4 Niat Lain Calon Istri

Tangan Mariana meraih tombol yang akan menghubungkan dirinya dengan ruang keperawatan. Napasnya tersengal-sengal karena terdorong oleh rasa marah kepada Bayu. Ia merasa sangat kepayahan.

Seorang perawat memasuki ruangan. "Kenapa, Bu? tanyanya sambil memperhatikan segala sesuatu dengan cepat.

"Sa--saya merasa lelah, Sus," sahut Mariana yang terlihat kesulitan bernapas.

"Ibu tidak boleh stress, apalagi marah. Harus tenang, istirahat, jangan berpikir berat, Bu." Perawat itu pun memeriksa denyut nadi pada pergelangan tangan Mariana. Ia menangkap kemarahan dari wajah pasien tersebut.

Dalam kepura-puraan tidurnya, Bayu merasakan penyesalan karena telah membuat ibunya kesal. Ide konyol Mariana mengenai pernikahan, membuatnya marah. Bagaimanapun, Bayu telah mengikrarkan janji di pusara istrinya bahwa ia tidak akan menikahi siapapun di sepanjang hidupnya. Tapi, keadaan ibunya yang hanya menunggu sisa usia pun membuatnya frustasi.

Bayu berpikir keras. Menelaah hati nuraninya. Ia sadar bahwa ia harus berbakti sebagai seorang anak. Mengingat sakit yang diderita sang ibu adalah sakit yang telah merusak organ dalam, bahkan telah merusak ginjalnya, menyadarkan Bayu kalau Mariana bisa pergi setiap saat. Ia merinding takut. Jelas saat ini pilihannya hanya ada dua; membiarkan ibunya pulang dengan kebahagiaan atau pulang dengan kekecewaan terhadap dirinya.

"Maafkan aku, istriku, Sayang … aku tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemauan Mama. Semoga kamu mengerti, Cintaku," gumam Bayu pasrah.

Saat itu, Bayu memutuskan untuk menikahi siapapun yang ditunjuk oleh ibunya. Demi kebahagiaan terakhir Mariana.

Pukul sepuluh pagi, saat itu Mariana sedang berusaha menenangkan dirinya, ia melirik ke arah putranya yang sedang bermalas-malasan di sofa bed. Ia merasa kesal karena Bayu belum juga beranjak ke kamar mandi dan belum mengganti bajunya.

Terdengar suara pintu diketuk dan seorang wanita setengah baya muncul sambil tersenyum kepada Mariana. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" Tamu tersebut melirik ke arah Bayu yang masih rebahan di atas sofa.

Mariana menyambutnya dengan senyum dan sedikit merasa tidak enak hati karena Bayu tidak mengindahkan tamunya. Seorang gadis muncul di belakang Lena, teman lama Mariana, dia adalah istri dari mendiang Wicaksono. "Cantik sekali," lirih Mariana saat melihat gadis itu yang melangkah menghampirinya.

Viona menyalami Mariana sambil tersenyum malu-malu. "Tante, semoga cepat sembuh," ucap gadis itu sambil mencium punggung tangan Mariana.

"Terima kasih, Nak. Panggil mama ya," sahut Mariana merasa senang karena gadis itu sangat cocok bila bersanding dengan putranya. Ia menoleh ke arah Bayu. "Bayu, bangun, Nak. Mama mau kenalin kamu sama gadis cantik ini," panggil Mariana.

Bayu membuka matanya, ia tahu kamar itu telah kedatangan dua orang tamu. Ia pun bangkit dan membiarkan rambutnya acak-acakkan. "Pagi, Tante dan putrinya," sapa Bayu tanpa menghampiri Lena dan Viona. Ia melangkah menuju kamar mandi.

"Ma'afkan anak saya, dia kelelahan setiap malam menungguiku," ujar Mariana merasa tidak enak hati.

Tidak berapa lama, Bayu keluar dengan rambut telah dibasahi. Ia pun telah membasuh wajahnya. Kemudian menyalami Lena dan Viona tanpa melihatnya lalu, merapikan sofa bed dan duduk di sana sambil menundukkan wajahnya.

Mariana melirik ke arah Bayu. "Nak, Viona telah setuju menikah denganmu, mama ingin disegerakan. Akad nikah di sini saja, mama khawatir tidak akan bisa menyaksikan pernikahan putra mama satu-satunya." Mariana mengatakannya dengan nada memohon.

Bayu mengangguk tanpa mengangkat wajahnya. "Gimana baiknya saja, Ma," jawab Bayu dengan lantang.

Hela napas kelegaan terdengar dari Mariana, seketika wajahnya berseri-seri dan ia memegang tangan Lena erat-erat. "Tolong diurus cepat, paling tidak, lusa sudah siap semua. Ma'af, saya tidak bisa membantu dan hanya mengandalkanmu," pinta Mariana kepada Lena.

"Jangan khawatir, lusa pak penghulu sudah sampai di sini. Kalau begitu, saya mau ajak Bayu untuk fitting baju hari ini," ucap Lena yang juga merasa lega.

"Ya, ajaklah Bayu biar tahu juga kalau calon istrinya sangat cantik dan baik," kata Mariana sambil mengangguk lemah.

"Nak Bayu, ayo ikut Ibu, harus mulai disiapkan segala sesuatunya dari sekarang." Lena menghampiri Bayu dan menarik lengan lelaki itu.

Tanpa bisa menolak, Bayu berdiri dan menoleh ke arah ibunya yang sedang tersenyum bahagia. Namun, sorot mata Bayu menyiratkan protes dan ketidak sukaannya atas situasi yang harus ia hadapi. 'Bagaimana kehidupanku nanti?' batin Bayu merana.

Lelaki itu melangkah keluar kamar mengiringi langkah Lena dan Viona. Sekilas ia pun sadar kalau putri Wicaksono memang cantik, tapi hatinya tidak tergerak sama sekali. Wajahnya tetap dingin dan enggan berbicara satu patah kata pun kecuali harus menjawab ketika ditanya.

"Nak Bayu, kita akan pergi pake mobilmu atau mobil kami?" tanya Lena yang sebenarnya berharap bisa menaiki mobil Bayu yang mewah dan keren.

"Terserah," jawab Bayu singkat. Ia sama sekali tidak peduli. Bukan keinginannya pergi dari sofa bed yang sudah terasa nyaman di ruang rawat inap ibunya.

Lena saling lirik dengan Viona. Mereka sebenarnya kesal dengan sikap Bayu yang dingin, tapi, mengikat Bayu dalam pernikahan adalah harapan besar mereka demi menikmati harta kekayaan yang melimpah.

"Emh, pakai mobilku saja," ujar Viona sambil tersenyum penuh makna kepada ibunya. Tidak semata-mata ia mengajak Bayu menaiki mobilnya dengan harapan Bayu akan merasa malu kalau calon istrinya memiliki mobil butut dan tua. Ia tidak sabar ingin memiliki mobil impian yang mahal.

Bayu tidak bergeming, ia terus melangkah mengekori mereka dengan perasaan kesal.

"Tapi, Nak. Mobilnya Vio jelek banget, tidak apa-apa kan?" tanya Lena seraya melirik ke arah Bayu.

Bayu menjawabnya dengan helaan napas malas, tidak tertarik untuk menjawab. Suasana di antara mereka semakin terasa canggung dan tegang.

"Oh, he he … tak apa dong, Ma. Calon suami tentu menerima keadaan calon istrinya, benar kan, Mas Bayu?" Viona mencoba mencairkan suasana sambil meraih lengan Bayu dan menggelendot sebentar, sebelum Bayu menghempaskan tangan gadis itu dengan kasar.

"Apa-apaan, sih?" Bayu mengerutkan keningnya dalam-dalam.

"Mas?! Oh, maaf," ujar Viona. Raut wajahnya seketika berubah. Ia merasa tersinggung oleh sikap Bayu yang menolak dirinya secara kasar.

Lena pun terlihat terkejut melihat sikap Bayu yang berani berbuat kasar kepada putrinya, di hadapan ibunya sendiri. "He he, maaf, Nak Bayu, Viona terlalu senang hari ini," sergah Lena alih-alih melampiaskan ketersinggungannya, ia cepat sadar kalau tidak ingin kehilangan mangsa kakap.

"Jaga sikap. Perempuan apa kalau baru kenal sudah berani merangkul lelaki asing? Meskipun kita mau menikah dengan sangat terpaksa karena ibuku, bukan berarti kamu harus bersikap murahan," tegas Bayu yang tidak peduli apakah perkataannya akan menyakiti mereka atau tidak. Ia hanya berharap Viona dan ibunya membatalkan niat mereka untuk menikahi dirinya.

Lena dan Viona ternganga mendengar perkataan Bayu. Tapi, apa yang diucapkan Bayu memang benar. Sebagai seorang wanita, mestinya Viona tidak bersikap agresif. "Maafkan Vio, Nak Bayu. Seharusnya memang dia bisa menjaga sikap," pinta Lena, terpaksa meminta maaf meskipun putrinya memelototinya dengan ganas.

Bayu hanya mendengus dan membuang wajahnya ke samping. Rasanya ingin bisa pergi dari sana saat itu juga. Ia tahu kalau wanita setengah baya itu tengah berusaha menjilatnya dan saat itu juga ia paham ada suatu tujuan yang sedang direncanakan oleh Lena dan Viona di balik pernikahan ini.

Bayu meraih telepon genggam dari saku celana longgarnya, lalu mengirimkan pesan kepada asisten yang merangkap kepala ajudan pribadinya, Sean.

Bayu : Cari tahu sampai detail keluarga Wicaksono, teman ibuku terutama Viona. Segera!

Dalam beberapa detik, pesannya terbalas.

Sean : Siap. OTW.

avataravatar
Next chapter