2 Malapetaka Kencan Buta

Bayu terpekur di atas ranjang, rasa kantuknya telah benar-benar hilang. Ucapan Mariana tadi menggugah hatinya. Ia masih ingat dengan jelas kejadian terakhir pada kencan buta yang diatur oleh Mariana. Kencan yang menimbulkan malapetaka bukan hanya bagi dirinya tapi juga bagi gadis polos itu.

Suatu siang, Bayu keluar dari ruang kantornya dengan tergesa-gesa. Mariana telah mendesaknya agar segera berada di restoran favorit dalam sepuluh menit. "Awas, jangan sampai terlambat biarpun hanya satu menit!" seru Mariana di ujung telepon dua puluh menit yang lalu. Wanita itu selalu punya cara bagaimana membuat Bayu menuruti perintahnya.

Saat itu, lelaki yang mengenakan jas licin dan rapi, telah duduk manis di meja yang dipesan Mariana atas nama dirinya. Lima menit berlalu dan Bayu mulai merasa jenuh. Ketika tiba-tiba telinganya menangkap suara halus dari arah sampingnya.

Ia pun menoleh dengan cepat, tampak seorang gadis muda yang sederhana tanpa polesan make up dan sangat manis juga tidak membosankan pandangan, mengangguk padanya dengan sikap yang santun. Tapi, Bayu segera memalingkan wajahnya kembali.

"Maaf, Mas Bayu … saya terlambat," kata gadis tersebut. Suaranya lembut dan pelan. Ia masih berdiri dan mendadak merasa gugup.

"Huh, ternyata, kalau bicara juga bisa ya, lambat kaya keong," sambar Bayu dingin dan tak acuh.

Gadis yang bernama Lia–info dari Mariana– itu tertegun. Otaknya mencoba mengurai informasi yang masuk ke dalam telinganya. Seketika ia menilai Bayu sebagai lelaki yang serampangan, kasar, tidak teratur dan sangat menyebalkan.

Melihat gadis itu tertegun, Bayu mendengus kasar. "Ngapain berdiri di situ? Merusak pemandangan saja," celetuk Bayu sambil melirik tajam kepada Lia yang seketika, pada wajahnya tersirat ketersinggungan atas sikap kasar lelaki itu.

"Maaf …," sahut Lia seraya menarik kursi di depan Bayu dan mendudukinya.

Bayu menjentikkan jarinya ke arah pelayan dengan sikap angkuh, memberi isyarat agar mereka segera membawakan daftar menu ke hadapannya. Saat salah seorang pelayan wanita menghampiri dan menyodorkan buku menu kepadanya, Bayu menunjuk pada Lia dengan jari telunjuk. "Kasih dia dululah. Kasian anak orang. Mungkin saja dia jauh-jauh datang ke sini karena lapar," ucap Bayu dengan nada sinis.

Lia menerima buku menu yang disodorkan pelayan, sementara tatapan matanya menyorot tajam ke arah Bayu dengan kobaran amarah yang sedang dicoba untuk ditahan. Tepat saat itu, Bayu melirik dengan sudut matanya dan agak terkejut melihat kobaran emosi dari gadis yang terlihat lemah itu.

Serta merta, Bayu memposisikan diri menghadap pada tamunya yang diundang oleh Mariana seraya melambaikan tangan mengusir pelayan agar menjauh dari mejanya.

"Kenapa? Tidak suka? Saya mau tanya sama kamu, siapapun kamu, saya tidak peduli. Tapi, perempuan apa yang mau saja disuruh kenalan dengan seorang laki-laki?" Bayu menatap gadis itu dengan pandangan mengejek.

Terdengar napas Lia mulai memburu. Gadis tersebut sedang berusaha menenangkan dirinya. Ia teringat bagaimana Mariana membujuk dan memaksa agar dia mau menemui putranya. Tidak disangka yang ditemuinya adalah lelaki dingin dengan tatapan tajam penuh penghinaan dan kalimat kasar yang menyakitkan.

Gadis itu ingin mengucapkan sesuatu, tapi tenggorokannya tercekat. Rasa takut menyelinap begitu saja ke dalam hatinya melihat bagaimana Bayu bersikap bagaikan monster yang siap menerkam kapan saja. Mulut mungil Lia terbuka, hanya saja, tidak satupun kata yang keluar dari sana.

Bayu menyeringai puas. Waktunya sangat berharga dan merasa senang jika pertemuan konyol tersebut bisa batal dan gadis di hadapannya merasa kapok hingga tidak bisa lagi disuruh-suruh oleh Mariana untuk menemuinya.

Sejurus kemudian, Lia seolah memiliki kekuatan. Ia membanting buku menu yang sedang dipegangnya ke atas meja dengan keras. Kini, matanya telah basah. Ia berdiri cepat dan berbalik. Gadis itu berlari dengan cucuran air mata, menuju pintu keluar yang telah sigap dibukakan oleh pegawai restoran hingga ia tidak perlu melambatkan langkahnya.

Tiba-tiba, terdengar lengkingan klakson panjang yang membuat Bayu terkejut dan terperangah. Suara yang membuatnya trauma hingga seluruh tubuhnya gemetar. Semua orang yang berada di sana, serentak menoleh ke asal suara. Tidak ketinggalan Bayu yang tanpa sadar telah berdiri dan melihat gadis itu, terkapar di tengah jalan.

Kecelakaan yang menimpa gadis malang yang tidak dikenalnya, sungguh diluar dugaan Bayu. Terlebih, ia menjadi korban tabrak lari. Hatinya bergemuruh dengan rasa sesal karena secara tidak langsung, telah menjadi penyebab kecelakaan itu sampai menimpa Lia. Seandainya ia tidak mengganggu hati Lia dengan sikap arogannya, seandainya ia bisa bersikap biasa saja, tanpa menyerang dengan kata-kata sinis yang mengandung penghinaan, seandainya … seandainya!

Penyesalan memang selalu datang diakhir. Ujung dari penyesalan itu, Bayu meminta kepada Mariana agar menghentikan kebiasaan buruknya yaitu mengatur pertemuan-pertemuan para gadis dengan dirinya. Hal yang sangat sia-sia dan berujung malapetaka.

Beruntung, luka-luka yang dialami Lia tidak parah. Ia menderita lebam dan tidak sadarkan diri saat diselamatkan oleh Bayu dan dibawa ke rumah sakit. Lia dirawat di ruang VIP dan Mariana terus menunggunya sampai ia diperbolehkan pulang oleh dokter yang menanganinya.

Sayang seribu sayang, Mariana menganggap kecelakaan tersebut adalah takdir dan takdir setiap orang berbeda-beda. Karenanya, ia tidak kapok untuk terus mencari gadis-gadis yang dianggapnya sepadan untuk putra semata wayangnya serta tetap mengatur kencan buta.

Sementara itu, mimpi buruk yang dialami Bayu terus berlanjut, hal yang sangat mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Sosok yang dulunya sangat menyenangkan, kini terbalik menjadi sosok yang dingin, keras dan bahkan dianggap kejam oleh seluruh anak buahnya di kantor bahkan oleh teman-temannya sendiri yang perlahan mulai menjauh.

Setiap kata yang meluncur dari mulutnya, penuh kesinisan dan penghinaan kepada apapun dan siapapun yang dianggap mengecewakannya atau hanya sedikit saja tidak berkenan di hatinya.

Lelaki itu telah kehilangan jati dirinya sejak kehilangan istri dan putra kecilnya yang justru terjadi di depan matanya, oleh tangannya sendiri.

Ia merasa dirinyalah yang telah mengantarkan mereka ke gerbang maut dengan perasaan tidak berdaya, ia sulit memaafkan dirinya sendiri, menolak keras menerima kenyataan, menghujat Tuhan dan segala sesuatu yang menunjang kecelakaan itu terjadi.

Seandainya ia sebatang kara, tidak memiliki seorang ibu yang harus dijaganya dengan baik, Bayu telah lama ingin mengakhiri hidup, berharap bisa hidup kekal di alam baka bersama istri dan putra tercintanya.

Namun, kenyataan bicara lain, bertahan demi sang ibu, nyatanya wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini, tidak memahami kedukaan putranya. Bayu tidak butuh wanita lain saat ini, ia hanya butuh waktu yang lebih lama untuk berduka. Hanya itu.

Seorang lelaki yang awalnya penuh kehangatan dengan sorot mata ramah juga karakter yang menyenangkan, telah berubah menjadi sosok yang diliputi bayangan gelap, memiliki aura intimidasi dan sulit didekati.

avataravatar
Next chapter