6 Sesal yang Terlambat

Hari akad berlangsung.

Karena kondisi Mariana yang sudah lemah dan mengkhawatirkan, semua memutuskan akad nikah akan dilangsungkan hari itu di kamar rumah sakit president suite di mana Mariana menjalani perawatan selama ini. Sesuai dengan keinginannya.

Lena dan Viona tidak bisa berbuat apapun sebab mereka harus memahami kondisi Mariana yang sudah dalam kondisi seperti itu. Namun, Viona merasa kesal karena seharusnya ia menikah dengan pesta meriah, bukannya di rumah sakit seperti ini, meskipun sebelumnya sudah diberitahukan akad nikah akan berlangsung di ruang rawat inap Mariana.

Sementara Bayu walaupun pasrah dengan pernikahan itu, sisi lain, ia merasa sedikit lega karena pernikahan itu dilangsungkan tanpa banyak orang atau undangan. Ia berharap, peristiwa sakral ini tidak diketahui siapa pun juga kecuali yang berada di dalam ruangan tersebut.

Viona dengan kebaya putih berenda dan kilauan ornamen mutiara cantik yang membuat dirinya tampak anggun serta menawan, berdiri di ambang pintu ruang rawat inap Mariana. Perempuan yang pandai bermain watak itu menyembunyikan kemarahan dan kekecewaannya dengan senyuman palsu.

Bayu mengenakan kemeja putih tangan panjang yang biasa dipakai bekerja, telah duduk di depan meja berhadapan dengan penghulu.

Mariana tampak cemberut melihat putranya yang tidak menghargai acara sakral tersebut dengan tidak memakai baju pengantin sebagaimana mestinya.

Lena telah berdandan serta mengenakan kebaya yang kemarin dibelinya dari uang pemberian Mariana untuk pernikahan putrinya sementara Mariana duduk di kursi roda dengan wajah pucat pasi, sehelai kain menutupi bagian bawah tubuhnya karena mudah kedinginan.

"Saya terima nikahnya Viona binti Wicaksono dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai sebesar seratus juta rupiah," ucap Bayu mengikuti ucapan sang penghulu. Terdengar datar dan tak acuh. Uang mahar itu pun bukan ke luar dari dompetnya, melainkan sang ibu yang menyediakannya.

"Sah?" Penghulu melihat saksi-saksi yang hadir disitu. Beberapa anggota keluarga almarhum Wicaksono dan dua orang perawat yang diminta khusus untuk menghadiri acara tersebut.

Para saksi mengangguk dan berucap kompak.

"SAH!"

"Sah!"

Mariana tersenyum sambil memanjatkan doa lalu mengusap wajahnya dengan penuh syukur dan sukacita.

Kini Bayu Perdana resmi menjadi suami dari Viona Wicaksono. Secara resmi pula merubah statusnya sebagai duda dan kini sudah menjadi suami dari seorang wanita yang dikehendaki oleh ibunya. Ya, suami dari orang yang tidak ia cintai.

Viona mengusap wajahnya begitu mendengar ucapan sah dari para saksi. Ia menoleh kepada Lena–Ibunya, yang berdiri di samping Mariana–ibu mertuanya. Tampak Viona maupun Lena tidak tersenyum dengan bahagia.

Mereka sangat kecewa dengan mas kawin yang hanya berjumlah seratus juta saja. Seharusnya ia mendapat uang dengan nominal tinggi, bukan hanya seratus juta rupiah. Untuk ukuran Mariana apalagi Bayu, minimal lima miliar pun masih terhitung sedikit.

Viona merasa kalau mahar tersebut adalah penghinaan bagi dirinya serta keluarganya, tapi ia tetap berusaha untuk tenang, mencoba untuk mensyukuri dulu dan menganggap penghinaan ini sebagai batu loncatan untuk mengeruk harta kekayaan Bayu sambil menyusun rencana agar Bayu bertekuk lutut padanya.

Sekarang giliran Bayu untuk membuka penutup kepala Viona dan mencium kening Istri barunya itu tapi Bayu tidak ingin mengotori bibirnya bahkan Viona mengukurkan tangan pun, Bayu melengos dan menjabat tangan penghulu serta wali hakim Viona.

Wajah Viona merah padam karena penolakan lelaki itu disaksikan oleh berpasang-pasang mata hingga membuatnya merasa dongkol, merasa semakin terhina serta kemarahannya hampir saja meledak kalau tangan Lena tidak mengelus bahunya untuk menyabarkan diri.

Rasanya Bayu ingin menangis menyadari dirinya duduk bersanding dengan Viona. Pernikahan yang sama sekali tidak diinginkannya. Benaknya melayang ke masa lalu, teringat bagaimana bahagianya dia dulu saat mempersunting Almarhumah Istrinya.

Andai saja waktu bisa diputar kembali, ia ingin meminta pada Tuhan untuk tidak mengambil nyawa istrinya. Sejurus kemudian kemudian ia tersadar dengan keadaan sekelilingnya dan melirik Viona yang masih duduk di sampingnya, menunggu untuk acara sungkeman kepada orang tua yang telah siap menunggu pasangan pengantin.

Bayu merasakan suatu amarah yang tidak bisa diartikan. Kemudian ia beringsut hendak bersimpuh di hadapan Mariana, berusaha menahan tangis kecewanya karena sang ibu benar-benar tidak bisa memahaminya sama sekali.

Mariana memeluk kepala putranya sambil bercucuran air mata, segala nasihat dan ucapan syukur dikatakannya saat itu. "Terima kasih karena menuruti mama," ucap pamungkas dari mulut Mariana.

Pria itu segera berdiri sambil berkata, "Mau ke kamar mandi dulu." Tanpa menghiraukan Lena yang tengadah dengan wajah terkejut serta perasaan sakit Viona juga orang-orang yang berada di sana.

Bayu merapikan kemejanya di dalam kamar mandi, ia tidak harus kembali berkumpul di dalam ruangan karena telah menyalami penghulu, wali hakim dan ibunya sendiri. Persetan dengan yang lain, begitulah dalam pikirannya.

Setelah itu Bayu melangkah ke luar dari ruangan, menjauh dari orang-orang untuk menenangkan dirinya yang diliputi berbagai macam emosi dan penyesalan kenapa semua harus terjadi.

Viona yang melihat itu semua hanya bisa terdiam, sambil menundukkan wajahnya dan meremas kedua tangannya kuat-kuat menahan kekesalan serta rasa sakit di hatinya.

Acara sungkeman pun jelas gagal total sementara Bayu telah melangkah pergi dari sana.

Berbagai tatapan mata tertuju pada Viona dengan perasaan iba terutama Mariana yang menitikkan air mata. Ia baru sadar kalau keinginannya menikahkan Bayu dengan wanita pilihannya justru akan membuat orang lain tersakiti dan hancur.

Ia melihat penderitaan di mata Viona dan rasa terhina pada wajah Lena tanpa bisa berkutik sedikitpun, tapi semua sudah terlambat, kesadarannya pun datang terlambat. Kenyataannya sekarang mereka telah menjadi suami istri yang sah di mata hukum.

Mariana hanya merasakan sesal yang dalam, ia tidak sanggup membayangkan ketika dirinya meninggalkan dunia fana ini, bagaimana putranya yang keras kepala dan dingin serta kejam itu memperlakukan istri dan mertuanya.

"Oh, tolong semuanya panggilkan dokter, oh … saya merasa sesak dan sakit sekali," keluh Mariana dengan wajah meringis dan kedua tangan memegangi dadanya.

Seketika orang-orang berdiri dan meninggalkan ruangan, mereka berkumpul di sebuah balkon pada ujung lorong karena belum berpamitan kepada si empunya hajat yaitu Mariana dan Lena.

Hanya satu orang yang sedang tenggelam dalam lamunannya hingga tidak mempedulikan keadaan sekitarnya yaitu Viona, duduk mematung dengan tatapan menerawang.

Lena sibuk membantu perawat memindahkan Mariana ke atas kasur dari kursi roda, lalu seorang dokter memasuki ruangan. "Ibu bisa tunggu di luar?" pinta perawat kepada Lena yang seketika melangkah mundur dan hanya menatap tirai penutup ranjang yang ditarik oleh perawat tadi.

'Semakin cepat kamu pergi, semakin baik, Ria. Wariskan hartamu padaku, bukankah hanya aku satu-satunya yang kamu anggap sebagai sahabat terbaik?' batin Lena dengan tatapan nanar.

Sejurus kemudian, ia menghampiri putrinya yang masih melamun, tangannya terulur mengguncang-gauncangkan bahu Viona sambil menempatkan bokongnya di samping sang putri. "Hapus riasanmu, ganti bajumu dan ikut Bayu pulang ke rumahnya. Rumah itu harus segera kamu jabel, Vio. Segera setelah ibu mertuamu mati, mama akan pindah ke rumah itu," bisik Lena di telingan Viona.

"Apakah aku boleh mundur dari permainan Mama ini?" tanya Viona dengan nada sendu.

"Jangan bilang ini cuma permainan mama, bukankah kamu yang menginginkan lelaki itu sekaligus dengan kekayaannya? Bukankah kamu merasa bangga jika namamu adalah Nyonya Bayu Perdana?" sergah Lena cepat sambil melotot ke arah Viona.

avataravatar
Next chapter