1 PROLOG

Tidak kuasa menahan rasa hancur yang berkeping-keping, Bayu melorotkan tubuhnya ke atas karpet tebal seolah tanpa daya. Air mata yang semula hanya menggenang di kelopak matanya, kini luruh tidak terkendali, mengucur deras membasahi kedua pipinya.

Lelaki berhati baja yang ditakuti dalam dunia bisnis, nyatanya serapuh kapas tatkala wanita yang telah diperjuangkan mati-matian olehnya, pergi begitu saja membawa linangan air mata dan kekecewaan. Ia tidak mampu menahannya, bahkan tidak juga sempat menjelaskan apapun.

Kabar buruk itu sampai di waktu yang tidak tepat, saat pasangan yang baru saja menikah satu bulan tersebut, tengah menikmati kebersamaan dalam kemesraan yang masih mendebarkan. "Honey, hmm …," lenguh Bayu yang mabuk oleh kehangatan bibir ranum Sarah.

Lumatan demi lumatan yang makin terasa indah seraya memejamkan mata, membuai dan membius dua insan yang masih berada dalam tahap kasmaran. Keduanya dimabuk cinta dengan deburan gairah yang meledak-ledak tanpa kendali.

"Yea, Honey … love you, love you 'till the end, hmm," gumam Sarah, enggan untuk membuka matanya karena benar-benar terhanyut oleh perasaan hangat dalam debaran hati serta detak jantung yang bertalu.

Deringan telepon genggam yang nyaring membuyarkan kehangatan mereka. Dengan enggan, Bayu melepaskan rengkuhannya dari tubuh Sarah. "Bentar ya, Sayang." Sebuah kecupan ringan mendarat pada kening wanitanya.

Ia mengulurkan tangan meraih telepon genggam di atas meja. Sarah terus bergelayut pada lengan kokoh Bayu dengan tatapan sayu seraya menyandarkan kepalanya pada bahu lelaki itu.

"Hem, Halo?" Bayu berdehem karena suaranya sedikit serak.

"Selamat sore, Pak Bayu? Saya Harlan, pengacara ibu Viona. Saya ingin mengabarkan bahwasannya ibu Viona telah melahirkan seorang anak lelaki tadi pagi–," ucapan Harlan terjeda karena Bayu memotong pembicaraan. "Melahirkan? Anak siapa? Apa urusannya dengan saya?!" teriak Bayu yang sangat terkejut mendengar kabar itu.

"Kami harus membicarakannya dengan Bapak karena ada beberapa hal terkait dengan data identitas yang harus diurus, Pak." Harlan mengabaikan apa yang diteriakkan oleh Bayu kepadanya.

"Ta-tapi, kenapa harus mengabari saya? Apa urusannya dengan saya?" Bayu benar-benar tidak paham dengan apa yang terjadi. Bahkan, ia tidak tahu sama sekali waktu melayangkan gugatan cerai sesaat setelah Viona menjalani sidang perkara yang pertama kalau wanita itu tengah mengandung.

"Karena Pak Bayu adalah ayah dari bayi itu," tegas Harlan penuh keyakinan.

"What the Fuck! Saya tidak bisa menerimanya!" teriak Bayu seraya memutuskan sambungan telepon.

Celakanya, Sarah mendengar semua itu. Suara dari telepon genggam yang disetel dengan volume tinggi, sangat jelas merasuki telinganya. Wanita itu tergugu dalam duduk tegaknya, otaknya mencerna kabar tersebut dan mengingatkannya pada pengakuan Bayu bahwa selama menjalin rumah tangga dengan Viona, tidak sekalipun ia pernah melakukan hubungan intim dengan wanita yang telah mencelakakan dirinya itu.

Tapi, apa yang terjadi sekarang? Nyatanya Viona telah melahirkan seorang bayi laki-laki dan kini, secara tidak langsung, pengacara wanita itu sedang meminta tanggung jawab Bayu, suaminya.

"Sayang … ini pasti ada kesalahan, tidak mungkin hal itu terjadi," ucap Bayu seraya merengkuh bahu istri mudanya. Namun, Sarah dengan cepat menghindar dan berdiri menghadap Bayu, kedua pipinya telah basah oleh air mata.

"Cukup! Aku tidak butuh penjelasan apapun darimu!" Sarah berbalik dengan cepat, menyambar tas selempang yang tadi dipakai saat bekerja dari atas sofa tunggal lalu berlari keluar dari ruangan itu, terus berlari menuju jalan raya dan mencegat taksi yang lewat.

Bayu mengejarnya sampai jalan raya, tapi Sarah terlanjur masuk ke dalam taksi dan berlalu dengan cepat. Ia dilanda kepanikan, kembali ke dalam rumah mengambil kunci mobil, tapi upayanya sia-sia mengejar sang istri karena tidak tahu kemana taksi itu membawanya pergi.

Kembali ke rumah setelah selama berjam-jam keliling dan menghubungi semua orang yang diingatnya dekat dengan Sarah, tidak satu pun yang mengetahui keberadaannya termasuk keluarga dan kerabat dekat. Lelaki itu tidak juga berhenti menyesali kenapa begitu sulit untuk bersama dengan wanita yang sangat dicintainya.

***

Tiga Tahun yang Lalu.

Suara klakson memekakkan telinga diiringi suara-suara bertabrakan yang mengerikan. Di antara sadar dan tidak, Bayu merasakan kepalanya berputar. Ia tidak mampu menghitung berapa kali kepala itu menyentak atap mobil lalu tubuhnya oleng ke kiri dan ke kanan sebelum kembali terhentak dengan keras.

"Ho--honey …! Sayang …," desisnya lirih sebelum ia tidak sadarkan diri.

Bayu berdiri menjulang seolah-olah ia seorang penonton yang menyaksikan tayangan ulang bagaimana dirinya menghantarkan sang istri menjemput maut.

"Ti--tidak! TIDAK!" teriak Bayu melengking di keheningan malam. Keringat bercucuran memenuhi dahi dan pelipisnya. Kembali kecelakaan tiga tahun lalu yang telah menewaskan istri dan putra kecilnya, hadir kembali dalam mimpi, mengganggu malam-malam panjang yang terus menyiksa.

Lelaki itu terbangun dengan gelisah, kelopak matanya terlihat basah. Carut marut pada wajah tampannya menampakkan kekalutan dan kesedihan yang dalam. Ia duduk dengan napas tersengal-sengal, tidak mampu menguasai dirinya dari rasa kehilangan dan penyesalan juga rasa bersalah.

"Kenapa bukan nyawaku yang Kau ambil, Tuhan? Kenapa harus istri dan anakku?!" pekiknya pelan.

Seorang wanita setengah baya menerobos kamar Bayu, pada wajahnya tersirat kecemasan. "Nak, kamu mimpi lagi?" tanya Mariana seraya menyentuh rambut Bayu yang sedikit gondrong dan acak-acakan serta pipi yang bercambang kasar.

"Aku yang telah mengantarkan maut pada istriku dan anakku, Ma." Bayu beringsut ke belakang, menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang yang tinggi dan empuk serta membenturkan kepalanya dengan gusar.

"Sstt … jangan katakan seperti itu, Nak. Takdir yang Maha Kuasa tidak bisa diganggu-gugat dan kita tidak boleh memprotesnya. Terimalah ketentuan Tuhan. Pasti ada rencana baik di balik semua ini," hibur Mariana yang merasa prihatin atas kondisi putra semata wayangnya itu. Sebagai seorang nenek, ia pun sangat berduka kehilangan satu-satunya cucu yang entah kapan akan memiliki cucu lagi. Putranya masih betah menduda setelah tiga tahun ditinggalkan keluarga kecilnya.

"Aku yang menyetir mobil sialan itu, Ma! Aku yang telah membunuh mereka …," ratap Bayu merasa pilu. Tangisnya pun pecah seketika.

Mariana menghela napas panjang, kedua tangannya mengembang untuk memeluk putranya yang sedang meraung. Wanita yang akan memasuki usia keenam puluh tahun itu mengelus rambut putranya dengan berlinang air mata. Ia merasa frustasi karena tidak juga mampu menyadarkan Bayu agar tidak menyalahkan dirinya sendiri atas kecelakaan yang merenggut nyawa Andin menantunya serta Putra, cucunya yang baru berusia dua tahun saat itu.

Sebagai seorang ibu, Mariana merasa bahwa masa berkabung bagi anaknya terlalu lama. Tiga tahun sudah berlalu dari hari nahas itu. Mestinya, Bayu semakin bisa melepaskan diri dari kedukaannya, bukan malah bertambah parah seakan-akan peristiwa pahit tersebut baru saja terjadi.

"Sampai kapan kamu akan seperti ini, Nak? Kamu tega membuat ibumu menderita melihat putranya terus berkubang dalam lara hati. Berjanjilah kamu akan bangkit. Tugasmu belum selesai, hidupmu harus dijalani dengan penuh tanggung jawab," terang Mariana di antara rasa sedih dan kesal kepada Bayu.

Namun, Bayu tidak bergeming. Suara Mariana baginya hanya seperti hembusan semilir angin saja. Mata hatinya telah beku. Semua hal dalam hidup dijalaninya bagai robot. Ia tidak membutuhkan apapun. Setiap harinya diisi dengan bekerja, menjalankan amanat mendiang sang ayah agar meneruskan dinasti bisnis yang telah secara turun temurun bergulir kepada para ahli warisnya.

"Nak, bagaimana jika kamu belajar membuka hati? Berilah kesempatan pada dirimu sendiri untuk mengecap indahnya dunia. Banyak hal yang belum kamu lihat juga, 'kan?" Mariana melepaskan pelukannya. Kini ia memegang wajah Bayu dengan kedua tangannya sambil menatapnya lekat-lekat.

"Aku tidak mau jatuh cinta lagi jika itu maksud Mama. Cukup Andin saja yang pernah hadir di hatiku," sahut Bayu cepat-cepat. Ia merasa jenuh dengan perlakuan Mariana yang terus menerus mengenalkannya pada wanita-wanita.

"Baiklah, kalau kamu tidak mau membuka diri, biarlah gadis-gadis itu yang mengetuk pintu hatimu. Suatu saat nanti, pasti ada salah satu dari mereka yang bisa mencairkan kebekuan hatimu, Nak." Mariana memberikan tekanan pada nada suaranya sambil bangkit berdiri lalu membalikkan tubuhnya dan keluar dari kamar Bayu membawa perasaan gusar.

avataravatar
Next chapter