30 Perkenalan

Andreas menatap layar ponselnya dengan alis berkerut. Nama Ayahnya muncul di sana.

Andreas menghela napas berat, Ayahnya pasti sudah menerima kabar bahwa ia meninggalkan putri rekan bisnisnya dengan terburu-buru siang tadi.

Karena usia Andreas yang sudah tidak muda lagi, ayahnya sering khawatir dan mulai menjodohkannya dengan putri rekan bisnisnya. Andreas tahu ayahnya sangat berharap hubungannya dengan Bella wanita yang baru ditemuinya ini berjalan lancar, namun ketika mendengar kabar bahwa gadis yang diselamatkannya akhirnya sadar, ia dengan cepat berlari meninggalkan wanita itu dengan sedikit terburu-buru.

"Selamat malam, yah," Andreas menjawab dengan sopan.

"Hmm… Kenapa tidak angkat teleponnya dari tadi? ke mana kamu? Kenapa ninggalin Bella gitu aja?" Cerca pria tua itu dengan sedikit kesal.

"Ada urusan mendadak tadi," Andreas menjawab singkat. Ia sebenarnya belum mengabari siapa pun tentang gadis yang ditemukannya. Selain beberapa dokter dan detektif tidak ada seorangpun yang mengetahui tentang keberadaan wanita misterius yang selama ini dibiayainya.

"Sama Alvian?" Nada tajam pria tua itu membuat Andreas meringis.

"Yah, kan aku sudah pernah menjelaskan perihal masalah ini. Kabar tentang hubungan terlarang antara Alvian dan aku hanya gossip tidak jelas yang tersebar di kantor," Andreas berusaha menjelaskan.

Andreas tidak tahu sudah berapa kali ia mengulang kalimat ini pada ayahnya sejak bulan lalu, namun ia masih tidak bisa menghilangkan kilat penuh kecurigaan di mata ayahnya setiap kali menatapnya. Sikap ramah ayahnya pada Alvian langsung berubah dingin.

Entah dari mana ayahnya mengetahui gossip ini, namun sejak saat itu, pria tua itu seperti punya tujuan baru dalam hidupnya yaitu menikahkan putra bungsunya secepatnya.

Mungkin dibandingkan faktor usia Andreas, alasan utamanya untuk menikahkan putranya secepatnya adalah karena ia tidak ingin anak bungsu kesayangannya membelot dari kodratnya sebagai seorang pria. Ia ingin Andreas memberikannya seorang cucu.

Andreas hanya dapat mengernyitkan keningnya dan menghela napas berat ketika ayahnya mulai sibuk mencampuri urusan kantornya.

Jadwal Andreas yang dulu hanya dipenuhi dengan meeting dan pertemuan penting dengan kolega bisnisnya belakangan ikut dipenuhi dengan jadwal pertemuan dengan putri beberapa rekan bisnis ayahnya. Andreas menghela napas kesal jika mengingat semua itu. Jika tahu semua akan berakhir seperti ini mungkin ia akan memilih cara lain untuk mengusir wanita-wanita yang datang padanya.

"Tidak akan ada asap kalau tidak ada api, Andre. Ayah juga tahu pergaulan-pergaulan menyesatkan di luar sana," balas pria tua itu tegas. Andreas kembali menghela napas, ia sudah lelah bagaimana cara menjelaskan semua ini pada ayahnya. Sepertinya ayahnya mengartikan ketidaktertarikan Andreas pada putri rekan-rekan bisnisnya sebagai tanda-tanda penyimpangan.

"Bagaimana pendapat kamu tentang Bella?"

"No comment!" kata Andreas cepat.

"Loh, kan sudah ketemu dua kali, masa kamu tidak bisa memberikan pendapat kamu tentang Bella?" Protes ayahnya.

Andreas menghela napas lelah mendengarkan bagian kedua ceramah ayahnya. Ia kembali mengingat bagaimana ayahnya langsung bersemangat dan ingin segera menentukan tanggal pernikahan untuknya dan salah seorang putri koleganya ketika Andreas menjawab bahwa wanita itu terlihat baik.

Saat itu ia mengerutkan keningnya dan menatap ayahnya dengan bingung. 'Terlihat baik' bukanlah pujian bagi Andreas, kedua kata itu umumnya digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu yang belum diketahuinya dengan pasti.

Keempat kakaknya terkikik geli melihat ekspresi masamnya. Mereka juga sudah mengetahui situasi Andreas dan mereka semua menyalahkannya karena bermain dengan api. Mereka bahkan mengasihani Alvian yang malang yang juga terkena getahnya dan akhirnya dibenci oleh ayah mereka.

Andreas memijat pelan kepalanya yang mulai berdenyut setelah ceramah Panjang ayahnya yang berdurasi 49 menit akhirnya selesai. Andreas membuat catatan di dalam kepalanya untuk membelikan ibunya hadiah karena memanggil ayahnya untuk segera tidur dan memutuskan sambungan telepon. Ia tahu jika tidak ditegur ibunya, ayahnya mungkin akan menceramahinya sampai salah satu baterai dari ponsel mereka habis.

Andreas berdiri dari sofa dan mendekati ranjang tempat si gadis misterius tertidur lelap. Ia kemudian kembali menyelimuti tubuh kecil wanita itu dan kembali berjalan ke sofa untuk tidur.

Dokter Sheila kembali pagi itu. Ia memeriksa keadaan gadis yang masih terlelap dan mengatakan pada Andreas bahwa mereka akan melakukan beberapa tes dan pemeriksaan menyeluruh untuk memastikan keadaannya.

Melihat wanita yang masih terlelap dalam tidurnya, Andreas memutuskan untuk pulang, berganti pakaian, dan sarapan terlebih dahulu. Ia merasa tidak nyaman jika melewatkan jatah mandi dua kali seharinya.

Ketika Andreas akhirnya kembali melangkah ruangan VVIP 905, ia menemukan si gadis misterius sedang menatap ke luar jendela. Ranjangnya sudah disesuaikan agar ia bisa duduk dengan nyaman.

Andreas berjalan mendekat, namun gadis itu sama sekali menyadari kehadirannya dan terus melamun. Andreas merasa dadanya terasa perih ketika menangkap tatapan mata hampa seolah gadis itu sudah kehilangan semangat hidupnya.

"Sudah bangun?" tanya Andreas mencoba menarik gadis itu kembali pada realitas. Gadis kecil itu berbalik menatapnya dengan terkejut dan terlihat sedikit salah tingkah. Andreas tersenyum melihat kehidupan seolah kembali memenuhi manik mata gadis itu.

"Ya, saya baru saja bangun beberapa saat yang lalu," gadis itu menjawab sambil tersenyum simpul. Suaranya terdengar serak dan tidak terlalu keras sehingga Andreas harus berdiri di sampingnya agar bisa mendengar perkataan gadis itu dengan jelas.

"Bagaimana perasaanmu? Apa kamu sudah makan?" Tanya Andreas lembut. Ia jarang berbicara dengan nada seperti itu namun penampilan gadis ini yang terlihat sangat rapuh ditambah dengan suaranya yang lemah membuat sikap Andreas melembut.

"Saya sudah merasa lebih baik. Suster yang membantu saya makan baru saja berjalan keluar. Maaf karena sudah merepotkanmu semalam dan terima kasih karena sudah merepotkan selama ini," Gadis itu terlihat ragu dan sedikit tidak enak atas kejadian tadi malam.

"Tidak masalah, kamu beristirahat saja dulu hingga kondisimu lebih baik," Andreas berkata sambil mengusap rambut gadis itu dengan lembut. Melihat tatapan mata terkejut gadis itu, Andreas menyadari apa yang dilakukannya. Selama ini ia sering mengusap rambut gadis ini ketika ia masih dalam keadan koma jadi tanpa sadar tangannya segera bergerak tanpa bisa dikontrolnya ketika melihat wajah tidak bersemangat gadis di hadapannya.

"Maaf," kata Andreas sambil menarik tangannya.

"Saya Renessa Santoso," kata gadis itu sambil mengulurkan tangannya.

"Andreas, panggil saja Andreas," jawab Andreas singkat sambil menerima uluran tangannya. Ia sebenarnya tidak terlalu suka memperkenalkan dirinya dengan marga keluarganya. Ia merasa seolah pandangan mereka tentangnya akan berubah setelah mendengar namanya.

Keheningan canggung memenuhi ruangan untuk beberapa saat Andreas menatap gadis itu dan menemukan banyak pertanyaan yang ingin diketahui gadis itu.

"apa anda yang menyelamatkan saya dan membawa saya ke sini? Bagaimana anda bisa menemukan saya?" gadis itu bertanya pada akhirnya.

Andrian tertawa mendengarkan pertanyaan yang terdengar sangat formal dari bibir gadis itu, "kamu tidak perlu bicara seformal itu." Gadis itu tersenyum simpul mendengarnya.

Andres menatap gadis itu sesaat dan mulai menceritakan apa yang terjadi secara singkat. Ia juga menjelaskan alasannya tidak mengabarkan hal ini pada pihak kepolisian dan akan menunggu sampai ia terbangun sebelum membuat keputusan apa pun.

avataravatar