16 Kamar Baru Elena

Keduanya sampai di depan pintu lift. Satu orang pengawal Elleard menekan tombol. Setelah lift terbuka, Elena berjalan masuk ke dalamnya, mengikuti gerakan kursi roda Elleard.

Walaupun ia sangat kagum dan terkesan melihat rumah yang memiliki lift, Elena berusaha bersikap biasa saja. Ia tidak ingin terlihat bodoh dengan ternganga.

Saat di dalam lift, Elena dan Elleard berdiri di belakang, sedangkan di depan mereka ada dua orang pengawal. Sikap mereka yang tampak kaku dan tangan mereka yang memegang senjata mereka membuat Elena keheranan. Apakah Elleard tetap harus dijaga walaupun di dalam rumahnya?

DING!

Pintu lift terbuka di lantai tiga, tidak berbeda jauh dengan di lantai satu, hanya saja di sini nuansa ruangan lebih terang dengan sentuhan putih pada sofa dan lantainya. Dua orang tadi sudah tidak mengikuti Elleard. Mereka berdiri di depan lift dan menunggunya.

Elleard membawa Elena ke ruangan di ujung lorong. "Ini kamarmu, beristirahatlah. Jika kau membutuhkan apa pun kau bisa mengatakannya kepadaku."

Elleard hendak meninggalkan gadis itu setelah menunjukkan Elena kamarnya.

"Tuan!" Elena menahan Elleard. "Rumah ini, orang-orang yang ada di dalamnya masih asing bagiku. Anda bisa menemaniku sebentar? Sampai aku terbiasa."

Elleard melihat jam tangannya. "Hanya sebentar. Aku masih ada urusan."

"Baiklah." Elena masih diam mematung.

"Buka pintu kamarmu, Elena!" perintah Elleard.

Sedikit ragu Elena perlahan menjangkau gagang pintu kamarnya yang seperti berlapis emas. Perlahan Elena mendorong pintu yang terasa begitu kokoh di tangannya. Pintu bergerak halus, walaupun bahannya dari kayu tebal yang sangat berat.

Ketika pintu terbuka lebar, Elena tertegun melihat kamar sangat luas yang terpampang di hadapannya.

Ruangan itu sangat feminin dengan tempat tidur cantik empat tiang dari kayu jati berhiaskan ukiran berbalut emas. Ada tirai di keempat tiangnya berwarna biru muda dengan seprai dan selimut sutra yang terlihat sangat lembut.

Di sebelah tempat tidur ada jendela besar dari lantai ke langit-langit yang membuka ke balkon besar dengan sofa beludru biru yang terlihat sangat nyaman, dan seperangkat meja kecil untuk minum teh atau membaca santai.

Di sebelah tempat tidurnya ada meja rias kayu dan kaca yang terlihat sangat elegan. Lantai kayu yang mengkilap dihiasi sebuah karpet lembut yang sangat tebal. Ketika ia melangkahkan kakinya ke atas karpet, Elena merasa seolah menginjak awan. Lembut sekali.

Elena hanya pernah melihat kamar seperti ini di dalam majalah-majalah mode ternama dan ia sama sekali tak menyangka suatu hari ia akan tinggal di kamar seperti ini.

"Aku bukan putri raja, Tuan." Ujar Elena. Mataya terus berkeliling menyapu setiap lekuk ruangan ini. "Ini seperti kamar seorang putri."

"Kau tidak suka?" tanya Elleard.

"Aku rasa tidak ada gadis yang tidak suka kamar semanis ini."

"Good!" ujar Elleard. Ia telah meminta seorang desainer interior ternama menyiapkan kamar ini dengan cepat. Dalam perintahnya, ia hanya menyebutkan kamar itu harus dapat membuat seorang wanita muda terkesan. Ia puas melihat reaksi Elena saat ini.

Elena melangkahkan kakinya dengan ragu-ragu memasuki kamar itu dan meraba setiap kain, sofa, gorden, dan bahkan dindingnya. Semua ini terasa tidak nyata. Elleard mendeham dan memiringkan kepalanya ke arah kanan mereka.

"Kau mau lihat kamar mandi dan walk-in closetnya?" tanya pria itu.

Elena mengangguk malu-malu. Elleard menggerakkan kursi rodanya ke sebelah kanan, diikuti oleh Elena. Pintu geser besar berwarna abu-bu bergerak otomatis membuka ke kiri dan memperlihatkan sebuah ruangan yang sangat besar di baliknya.

Walk-in closet itu memiliki sangat banyak rak dan tempat penyimpanan yang sudah terisi sebagian dengan pakaian, sepatu, dan aksesories wanita. Di tengahnya ada sebuah sofa yang nyaman dengan meja kecil yang dilengkapi dengan gelas champagne.

Elena menoleh ke arah Elleard dengan pandangan bingung.

"Ini… untuk apa?" Ia merasa seolah berada di dalam toko pakaian saking besarnya ruangan itu.

"Ini tempat menyimpan pakaian dan aksesories," kata Elleard. Ia menunjuk pada gelas champagne di atas meja. "Aku bisa menemanimu memilih-milih pakaian untuk dikenakan sambil minum champagne."

Perkataannya diucapkan dengan nada datar, seolah ia hanya sedang mengomentari cuaca, tetapi sanggup membuat wajah Elena seketika merona sangat parah.

Apa itu maksudnya… Elleard akan melihatnya berganti pakaian?

"Suami istri melakukan hal itu," kata Elleard mengingatkan Elena bahwa mereka akan segera menikah. "Aku senang memberi pendapatku kepada istriku tentang penampilannya."

Elena menatap pria itu dengan pandangan rumit. Ia mengakui sepertinya Elleard memiliki selera yang bagus, Terlihat dari penampilannya yang selalu santai namun tetap terlihat sangat modis.

Pandangan Elena lalu mengarah pada pakaian-pakaian yang tertata rapi di gantungan dan rak. Apakah Elleard yang memilihkan ini untuknya?

Seolah membaca pikiran Elena, Elleard melambaikan tangannya dan menunjuk ke arah gantungan pakaian, lalu berkata, "Aku memilih sebagian pakaian di sini untukmu. Sebagian lagi, aku meminta beberapa rumah mode ternama mengirimkan koleksi terbaik mereka untuk kau pilih sendiri. Semuanya sudah dalam ukuranmu. Kalau ada yang kau tidak sukai, masukkan saja ke keranjang di ujung ruangan dan mereka akan mengambilnya kembali."

Elena membulatkan matanya saat mendengar ucapan Elleard. Pantas saja walk-in closet ini terlihat seperti toko. Barangnya banyak sekali!!

"Ini… sangat banyak," kata Elena, tertawa canggung. "Bahkan jika aku memakai baju baru setiap hari, rasanya baru bertahun-tahun aku akan selesai memakai semuanya."

"Memangnya kenapa?" tanya Elleard, mengangkat bahu. "Aku tidak pernah memakai baju yang sama dua kali. Kurasa istriku juga pantas mendapatkan privilege yang sama."

Elena mengerjap-kerjapkan matanya keheranan. "T-tapi… polusi… kita sebaiknya jangan terlalu banyak membuang pakaian… itu tidak baik buat alam."

Ia pernah membaca bahwa masalah sampah di dunia sekarang sudah sangat parah. Apalagi ditambah dengan industri fast fashion yang menjual banyak pakaian dengan harga murah dan membuat manusia sering membuang-buang pakaian.

Sekarang ia menemukan seorang laki-laki kaya yang juga membuang pakaiannya setelah sekali pakai walaupun harganya pasti sangat mahal.

Kenapa orang kaya sama sekali tidak peduli dengan bumi? Pikir gadis itu keheranan. Ia menatap pakaian-pakaiannya di walk-in closet itu dan mendesah.

"Aku… tidak perlu banyak pakaian. Aku akan memilih beberapa yang sangat aku suka dan mengembalikan sisanya."

Elleard mengerutkan keningnya. Ekspresi datar di wajahnya berubah menjadi rasa tidak suka.

"Aku tidak mau orang mengira aku tidak memberikan pakaian yang layak untuk istriku," katanya dingin.

"Bukan, bukan itu maksudku…" Elena merasa serba salah. Ia menggigit bibir dan melihat ke arah semua pakaian itu lagi. Mungkin ia terlalu lama menjadi orang miskin sehingga sangat sulit baginya untuk mengikuti jalan pikiran orang kaya.

Tidak ingin Elleard marah kepadanya karena menolak pemberiannya, Elena akhirnya mengangguk. "Aku akan mencoba membiasakan diri. Aku tidak mau membuat Tuan malu."

Elleard akhirnya tersenyum kembali. Wajahnya yang tampan selalu terlihat dua kali lebih menawan jika sepasang bibirnya melengkung ke atas seperti ini. Senyuman pria itu membuat Elena merasa lega.

"Aku harus pergi, Elena," kata Elleard kemudian. Ia menoleh ke arah Elena, menunggu gadis itu menyetujui ucapannya.

"Baiklah, Tuan. Aku akan mencoba terbiasa dengan kamar ini dan kehidupan yang berbeda."

"Aku yakin kau akan menyukainya." Kata Elleard. "Kau pasti lelah setelah melalui hari yang berat seperti tadi. Kau bisa mandi berendam dengan air hangat dan merilekskan diri."

"Terima kasih," kata Elena. Elleard menyentuh lengan gadis itu lalu menepuknya lembut. Kemudian ia memutar kursi rodanya dan berlalu dari kamar baru Elena.

Elena berjalan menemani Elleard hingga pria itu keluar dari pintu. Ia masih terdiam di tempatnya memperhatikan punggung ringkih itu berlalu hingga menghilang di balik pintu lift. Ia merasa Elleard nampak tidak sehat, tetapi pria itu seperti terus menguatkan dirinya sendiri.

Setelah Elena menutup pintu di belakangnya, ia lalu membuka pintu ke kamar mandi dan melihat seperti apa kamar mandi pribadinya. Untuk sesaat ia terpana.

Kamar mandi itu sangat besar. Lantai dan dindingnya terbuat dari pualam berwarna putih gading dengan aksen biru muda. Ada sebuah jacuzzi besar di tengah ruangan dengan shower mewah yang terpisah. Lalu ada sofa dan lemari buku serta meja rias mewah dari kayu kuno.

Di samping jaccuzi ada jendela besar menghadap ke taman bunga yang sangat indah ditutupi oleh krey kayu. Mandi berendam sambil melihat taman yang cantik, ditemani segelas wine dan buku, tentu rasanya akan sangat menyenangkan.

Sepasang matanya telah melihat lemari kecil berisi botol wine dan dua buah gelas. Ahh… apakah ia harus mencobanya? Elena menahan napas, masih merasa takjub ia berada di tempat seperti ini.

Jantungnya seketika berdegup kencang saat menyadari dua gelas wine di dekat jaccuzi yang begitu besar tentu menandakan kemungkinan di masa depan ia akan mandi berendam berdua dengan Elleard sambil menikmati wine bersama.

avataravatar
Next chapter