1 Prolog

"Mah. Bolehkah aku memilih semuanya?" Seorang anak kecil berteriak meminta kue.

"Justin. Sebaiknya pilih salah satu saja, ya?" Suara lembut dan hangat menenangkan anak itu.

"Tapi, Mah ... aku suka cokelat, vanila, stroberi, blueberi, dan keju," rengek anak kecil itu.

"Oh, Sayang," wanita itu tersenyum, "Mamah nggak mau kamu sakit gigi. Apa kamu mau kehilangan gigi lagi?"

"Tidak, Mah. Oke ... tidak jadi saja."

"Benarkah? Tapi kamu masih bisa memilih salah satunya lho. Cokelat atau vanila?" tanya wanita itu.

"Emmm. Karena Mamah suka cokelat, aku mau kue coklat buat Mamah." Anak laki-laki itu tersenyum.

"Tante juga suka cokelat. Nanti bagi ke Tante juga, ya?"

Anak kecil itu mengangguk. "Ya, Mah."

"Baiklah kalau begitu. Mbak, tolong dua kue cokelat, ya? Kami mau membawanya pulang," pinta wanita itu.

"Baik, Bu. Tunggu sebentar!"

Setelah mendapatkan kue, wanita cantik dan putranya kembali ke rumah mereka. Senyum lebar terpancar dari wajah anak laki-laki itu. Pipinya yang tembem membuat beberapa orang ingin mencubitnya. Mata birunya yang indah mampu menenangkan orang yang melihatnya.

"Mah. Kapan kita bisa pergi ke pantai? Aku ingin bermain di sana bersama Farhan," tanya anak kecil itu.

Sang ibu tersenyum. Mereka sedang dalam perjalanan pulang, berjalan beriringan sembari berpegangan tangan.

"Emmm. Mungkin suatu hari nanti setelah Mamah menyelesaikan gaun pesanan ya." Sang ibu menjawab.

"Benarkah? Baiklah. Kalau begitu, aku akan menunggu." Justtin terlihat sangat bahagia.

"Tentu. Sabar saja ya, Sayang."

"Iya, Mah."

Keduanya kini tiba di depan rumah mereka. Desain rumahnya simpel dengan cat biru. Rumah mereka hanya memiliki satu lantai. Ada sebuah papan nama di sisi kanan rumah yang bertuliskan 'Dewi Tailor'.

Wanita itu membuka pintu. Justin langsung berlari ke kamarnya untuk meletakkan tas. Mereka hanya tinggal berdua di rumah itu. Kemudian kue cokelat tadi diletakkan di atas meja. Wanita itu berjalan keluar dan melihat tetangganya dari pintu samping. Kemudian ia berjalan melewati halaman dengan membawa kue tersebut.

"Sarah. Dimana Farhan?" serunya.

Seorang wanita cantik berjilbab menatap wanita itu yang merupakan tetangganya. Dia sedang mengemasi bunga untuk para pelanggan.

"Ah. Juwita. Kayanya dia sedang bermain di dalam. Mau aku panggilkan?" tanya wanita bernama Sarah.

"Nggak. Nggak usah. Ini. Aku hanya ingin membagi kue ini untukmu dan anakmu." Wanita bernama Juwita itu memberikan kue cokelat untuk tetangganya.

"Oh. Terima kasih, Ta." Sarah menjawab sembari menerima kue tersebut.

"Mamah!" Justin berteriak dari pintu. Kemudian dia berlari ke arah ibunya.

"Tante. Tante suka kuenya?" tanya anak kecil itu.

"Ya. Tentu saja Tante suka. Terima kasih, ya, Justin." Sarah tersenyum sembari menepuk lembut kepala Justin.

"Sama-sama, Tante ... Sebenarnya itu ucapan terima kasihku untuk Farhan. Dia udah menolongku kemarin."

"Oh ...."

"Jadi. Dimana Farhan, Tante Sarah?"

"Dia ada di dalam. Masuk saja dan temui dia." Sarah menunjuk pintu rumahnya yang terbuka.

"Terima kasih, Tante!"

"Dia sangat imut, Ta. Sama sepertimu." Kue cokelat itu diletakkan di atas meja. Sarah mempersilakan Juwita duduk di bangkunya.

"Sarah. Apa yang harus aku lakukan? Kemarin Justin bertanya tentang ayahnya." Juwita menatap wajah Sarah.

Sarah melihat kembali ke wajah sahabat tercintanya. Wanita cantik itu terlihat begitu tegar di luar, tetapi hatinya telah merasakan kehancuran. Sarah bisa tahu dengan melihat matanya. Dia adalah saksi hidup sahabatnya. Mereka adalah sahabat terbaik selama ini.

"Juwita Mahadewi. Kamu punya cara sendiri untuk menjelaskannya. Dan ketika anakmu bertanya tentang ayahnya, kamu bisa memberitahukannya. Jangan sembunyikan cerita yang sebenarnya. Suatu saat nanti da pasti tahu ayahnya meski itu sulit untukmu. Tapi, jika kamu belum siap, kamu bisa memberinya pengertian untuk menunggu." Sarah tersenyum hangat.

"Tapi ... aku sudah memberitahunya bahwa ayahnya meninggalkan kami ketika dia masih kecil." Juwita melihat jari-jari kakinya.

"Apa?"

"Ya. Aku sudah berbohong. Aku hanya nggak ingin Justin bertemu dengannya. Dia sangat jahat padaku. Bahkan keluarganya membenciku." Juwita bergumam.

"Oh. Tata ...." Sarah memberikan pelukan hangat untuk sahabatnya itu.

"Hanya kamu yang bisa aku percaya, Sarah. Kamu selalu ada di sisiku saat aku terpuruk." Juwita menyeka air matanya yang hampir keluar.

"Tidak, Tata. Kamu sudah seperti adik berhargaku yang pernah kumiliki."

"Terima kasih, Sarah."

"Sekarang. Kamu harus melangkah maju! Lupakan pria itu. Justin membutuhkanmu. Jika kamu membutuhkan bantuan, aku akan ada di sini untukmu." Sarah tersenyum lagi.

"Terima kasih banyak, Sarah. Terima kasih banyak."

"Sama-sama, Ta."

.

.

.

Tugas matahari telah digantikan oleh bulan. Justin sedang duduk di depan televisi. Program itu sepertinya sudah tak menarik lagi. Anak itu kemudian berjalan mendekati ibunya.

"Mamah."

"Iya?" Juwita menghentikan aktivitasnya menjahit gaun.

Justin lalu duduk di depan ibunya.

"Apa Papah benar-benar meninggalkan kita?" Justin menatap sang ibu dengan tatapan yang sendu.

Juwita menoleh menatap putranya. "Seperti yang Mamah katakan sebelumnya, Justin."

"Yah ... aku ingin tahu bagaimana Papah. Apakah dia tampan?"

Sang ibu tersenyum. Ia mendekati putranya dan memeluknya dengan lembut.

"Ya. Dia sangat tampan. Matanya sebiru matamu. Dan rambutnya sama hitamnya dengan rambutmu," bisiknya di telinga putranya.

"Benarkah? Jadi ... aku juga tampan?"

"Ya. Kamu sangat tampan."

"Emmm. Jadi Mah ... Kenapa Papah meninggalkan kita?" Pertanyaan ini mengejutkannya.

"Itu ... Itu karena ... Ada sesuatu yang buruk terjadi."

"Apa itu?"

"Emmm. Mamah akan menjelaskannya saat kamu dewasa nanti. Sekarang, kamu harus pergi ke tempat tidurmu! Ini sudah malam. Ya, Sayang?"

Juwita membawa putranya ke kamarnya. Tak lama kemudian, Justin tertidur. Wanita itu menemaninya di sisi tempat tidurnya. Dia menatap putranya, membelai kepalanya dengan lembut. Baginya, Justin adalah satu-satunya hal berharga yang ia miliki. Kasih sayangnya hanya untuk Justin.

Sebuah kalung ada di leher jenjangnya. Juwita menatap permata biru pada bandul kalung itu. Kembali, ia teringat akan suami tercintanya di masa lalu. Pria tampan dengan mata biru dan rambut hitam seperti putranya. Sekali lagi, dia ingat akan rasa sakit hatinya. Fitnah dan tidak adanya rasa percaya telah menyakitinya.

'Maafkan Mamah, anakku. Mamah nggak ingin kehilangan kamu. Nggak mau. Maaf jika Mamah belum bisa membahagiakanmu. Tapi Mamah benar-benar menyayangimu, Justin.'

Dalam keheningan malam, Juwita diam-diam menangis. Wanita cantik itu telah berjuang keras demi keluarga satu-satunya yang ia miliki. Justin seperti sebuah harta karun baginya. Ia tak akan pernah membiarkan dia pergi meninggalkannya.

***

avataravatar
Next chapter