5 Angkat Kaki

Mereka menuju sebuah mobil yang telah berumur delapan tahun, sedan kecil dengan warna body yang sudah memudar. Bayu segera membuka pintu belakang saat kunci mobil dioperasikan dari jauh oleh Viona. Ia cepat-cepat masuk ke dalam mobil, duduk dan menutup pintu.

Viona dan Lena saling pandang. Keduanya sama-sama berpikir kalau lelaki itu yang akan menyetir mobil dan Viona duduk manis di sampingnya sementara Lena di belakang. Tapi, melihat kenyataan yang ada, terpaksa Viona yang menyetir dan Lena yang akan duduk di depan.

Dengan sikap dingin Bayu, tidak ada yang berani membuka pembicaraan sepanjang jalan menuju toko yang menjual pakaian pengantin dan perlengkapannya sesuai petunjuk Lena, toko paling besar dan mahal tempat langganan para pembesar dan artis-artis papan atas.

Bayu mendengus saat mobil berhenti di pelataran parkir. 'Cuma akad di rumah sakit saja harus beli baju di sini,' keluh Bayu dalam hati. Ia segera turun dari mobil sebelum Viona dan Lena turun, lalu melangkah lebih dulu ke dalam toko tersebut.

Dua orang pelayan menyambutnya dengan hormat. "Pagi, Bos."

"Sst, kalian pura-pura tidak kenal saya. Kasih tahu yang lain," titah Bayu seraya melirik ke luar di mana Viona dan Lena sudah hampir menggapai pintu. Bayu melangkah menuju sebuah kursi dan segera duduk tak acuh di sana.

Lena dan Viona melangkah masuk dengan tatapan terkagum-kagum melihat keadaan sekelilingnya. Butik khusus yang menjual perlengkapan pernikahan nasional dan internasional itu berinterior mewah, dua orang penata busana terkenal bekerja di sana. Tempat yang merupakan dambaan para gadis untuk mengenakan gaun pengantin dengan merk terkenal.

"Sayang banget kita harus mencari baju yang sudah jadi karena acara akadnya besok. Padahal aku pengen pesan sesuai mauku," keluh Viona kepada ibunya.

"Biar beli jadi kan bisa pilih-pilih. Cari aja yang paling mahal. Lagian nanti pasti ada pestanya juga kan? Kamu bisa ngobrol dulu sama desainernya, gimana?" Lena mengedipkan sebelah matanya. Bayangan putrinya berjalan di atas altar dengan baju pengantin yang indah ditonton ribuan tamu undangan adalah cita-citanya selama ini.

"Oh, iya ya, kita harus menggelar pesta pernikahan. Lagi pula dunia harus tahu kalau aku menikahi seorang CEO tampan ya kan, Ma?" sambar Viona dengan mata berbinar.

Pegawai butik mulai memperlihatkan satu per satu koleksi gaun pengantin yang ada di sana tapi, Viona tampak seperti tidak puas dengan semua gaun yang dilihatnya, semua serba salah, banyak kekurangan di matanya.

Melihat putrinya tampak kecewa, Lena menghampiri pegawai yang sedang melayani Viona dengan baik.

"Apa cuma ini koleksi gaun pengantin kalian?" Lena bertanya dengan tampang menghina.

Dua orang pegawai wanita yang melayani Viona dan Lena saling bertukar pandang. Mereka baru mengalami mendapatkan cemooh dari calon pembeli yang datang ke sana justru dibawa oleh bos besar mereka sendiri.

"Ini pasti gaun-gaun standard mereka, Ma," kata Viona dengan sorot mata melecehkan. "Cepat bawakan gaun premium kalian, aku butuh memilih gaun dengan koleksi terbaru dan mahal di butik ini. Jangan mempermalukan pemilik kalian dengan melayani kami dengan buruk. Asal kalian tau, calon suamiku adalah Bayu Perdana." Viona menyombongkan dirinya yang sebentar lagi akan menjadi pengantinnya Bayu. Ya, besok statusnya akan berubah menyandang Nyonya.

Namun, tanpa Viona ketahui bahwa Bayu adalah pemilik butik itu. Dirinya memiliki banyak sekali bisnis yang tersebar di mana-mana bahkan merambah ke luar Asia dan dari segala bisnis yang ia punya, salah satunya adalah butik terlengkap serta paling eksklusif di negeri ini dengan deretan desainer ternama yang bekerja sama dengannya.

Dulu, Istrinya yang menginginkan butik ini berdiri. Jadi itulah salah satu alasan Bayu memiliki butik ini, untuk mendiang istrinya.

Bayu mendesah pelan melihat Viona dan Lena tampak semena-mena kepada para pegawainya, tapi ia mencoba untuk mengendalikan dirinya, ia tidak ingin sakit yang diderita ibunya bertambah parah jika ia membatalkan pernikahan tersebut.

Sementara itu Viona melihat Bayu tampak cuek dan selalu menatapnya dengan dingin setiap kali pandangan mata mereka bertemu, membuatnya sedikit terluka, sebab ia tidak pernah ditolak oleh siapapun sebelumnya.

'Hem ... Aku pasti bisa membuatmu melirikku nanti Bayu.' Pikir Viona dengan mata berkilat-kilat licik.

Viona jelas hanya menginginkan harta Bayu, apalagi Mariana yang telah sakit-sakitan membuatnya mungkin bisa lebih mudah mendapatkan tujuan yang dia pikirkan saat ini.

"Kedua gaun ini sepertinya sangat cantik," kata Lena tiba-tiba membuyarkan sesuatu yang dilamunkan putrinya. "Kamu coba saja dulu dan pamerkan di depan calon suamimu," bisik Lena ke telinga Viona.

Viona pun mengangguk mendengar perintah Ibunya dan segera pergi ke ruangan fitting.

Begitu selesai menggunakan gaun yang pertama, Viona keluar dan memperlihatkan penampilannya didepan semua orang.

Raut wajah Lena tampak tersentuh, dia hampir menitikkan airmata melihat putrinya memakai gaun cantik seperti itu, tapi tidak dengan Bayu yang sama sekali tidak menoleh ke arah Viona.

Melihat itu Lena segera menghampiri calon menantunya.

"Nak Bayu ... Lihat dong, gimana menurutmu Viona? Cantikkan dia pakai gaun yang itu?" Lena meminta perhatian Bayu terhadap calon istrinya tapi yang ada Bayu malah berdiri darisana dan menatap Lena dengan tatapan malas.

"Terserah kalian saja, lagi pula tidak ada pesta yang akan diselenggarakan. Pilih saja semau kalian untuk pajangan," ucap Bayu dengan tenang dan dingin.

Setelah itu ia pergi meninggalkan butik miliknya itu untuk kembali ke rumah sakit. Sebelumnya Bayu sempat mengatakan memberi isyarat kepada pegawainya untuk membungkus satu saja gaun yang ingin mereka beli.

Kemudian Bayu meminta supirnya untuk datang menjemputnya, ia ingin segera pergi dari sana, meninggalkan Viona yang tampak kesal karena sikap Bayu yang teramat dingin padanya.

Namun, lelaki itu tidak peduli. Kenyataannya ia hanya memenuhi keinginan ibunya yang diharapkan akan segera sembuh jika ia menyenangkan dan membahagiakan sang mama.

Lena dan Viona ternganga saat menyadari kalau Bayu meninggalkan mereka begitu saja tanpa mengucapkan apa-apa. Hal itu membuat Lena merasa tersinggung sebagai orang tua yang usianya jauh di atas Bayu, kelakuan lelaki itu adalah penghinaan baginya.

Namun, ia tidak bisa melakukan apa-apa, bahkan cuma menegurnya saja , ia tidak berani sebab, semuanya akan tidak sepadan dengan apa yang ia inginkan dari Bayu.

Viona lain lagi, ia cukup kebingungan perihal siapa yang nanti akan membayar gaun pengantinnya? Sementara acara akad nikah besok tidak boleh gagal, artinya gaun untuk akad tetap harus beli.

Dengan wajah panik, Viona berkata kepada Lena, "Ma, telepon tante Mariana, aku sudah memilih gaun, tapi anaknya pergi begitu saja sebelum sempat membayar."

Lena mengangguk sambil merogoh tas selempangnya mengambil telepon genggam dan mulai berbicara dengan Mariana.

Keesokan harinya Bayu tampak cemas karena kondisi ibunya yang tiba-tiba saja drop.

Dokter datang memeriksa keadaan Mariana dan mengatakan pada Bayu jika kondisi Ibunya semakin memburuk.

Bayu segera duduk disamping Ibunya begitu semua orang pergi. Ia menatap Ibunya yang tampak lemah kemudian menggenggam tangan wanita paruhbaya itu dengan raut cemas.

"Nak, Ibu harap kamu bisa bahagia bersama Viona. Besok acara pernikahanmu. Ibu sengaja melakukan ini biar kamu bahagia ...." ucap Mariana dengan suara parau.

Bayu menaru telunjuknya di depan bibir. "Sst, tidak usah bicara banyak lagi Bu. Ibu fokus pada kesembuhan ibu dulu," ujar Bayu.

Mariana tersenyum lalu perlahan tangan keriputnya naik untuk menyentuh dahi dan rambut putranya, ingin mengusapnya mencurahkan kasih sayang.

Bayu tersenyum dengan dipaksakan, ia tidak ingin ibunya tidak bahagia saat melihat wajahnya yang muram.

"Ibu ingin melihatmu menikah dan bahagia Bayu," ucap Mariana.

Bayu mengangguk mengamini ucapan ibunya dan kembali tersenyum. Walaupun sebenarnya dalam lubuk hati terdalam, ia merasa wanita pilihan ibunya tidaklah tepat. Viona bukan wanita dalam kategorinya, terlebih kerena Viona dan Lenaa hanya menginginkan hartanya saja.

avataravatar
Next chapter