webnovel

COKLAT

Seketika aku langsung melirik ke arah jam dinding dan langsung menepuk jidatku sendiri. "Ya ampun, ini sudah jam 1 sepertinya mama tidur terlalu lama," ucapku dengan suara sedikit lirih.

"Tidak apa, sepertinya mama lelah." Hana sedikit memberikan senyuman dan mengusap-usap pipiku.

Aku membalas senyuman itu. "Iya sepertinya mama memang agak lelah," ucapku sambil menatap keenam anak-anakku.

"Mama, kami buatkan coklat untuk mama." Hani memberikan senyuman manis padaku.

"Oh ya? Tumben mama di buatkan coklat?" tanyaku pada anak-anak.

"Iya karena hari ini mama tidurnya terlalu lama," jawab Doni sambil sedikit tertawa.

Cukup lama kami bercakap-cakap seperti ini, lalu kami melangkah menuju ruang makan.

Sampai di dalam ruang makan. Kami langsung duduk di kursi masing-masing, dan mengambil menu makanan sendiri di atas meja makan.

Hari ini bi Ika memasak banyak menu makanan, dan semua makanannya sangat bergizi semua. Aku dan keenam anak-anakku makan dengan sangat lahap, kami juga menikmati makan siang tanpa membahas apapun.

'Akhirnya perutku sudah tidak merasakan keram lagi,' batinku setelah sedikit lagi menghabiskan makan siangku.

Selang beberapa saat kemudian. Kami semua selesai makan siang bersama, lalu kami keluar dari ruang makan dan melangkah menuju ruang keluarga.

Sampai di ruang keluarga. Kami duduk di sofa masing-masing, hari ini keenam anak-anakku seperti sedang memperhatikan diriku.

Aku sangat menyukai tingkah mereka seperti ini, sepertinya anak-anak sudah mulai dewasa. Mereka juga sudah menyiapkan beberapa coklat di atas meja, yang katanya coklat ini buatan mereka.

"Mama cicipi coklatnya ya," ucapku sambil mengambil salah satu coklat yang sudah ada di dalam toples berukuran sedang.

"Silahkan mama, cicip yang banyak." Winda bergelayut manja di lenganku membuatku sangat gemas padanya.

Winda yang terkadang masih suka sulit mengatur emosinya, membuatku harus ekstra sabar dan hati-hati saat bersamanya. Namun, aku juga tidak pernah membeda-bedakan keenam anak-anakku.

Keenam anak-anakku selalu mendapatkan perhatian yang sama sedari kecil hingga sekarang, aku dan Yunki juga tidak pernah membeda-bedakan mereka.

Karena menurutku dan menurut Yunki, keenam anak-anak kami semuanya sama. Mereka semua masih seorang anak yang butuh bimbingan kami, dan perhatian ekstra dari kami.

"Enak sekali coklatnya," kataku setelah lima kali memakan potongan coklat yang ada di dalam toples.

"Iya, kak Hana dan kak Hani melihat di YouTube lalu kami mempraktekkan bersama," ujar Wendi sambil menatap semuanya.

"Hana dan Hani adalah kakak yang super super pokoknya," balasku sambil mengacungkan dua jempolku pada Hana dan Hani.

Setelah berbincang hangat antara aku dan keenam anak-anak, akhirnya keenam anak-anakku tertidur pulas. Ada yang tertidur di sofa, ada juga yang tertidur di karpet lantai dengan bahan bulu-bulu halus yang tebal.

Aku hanya bisa tersenyum melihat mereka semua yang bisa-bisanya langsung tertidur pulas. Hana dan Hani tertidur sambil menggenggam salah satu buku pelajaran mereka, dan mereka tertidur di karpet.

Wendi dan Winda tertidur sambil menggenggam mainan, dan mereka tertidur di atas sofa. Untuk Dani dan Doni mereka tertidur sambil menggenggam sebuah ciki di tangannya masing-masing, mereka tertidur di karpet.

"Kalian ini benar-benar energi untukku, kalian penyemangat hidupku," gumam aku sambil tersenyum.

Tidak lama kemudian. Dering ponselku berbunyi membuatku sedikit terkejut, karena aku sedang menatap anak-anak tapi ponselku begitu nyaring.

Dengan cepat, aku langsung mengambil ponselku dan langsung menjawab telepon itu.

"Halo, suamiku sayang!" sapa aku setelah menjawab telepon.

"Sayang, kenapa kamu tidak ada di kantor?" tanya Yunki yang tidak membalas sapaan aku.

Saat ini yang menelepon ke nomor ponselku adalah Yunki, dan dia juga langsung menanyakan diriku kenapa tidak ada di kantor.

Seketika aku terdiam dan berpikir, haruskah aku memberitahu yang sebenarnya pada suamiku? Ah, tapi aku tidak ingin membuatnya khawatir.

"Halo, sayang!" Yunki kembali memanggil diriku.

"Oh, iya sayang?"

"Kamu lagi di mana?" tanya Yunki dengan suara khawatir.

Karena aku tidak ingin membuat Yunki khawatir, aku langsung menjawab pertanyaannya. "Aku ada di rumah sayang, tadi aku sengaja mau makan siang sama anak-anak. Eh, aku ketiduran jadi makan siangnya telat. Lalu, sekarang anak-anak malah tertidur semuanya di ruang keluarga."

Akhirnya aku hanya menceritakan semua ini saja, tidak menceritakan tentang kerannya perutku. Aku mulai membohongi suamiku, semoga saja Yunki tidak pernah mengetahui hal ini.

Intinya, semoga saja masalah keram perut tidak terjadi lagi dalam waktu dekat ini. Aku tidak ingin kebohongan aku di ketahui oleh suamiku, nanti Yunki akan berpikir yang tidak-tidak tentangku.

"Sayang," panggilku setelah menjelaskan semuanya pada Yunki, tapi dia tidak ada suara apapun.

"Jauhkan ponselmu dari telinga, dan aku sudah mengubah panggilan menjadi video call," ucap Yunki dengan tegas.

Sudah terlihat jelas dari suara Yunki yang memang mengkhawatirkan diriku, dia juga langsung memilih video call dari pada telepon biasa.

Aku langsung menjauhkan ponselku dari telinga dan menatap layar ponselku. Sudah terlihat jelas wajah tampannya Yunki di dalam layar itu, tapi wajah tampannya malah di teguk seperti itu.

"Sayang, kenapa wajahmu begitu?" tanyaku yang langsung mengikuti wajah seperti Yunki, di tekuk.

"Aku khawatir padamu," jawab Yunki dengan lesu dan mengerucutkan bibirnya.

"Haha, kamu lucu sekali sayang." Akhirnya tawaku pecah saat melihat Yuni seperti itu.

Seketika beberapa anakku sedikit menggeliat saat mendengar suara tertawaku, aku langsung merapatkan bibirku dan menghentikan tawaku.

Aku tidak ingin membuat anak-anakku langsung bangun hanya dengan tertawaku, lalu aku mengubah kamera video call menjadi kamera belakang agar Yunki bisa melihat seluruh anak-anak yang sedang terkapar di sofa dan karpet.

Sungguh, anak-anak kami seperti habis perang dengan sesuatu dan akhirnya mereka menyerah sebelum waktunya. Saat aku melihat layar ponselku ternyata Yunki sedang tertawa, tapi tawanya tidak terlalu keras.

Terlihat jelas dari perubahan ekspresi wajahnya, dia hanya bisa tertawa lepas saat melihat anak-anaknya. Sama seperti diriku, aku juga akan seperti itu.

"Sayang, sebaiknya kamu tidak perlu kembali ke kantor dan istirahat aja dengan anak-anak," ucap Yunki setelah puas melihat anak-anaknya.

"Oh gitu? Ya sudah aku di rumah saja," kataku yang sedikit akting di depannya.

Sungguh, bukan keinginan diriku yang ingin berakting seperti ini. Hanya saja, aku tidak ingin membuat Yunki jadi berpikir aneh-aneh lagi. Kali ini pasti aku akan menyesali semua kebohongan ini pada suamiku, tapi mau bagaimana lagi.

"Iya istirahat aja sayang, aku juga akan pulang cepat karena sepertinya ada cemilan yang menggiurkan," celetuk Yunki yang sepertinya melihat toples sedang yang berisikan coklat.

"Iya benar, ini ada cemilan coklat. Coba tebak siapa yang membuat semua ini?" tanyaku.