1 Keluarga Mafia Osbart

Siapa yang tidak kenal keluarga Osbart yang sedang berada di puncak kejayaannya? Wilayah yang mereka kuasai semakin tahun semakin meluas, dan mereka sangat disegani oleh semua kalangan mafia di Italia dan benua Eropa.

Keluarga mafia Osbart dipimpin oleh Marco dan Gabriella Osbart yang memiliki dua anak laki-laki. Hidup mereka damai bergelimang kemewahan dan jauh dari konflik. Hari ini adalah perayaan ulang tahun pernikahan ke-25 pasangan serasi itu.

Di tengah ballroom hotel. Kue ulang tahun tertata tujuh tingkat dan orang-orang tampak bersuka cita merayakan hari bahagia pemimpin mereka.

Pasangan suami istri Osbart siap memotong kue diiringi dengan eluan semua orang yang hadir, juga kedua putra mereka.

Sementara itu, di luar hotel, para pengawal yang berkhianat mulai saling melemparkan kode dengan mata juga hitungan jari. Tidak berapa lama empat minibus hitam berhenti di depan hotel.

Di dalamnya semua orang mengenakan topeng berwarna hitam. Dengan cepat mereka berlari turun lalu menaiki anak tangga. Para pengawal yang tidak berkhianat mencoba melindungi pintu itu agar tidak terbuka hingga akhirnya terjadilah perang senjata.

Di dalam ballrooom, kue paling tinggi baru saja terpotong dengan penuh suka cita. Di saat semua orang bertepuk tangan meriah, tiba-tiba saja dari pintu luar terdengar teriakan tidak jelas. Seperdetik kemudian berondongan peluru membuka paksa pintu kayu lebar itu. Belum sempat mereka mengelak, berondongan peluru kembali menghujam para tamu yang hadir.

Seketika suasana menjadi tidak terkendali saat pandangan Xavier tertuju pada kedua orang tuanya. Di sana hujan peluru laras panjang kembali menghujam ayahnya yang mencoba melindungi sang istri.

"Ayah!" Xavier berteriak keras sambil berlari ke arah orang tuanya.

Elleard yang melihat senjata dari lawannya terarah pada punggung adiknya, segera ikut berlari untuk melindungi punggung Xavier.

DORR!

Satu timah panas tepat bersarang pada pinggangnya, kemudian disusul peluru yang lain yang juga membantai ibunya. Elleard jatuh bersama Xavier dalam dekapannya hingga kesadarannya menghilang.

***

Empat tahun setelah pembantaian itu. Elleard koma dan Xavier terpuruk dalam ketakutan menjadikan ia hidup, bernapas tetapi bagaikan robot. Mimpi-mimpi buruk akan kejadian itu terus menghantui tidurnya.

Ini adalah hari pertama Elleard bisa melihat tempat peristirahatan terakhir kedua orang tuanya.

Elleard tidak bisa menyembunyikan rasa sakitnya saat ia terbangun tiga bulan lalu dan menerima kenyataan bahwa tubuh bagian bawahnya tidak bisa digerakkan. Elleard sempat menyesali kenapa ia harus bertahan hidup, kenapa alat-alat bodoh itu harus mempertahankan napasnya.

Saat Elleard tahu keadaan mental adiknya, di sana ia baru menyadari bukan hanya dia yang sulit bertahan hidup. Xavier juga mengalami penderitaannya sendiri. Mungkin anak itu terlihat kokoh dari luar tapi jiwanya sakit.

Elleard pernah melihat bagaimana Xavier terbangun dari tidur dengan wajah pucat dan langsung menggenggam senjata seakan ia akan menembak siapa pun yang ada.

Seumur hidup dihantui oleh ketakutan membuat Xavier merasa semua orang adalah lawan dan akan menembaknya kapan pun. Ia tak pernah tidur tanpa membawa senjatanya.

***

<Kompleks Pemakaman Angelo>

Tiga mobil hitam berbaris nasuk ke area pemakanan. Masing-masing mobil berpenghuni empat Orang. Semuanya keluar membuat barisan dan barulah Xavier keluar. Ia lalu membuka pintu bagi Elleard. Tidak berapa lama satu orang pengawal membawa kursi roda dan meletakkannya di dekat pintu mobil.

Sekalipun payah untuk duduk di kursinya. Elleard tetap meyakinkan ia bisa. Dengan dibantu sedikit oleh Xavier akhirnya ia duduk. Elleard tidak ingin merasa berbeda ia ingin memperlihatkan pada siapa pun bahwa ia mampu.

Setiap langkah kaki yang Xavier ambil penuh dengan luapan emosi. Rahangnya terus mengeras melihat kakaknya karena ingatan di malam itu akan kembali di benaknya. Setiap suara tembakan, juga jerit kesakitan semua orang dan kedua orang tuanya akan membayangi langkahnya.

Ia tidak dapat melupakan genangan darah membanjiri jas putih yang ia kenakan sampai perlahan semuanya mengabur.

"Bunga, Tuan?" Seorang gadis muda memberanikan diri menghampiri rombongan itu dan menjajakan bunganya. Ia segera menjerit kesakitan ketika Xavier menarik lengannya dengan kasar. "Aaa… sakit!"

"X!" Panggil Elleard.

Tadi saat Elena tiba-tiba mendekat, Xavier segera mencengkram lengannya secara refleks. Ketakutan kehilangan semua yang ia sayangi menjadikan Xavier selalu waspada di mana pun ia berada. Bahkan jika Xavier memejamkan matanya untuk tidur, sesungguhnya telinga dan tanganya selalu siaga.

"Dia hanya penjual bunga," kata Elleard lagi.

Elena masih meringis, pergelangan lengan kecilnya layaknya ranting dalam telapak tangan Xavier. Tatapan lelaki itu masih menghunus mata bulat Elena yang menahan sakit. Lantas dengan hentakan Xavier menghempas pergelangan tangan Elena.

"Bunga ini masih sangat segar, aku yakin mereka yang tinggal di sini akan sangat suka jika rumah terakhir mereka indah oleh bunga," lanjut Elena tanpa gentar.

Bukan ia tidak takut pada tatapan Xavier saat ini, tetapi di ujung toko ada bibinya yang terus melihat ke arah mereka dengan pandangan tajam. Elena harus berusaha sekeras mungkin agar bunganya laku, jika tidak ingin merasakan tongkat sekop bunga melayang pada kepalanya.

Elena sudah tidak memiliki orang tua sejak kecil dan sekarang ia hanya tinggal dengan bibi dan dua sepupunya, Maria dan Laura. Elena harus mencari uang sebanyak mungkin jika ia ingin tetap tinggal di rumah itu atau memilih terlunta-lunta di jalan.

"Bunganya sangat segar," kata Ellena lagi, dengan nada memohon. Elleard melirik ekor mata Elena yang melihat toko bunga di ujung jalan. Di sana bibinya terlihat seperti akan menghajarnya jika bunga yang ia bawa tidak laku satu pun.

Elleard tersenyum tipis. "Aku borong semua bunganya!"

Mata bulat Elena langsung bersinar melihat Elleard. "Benarkah, Tuan? Terima kasih. Semoga Tuhan selalu memberkati Anda."

Elena segera merapikan keranjang yang ia bawa beserta semua bunganya.

Xavier menjentikkan tangan. Satu orang maju menerima semua bunga yang Elena berikan lantas memberinya uang.

"Sebentar, saya ambil kembalian," ucap Ellena. Ia siap hendak berlari ke toko bunga untuk mengambil uang.

"Tidak usah, simpan kembaliannya untukmu. Semoga Tuhan juga memberkati harimu," ucap Elleard.

Elena kembali tersenyum, dan Xavier menggeram rendah di balik tatapan mata tajamnya, di balik kaca mata hitam. Rombongan itu berlalu mulai memasuki area pemakaman. Sedangkan Elena harus segera berlari ke toko bunga karena bibinya sudah pasti menunggu uangnya datang.

Baru saja sampai. Tas kecil Elena langsung dirampas bibinya.

"Bawa sini! Lama sekali kau jalan. Astaga…" Bibi Ursula mengipas ngipas uang lantas berjalan masuk untuk duduk.

Elena melihatnya sambil mencari gelas untuk minum. Ia belum makan dari pagi dan menelan ludahnya melihat dua anak bibinya sedang makan siang begitu lahapnya.

Bisakah siang ini ia mendapat makan, tidak harus menunggu malam? Tadi kalau saja bibinya tidak melihat Elena mendapatkan uang itu, ia pasti bisa mengambil kembalian sebagai uang sakunya. Paling tidak ia bisa membeli makanan di luar saat bibinya memerintahkan ia untuk keluar rumah.

"Perutku sakit, aku belum makan," Elena berkata ragu-ragu. "Bolehkah aku makan?"

Bibinya tersenyum lebar. "Karena kau dapat uang hari ini, dan itu cukup untuk makan siang, kau boleh makan tapi tunggu setelah kedua anakku yang cantik itu selesai makan."

Elena melihat kedua anak gadis bibinya yang sedang rakus menjejali makanan dalam mulutnya. Sepertinya mereka sengaja tidak ingin menyisakan apa-apa agar Elena tidak kebagian makan.

Gadis itu hanya bisa menatap kedua sepupunya dengan pandangan sedih.

avataravatar
Next chapter