10 Dibebaskan

Tidak berapa lama, mobil ambulan yang membawa jasad Mariana sampai di kediamannya. Sebuah rumah super mewah yang harus ditempuh sejauh satu kilometer lebih dari pintu gerbang utama, menyusuri jalanan beraspal yang lurus diapit halaman berumput hijau yang merupakan bingkai taman.

Ternyata, para kerabat dan kenalan dari sekitar Jakarta, telah berkumpul di dalam rumah dan menyambut kedatangan ambulan dengan lantunan doa-doa.

Bayu melompat turun dan memanggil bik Minah. Ia menanyakan keberadaan Viona dan wanita itu menjawab, "Nyonya masih tidur, Pak."

Lelaki itu menyeringai sinis. "Jangan panggil dia nyonya. Bahkan di rumah yang sudah ramai seperti ini, dia tetap tidur? Hah, tidak tahu diri," geram Bayu sambil menatap pada mobil sedan ajudannya.

"Bik, di mobil itu ada biangnya. Sumber kekacauan, nanti bawa ke kamar anaknya lalu kunci dari luar. Selama prosesi duka ini, jangan dibuka pintunya dan suruh orang untuk berjaga depan pintu," ujar Bayu kepada wanita itu.

"Baik, Pak, saya akan bawa lewat samping," sahut bik Minah seraya melangkah serta memberi kode pada supir yang membawa sedan tersebut agar berbelok ke sayap rumah bagian timur.

Bayu menjalani prosesi yang telah diatur oleh Sean dan sekretarisnya. Ia hanya terdiam dengan wajah muram, menerima ucapan bela sungkawa dari para tamu yang terus berdatangan sebelum mengantarkannya pada peristirahatan terakhir di kota Bandung, di makam keluarga yang juga telah dipersiapkan tepat di sebelah suaminya.

Sementara itu, di kamar tamu di mana Viona ditempatkan, Lena terkejut mendengar suara kunci yang diputar dari luar. "Hei, apa maksudnya ini? Kalian mengurung kami di kamar sempit ini?! Hei, buka pintunya! Kalian tidak tahu saya siapa? Saya adalah besan nyonya kalian, ibu mertua Bayu! BUKA!" teriaknya sambil menggedor pintu.

"Apaan sih, berisik banget. Mama?! Ngapain Mama teriak-teriak di situ? Bukannya di rumah sakit?" cecar Viona sambil menggisik kedua matanya. Ia masih sangat mengantuk saat itu.

"Heh, Viona! Kamu malah enak-enakkan tidur! Terus kenapa kamu tidur di sini? Kenapa tidak di kamar Bayu?" Lena merasa sangat heran.

"Semua gara-gara pembantu tua itu! Masa gak dibolehin masuk kamar Bayu, udah jelas-jelas aku datang masih pake baju pengantin, malah ngotot suruh masuk ke kamar ini. Duh mana aku lapar, Ma," jawab Viona.

Lena mendelik dengan berbagai emosi membuncah di dadanya. Pembantu itu pula yang membawanya ke sini dan mengurung mereka di dalam kamar. "Ya sudah nanti kamu pecat saja dia. Sekarang, yang berkuasa di rumah ini adalah kamu. Bukan mama Mariana lagi," ujar Lena menyeringai senang.

"Mama Mariana trus ngapain dong?" tanya Viona dengan tatapan bingung.

"Dia sudah nemu tempat barunya, yaitu di dalam tanah." Lena melangkah mendekati anaknya. "Kayanya kita harus meggunakan trik supaya Bayu tidak menceraikanmu," ujar Lena hati-hati.

"Kenapa harus cerai? Kan ada mama Mariana," sergah Viona, tampak malas membahas masalah pernikahannya. Ia merasa lapar dan butuh makan segera.

Lena memutarkan matanya sambil menghela napas. "Kamu ngapain aja sih dari tadi? Gak baca pesan mama?!" Nada suara Lena meninggi saking kesalnya.

"Mama kenapa sih harus sambil marah?" protes Viona menjadi kesal.

"Jelas mama marah, ibi mertuamu baru meninggal, kamu malah tidur gak buka-buka HP?!" Suara Lena tetap tinggi.

"Ha?! Mama Mariana meninggal? Serius, Ma? Terus kapan dikuburnya? Terus ngapain mama di sini bahas cerai segala?" ujar Viona semakin kesal. Ia cepat-cepat turun dari atas kasur dan ke kamar mandi.

"Astaga nih anak ya, Vio! Dengar mama. Kita dikurung di kamar ini, pintunya dikunci dari luar sama pembantu tua itu. Gimana mama tahu kapan dia dikubur?" jelas Lena seraya menghampiri putrinya ke kamar mandi.

"Ah, dikurung? Keterlaluan sekali tuh pembantu! Aku telepon mas Bayu deh," kata Viona seraya cepat-cepat menyelesaikan buang hajatnya.

"Percuma. Bayu pasti gak pegang telepon, kamu harusnya telepon asistennya," usul Lena yang masih teringat tatapan tajam dan dingin dari Bayu kepadanya. Tanpa sadar ia pun bergidik.

"Sean? Duh, mana aku tahu nomor telepon dia," kata Viona dengan wajah bingung. "Terserahlah kalau mau dikurung gak diijinkan ikut prosesi pemakanan mama mertua, tapi harusnya gak suruh kita puasa juga kali, Ma. Aku kan lapar," lanjut Viona tampak tidak peduli apapun selain perutnya sendiri saat itu.

Lena menghela napas panjang dengan wajah putus asa melihat ketidakpedulian putrinya, bagaimana putrinya bisa meluluhkan hati Bayu kalau sikapnya kekanak-kanakkan seperti ini?

"Vio, kamu anak yang sangat cantik, tubuhmu juga bagus, mudah bagimu meluluhkan lelaki mana pun, kecuali Bayu. Kamu harus belajar merubah sikapmu dan perilaku kamu. Bayu tidak akan luluh oleh kecantikan wanita karena hidupnya selalu dikelilingi wanita-wanita cantik," tutur Lena, mencoba menasihati putrinya.

Viona mencibirkan bibir. "Tidak perlu, aku sudah resmi jadi istrinya, secara otomatis harta mas Bayu menjadi hartaku. Yang harus kita lakukan sekarang hanya bersabar dan menjalani kehidupan seperti biasa." Viona melepaskan baju pengantin satu per satu. Lalu ia membongkar kopernya dan mengambil baju ganti.

Kemudian, ia melangkah ke pintu dengan sikap santai dan menekan pegangan pintu. Benar saja, pintu terkunci. Ia pun segera menggedor pintu dengan tangannya yang tergenggam. "Hei, ada orang di luar kan? Saya lapar, saya mau makan! Tolong buka pintunya!" teriak Viona.

Pengawal yang berjaga di depan pintu saling berpandangan sejenak. Salah satunya mengangguk dan beranjak dari sana.

Tidak lama kemudian, pengawal tersebut datang kembali diikuti oleh bik Minah yang mendorong meja saji. Di atasnya telah terisi dengan berbagai makanan.

Bik Minah menyerahkan kunci pintu kepada penjaga dan ia bersiap mendorong meja saji masuk ke dalam kamar. Pintu pun dibuka, bik Minah segera masuk sementara dua penjaga berdiri rapat di depan pintu.

Lena menatap mereka dengan tatapan tidak percaya. Rupanya mereka benar-benar tidak diijinkan ke luar kamar sama sekali. Mendadak tubuhnya terasa lemas.

"Kenapa kami tidak boleh ke luar dari kamar ini, Bik?" tanya Lena kepada bik Minah yang sedang membuka tutup makanan di hadapan Viona yang tampak antusias ingin segera menyantap makanannya.

"Boleh kok, Bu, tapi nanti kalau sudah tidak ada tamu lagi yang melayat," sahut bik Minah seraya sedikit membungkuk, sebagai tanda ia akan undur diri dan segera ke luar dari kamar yang kembali dikunci dari luar.

"Kamu akan membayar mahal atas perlakuan kamu kepada aku dan anakku, Bayu," gumam Lena dengan kilatan licik pada manik matanya.

Ternyata, mereka baru dibebaskan dari kamar keesokan harinya pada pukul sepuluh pagi. Dengan senang hati, Lena berkeliling rumah yang luas itu dengan tanpa henti-henti terkagum-kagum atas kemegahan dan kemewahan yang tersebar di tiap sudutnya.

Semakin ia menginginkan tinggal di rumah itu, semakin kuat tekadnya untuk merubah tabiat putrinya dan harus bertahan sesakit apapun Bayu memperlakukan mereka. Baginya, segala sesuatu memang harus diperjuangkan.

Lena telah bertekad, bukan hanya menjadi ular berkepala dua juga musang berbulu domba, ia tidak keberatan untuk menjadi penjilat bahkan merendahkan martabatnya sendiri di depan Bayu, akan dilakukannya, demi putrinya memiliki harta yang berlimpah ruah dan tinggal di rumah mewah yang akan membuat semua orang yang pernah memandang rendah dirinya, berbalik berlutut di kakinya.

Ia duduk di kursi ruang keluarga yang luas dengan plafon setinggi tiga lantai adalah plafon tertinggi dari yang pernah dilihatnya. Hanya di ruang keluarga inilah plafon setinggi itu bisa dinikmatinya.

Duduk dengan gaya angkuh dan senyum kemenangan, Lena benar-benar menikmati posisinya saat ini, pada wajah itu, tidak terlihat kedukaan atas meninggalnya Mariana yang diklaim sebagai salah satu sahabat masa lalunya.

"Mama! Ayo kita temui bik Minah," ujar Viona yang tiba-tiba saja telah berada di belakang Lena seraya melangkah menghampiri ibunya.

"Sudah bangun kamu? Duduk sini dan dengarkan mama," ucap Lena seraya menepuk jok empuk yang nyaman di sebelahnya.

Viona duduk dengan patuh. "Ada apa gitu, Ma?" tanyanya antusias.

"Bukan kita yang akan menemui pelayan, Vio. Tapi mereka yang harus datang tergopoh-gopoh pada kita. Apa kamu paham kalau sekarang, kamulah nyonya rumah di rumah megah ini. Rumah ini adalah rumahmu dan pelayan-pelayan itu adalah pelayan-pelayan kamu. Mereka yang akan melayani kita," tukas Lena seraya mengelus kepala putrinya.

"Ah, iya. Mama benar, kenapa aku lupa ya?" Viona melemparkan senyum kebahagiaan sambil menyapukan pandangan ke sekitarnya.

avataravatar
Next chapter