

Setelah itu Seno mengambil ponselnya, ia berniat untuk menelpon Cristie. Namun setelah dicoba, sama sekali tidak ada jawaban. Jujur, ia merasa kesal dengan kekasihnya itu. Semenjak pergi ke luar negeri, komunikasi mereka memang kurang baik. Cristie seperti tidak ada waktu untuk sang kekasih.

***

Mobil BMW i8 berwarna putih berhenti di pelataran kantor. Dengan cepat Seno keluar dari mobilnya, sebelum melangkahkan kakinya ia terlebih dahulu membenarkan jasnya. Setelah itu Seno berjalan memasuki gedung bertingkat tersebut. Seno hanya tersenyum dan mengangguk saat mendapat sapaan dari para pegawainya.

"Seno, tunggu." Suara yang sudah tak asing lagi mampu membuat Seno menghentikan langkahnya. Pria berjas itu menoleh ke arah sumber suara tersebut.

"Ada apa?" tanya Seno.

"Ke ruangan meeting sekarang, sebentar lagi meeting dimulai," ucap Bima, asisten pribadi Seno, sekaligus teman dekatnya.

Seno mengernyitkan keningnya, ia melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu baru menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh menit, tetapi Bima bilang meeting akan segera dimulai. Seno menghela napas dan kembali menatap pria di hadapannya itu.

"Ini baru jam tujuh lewat, kenapa cepat sekali," protesnya, Seno mendengkus kesal.

"Sekarang bukan waktunya protes, kamu mau proyek yang ada di Makasar gagal. Udah buruan." Bima mendorong tubuh Seno menuju ruang meeting.

Dengan sedikit terpaksa Seno pun menurut, kedua pria berjas itu melangkahkan kakinya menuju meeting room. Setibanya di depan pintu, Seno terlebih dahulu masuk ke dalam lalu diikuti oleh Bima. Ruangan meeting sudah penuh, benar apa kata Bima. Semuanya sudah menunggu kedatangannya. Seno berjalan menuju kursinya dan segera duduk.

Meeting berjalan dengan lancar, setelah selesai Seno bergegas keluar dan langsung menuju ke ruangannya. Namun langkahnya terhenti saat melihat seorang wanita yang tak asing lagi baginya tengah berjalan menghampirinya. Wanita itu adalah Regina, ibunya sendiri. Entah ada keperluan apa sehingga Regina datang ke kantor Seno.

"Mama, tumben ke sini. Ada apa, Ma?" tanya Seno.

"Ada yang mau mama bicarakan. Kamu nggak sibuk kan." Regina menatap wajah putranya penuh selidik.

"Enggak kok, Ma." Seno menggelengkan kepalanya. "Ya sudah kita masuk ke ruangan saja."

Seno berjalan dengan diikuti oleh Regina, keduanya bergegas menuju ke ruangan kerja Seno. Setibanya di dalam Regina duduk di sofa, sementara Seno melepas jasnya dan menaruhnya di sandaran kursi kerja. Setelah itu pria berkemeja putih itu berjalan menuju sofa dan duduk di sebelah Regina.

"Ada apa, Ma?" tanya Seno. Sejujurnya ia masih malas untuk bicara dengan ibunya.

"Seminggu lagi mama sama papa mau pergi ke Australia. Biasa urusan bisnis, itu sebabnya mama ingin kamu segera menikah sebelum kami pergi." Seno diam setelah mendengar apa yang sudah ibunya katakan.

"Apa hubungannya mama sama pernikahan Seno. Lagi pula Seno bisa menikah setelah mama sama papa pulang," ungkap Seno.

"Seno, harus berapa kali mama bilang. Mama sama papa tidak akan pernah setuju kamu menikah dengan wanita itu. Di luar sana masih banyak wanita yang lebih baik dari dia. Jadi mama mohon kamu turuti permintaan kami, anggap ini permintaan terakhir dari kami." Regina menghembuskan napasnya setelah mengatakan hal itu.

Seno terdiam sejenak, jujur ia merasa gelisah setelah mendengar apa yang ibunya ucapkan itu. Terlebih saat mendengar jika itu adalah permintaan terakhirnya, ada rasa khawatir menyelimuti hati Seno. Pria berkemeja putih itu menghembuskan napasnya lalu mengendurkan dasinya yang terasa mencekik leher.

"Baik, Ma. Seno akan turuti permintaan, Mama sama papa," putusnya. Entah terpaksa atau tidak, yang jelas Seno akan menuruti permintaan orang tuanya itu.

Regina tersenyum. "Terima kasih ya, Sayang."

Seno hanya menganggukkan kepalanya, otaknya harus bekerja extra. Ia harus memikirkan harus menikah dengan siapa, tidak mungkin dengan Cristie. Itu sangat mustahil, terlebih sampai saat ini Seno tidak tahu kabar dari kekasihnya itu. Jujur, andai saja Cristie ada di Indonesia, pasti Seno akan memaksa untuk menikahinya, meski harus bertentangan dengan keinginan kedua orang tuanya.

"Ya sudah, mama pulang dulu ya." Regina bangkit dari duduknya, dan setelah berpamitan. Perempuan berusia empat puluh lima tahun itu bergegas keluar dari ruangan putranya itu.

Setelah ibunya pulang, Seno menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Pria berkemeja putih itu memijit pelipisnya yang terasa sedikit pusing. Bukan hanya pekerjaan yang harus ia pikirkan, tetapi desakan orang tuanya yang meminta agar dirinya segera menikah. Seno menghembuskan napasnya, lalu mengambil ponselnya untuk menelpon Bima.

[ Bima, cepat datang ke ruanganku ]

[ Ok ]

Setelah itu Seno meletakkan ponselnya di atas meja. Ia kembali menyenderkan kepalanya di sandaran sofa. Matanya menatap langit-langit ruang kerjanya. Seno berharap semoga nanti Bima bisa membantu untuk mencari solusi. Seno benar-benar sudah dibuat stres oleh orang tuanya sendiri. Mikirin pekerjaan saja sudah pusing, malah ditambah lagi.

***

Pukul delapan malam Seno keluar dari kantor, pria berjas itu akan pergi ke suatu tempat di mana Bima menyuruhnya. Tidak sia-sia Seno meminta bantuan dari Bima, meski terdengar sangat konyol. Namun Seno akan melakukannya, ia berharap semoga ide Bima tidak mengecewakan. Setelah hampir satu jam dalam perjalanan, kini mobil BMW i8 berwarna putih sudah berhenti di pelataran rumah.

Seno turun dari mobil, ia melihat sekeliling rumah nampak sepi. Setelah membenarkan jasnya, Seno melangkah menuju teras rumah minimalis tersebut. Pria berjas itu kini sudah berdiri di depan pintu, tidak ingin menunggu lama lagi. Seno segera memencet bel rumah tersebut. Tak lama kemudian, pintu rumah terbuka.

"Tuan, Seno ya," terka seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh lima tahunan itu.

"Iya, apa benar ini rumah .... "

"Benar sekali, Tuan. Silahkan masuk," potong perempuan itu yang tak lain adalah Ranti.

Seno mengernyit heran. "Baik, terima kasih."

Seno masuk ke dalam mengikuti langkah perempuan tersebut. Setibanya di dalam Ranti menyuruh Seno untuk duduk di sofa. Pria berjas itu segera menjatuhkan bobotnya di atas sofa. Sementara yang menyuruhnya untuk duduk masuk ke dalam, entah apa yang tengah dilakukannya. Selang beberapa menit kemudian Ranti keluar.

"Apa benar kalau anda akan menjual seorang gadis dengan harga lima ratus juta?" tanya Seno tanpa basa-basi.

"Benar, Tuan. Apa, Tuan akan .... "

"Apa gadis itu masih suci," potong Seno dengan cepat.

"Masih, Tuan. Saya jamin, Tuan tidak akan kecewa, dia cantik, dan juga pintar," jelas Ranti.

Seno manggut-manggut. "Ok, saya akan bayar dengan harga satu milyar."

Mata perempuan itu membulat sempurna. "Yang benar, Tuan. Tu-Tuan akan membayarnya satu milyar."

"Iya, sekarang saya ingin melihatnya," ujar Seno. Jujur ia merasa penasaran dengan gadis itu.

"Baik, Tuan. Sebentar saya panggilkan dulu." Ranti beranjak dari duduknya dengan sedikit terburu-buru.

Seno menghembuskan napasnya, ia melirik arloji di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan sikap sembilan malam. Sementara itu, setelah menunggu sepuluh menit. Perempuan itu berjalan menuju ruang tamu dengan membawa seorang gadis.

"Silahkan, Tuan. Saya yakin, Tuan tidak akan kecewa." Ranti mempersilahkan Seno untuk melihatnya

Mata Seno beralih menatap gadis yang berdiri di dekat sofa. Pria berjas itu mengamati gadis di hadapannya itu dengan seksama. Sementara si gadis hanya menundukkan kepalanya, dengan memainkan jemarinya. Seno dapat melihat jika gadis di hadapannya tengah gelisah, tegang dan mungkin khawatir.

"Bagaimana, Tuan?" tanya Ranti dengan sangat antusias.

"Baik, saya akan membelinya." Seno menyerahkan sebuah cek kepada Ranti.

"Terima kasih, Tuan." Ranti mencium cek tersebut dengan raut wajah yang terlihat sangat bahagia.

"Hanum, sekarang kamu ikut dengan dia. Karena dia sudah membelimu, jadi kamu bisa angkat kaki dari rumahku." Ranti mendorong tubuh Hanum dengan sedikit keras.

"Hanum tidak mau, Tante. Kenapa, Tante tega menjual Hanum, apa salah .... "

"Salahmu itu banyak, kamu sudah membebani hidupku. Seharusnya kamu ikut orang tuamu saja ke neraka. Sudah, sekarang kamu pergi sana." Ranti beranjak pergi meninggalkan Hanum dan Seno.

Hanum menatap wajah pria di hadapannya itu dengan rasa takut. Dengan penuh keberanian, Hanum melangkahkan kakinya berniat untuk menghindari pria itu. Namun niatnya terhenti saat Seno mencekal pergelangan tangan Hanum. Wanita berhidung mancung itu meringis kesakitan, lantaran cekalan tangan Seno terlalu keras.

"Mau kemana kamu hah." Seno menarik tangan Hanum dengan keras.

"Maaf, Tuan. Saya tidak mau ikut dengan, Tuan. Saya .... "

"Heh, aku sudah membelimu dengan harga yang tidak sedikit. Jadi sekarang kamu harus ikut denganku." Seno memotong ucapan Hanum.

"Tolong, Tuan. Jangan bawa saya, saya janji akan mengganti uang yang .... "

"Kamu bilang apa?! Mau menggantinya, kamu pikir uang satu milyar itu sedikit. Lebih baik sekarang kamu ikut denganku, karena aku tidak suka dengan penolakan." Seno menarik pergelangan tangan Hanum dan menyeretnya keluar dari rumah tersebut.

Hanum berusaha untuk bisa lepas, tetapi tenaga Seno jauh lebih kuat. Ia tidak menyangka jika Ranti tega menjualnya. Padahal selama ini Hanum giat bekerja untuk bisa membantu perekonomian tantenya. Setiap gaji yang Hanum terima, selalu Ranti yang menguasainya. Wanita berhidung mancung itu hanya bisa pasrah dengan takdirnya itu.

avataravatar
Next chapter