webnovel

33. Maaf Yang Manis

Gavin tidak turun dari mobil. Dia hanya mengantar Nyonya Calista sampai depan gerbang, selebihnya Nyonya Calista memilih untuk jalan kaki.

Seperti biasa, rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman, malah yang terjadi sebaliknya. Rumah itu terasa seperti neraka yang selalu membakar siapa saja yang masuk ke dalamnya.

"Istri macam apa yang tidak pernah peduli dengan Suaminya?" sindir Nyonya Amber.

Nyonya Calista tidak langsung menjawab. Jarak mereka masih terlalu jauh bagi Nyonya Calista untuk bicara jadi Nyonya Calista memilih untuk berjalan mendekat sampai jarak mereka berdua tinggal sejengkal.

"Lalu, kau wanita seperti apa yang masuk ke dalam rumah orang lain?" balas Nyonya Calista tepat di depan wajah Nyonya Amber.

Tap... Tap... Tap...

Nyonya Calista berjalan menjauh, masuk ke dalam rumah tanpa menoleh sedikit pun.

"Hanya Istri pertama saja sudah sombong. Kau pikir, status itu bisa bertahan berapa lama?" ucap Nyonya Amber sinis dan suaranya sengaja sekeras mungkin.

"Rebut saja Kalau kau mampu!"

"Aku pasti bisa mendepakmu dalam kehidupan Grissham!" teriak Nyonya Amber.

"Sudah 27 tahun, apa kau masih tidak lelah dengan segala drama menjijikanmu itu?" semakin hari, ucapan Nyonya Calista semakin tajam.

"Bukankah kau yang penuh dengan drama?" balas Nyonya Amber tak ingin kalah.

"Maaf, hidupku terlalu berkelas untuk mengurusi seonggok sampah!"

***

Eve mencubit pipi Guin. Dia benar-benar gemas dengan cara pemikiran Guin yang kekanak-kanakan.

"Apa kau tidak pernah jatuh cinta sebelumnya?" tanya Eve.

"Lepas dulu! Pipiku sakit."

"Kehidupan dewasa tidak akan sama dengan kehidupan kita sewaktu remaja, Guin!" Eve berdiri membelakangi Guin, menatap jendela yang memperlihatkan keindahan langit yang cerah.

"Tapi, aku..."

"Kalau kita menggunakan hati, ya tentu saja akan ada luka tapi kalau kita hidup tidak menggunakan perasaan, akan ada yang akan kita lukai," jelas Eve sembari mengingat mesranya Ralio berbicara dengan wanita lain.

"Eve, kau menangis?"

Guin yang hanya syok hanya butuh ketenangan, tidak membutuhkan infus dan yang lainnya sehingga dia bebas bergerak tanpa dibatasi.

"Hei, kau kenapa?" Guin mengusap airmata Eve.

"Aku sedih! Ternyata kita sudah sedewasa ini. Kau sudah menikah dan aku masih jomblo. Huaaaa... Hiks... Hiks..." tangis sedih itu menjadi tangis haru yang bisa dijadikan bahan ejekan oleh Guin.

"Bukankah kau lebih suka jomblo?" sindir Guin.

"Aku juga ingin punya pacar, tahu!"

"Kau dan Ralio tidak pacaran?"

Pertanyaan Guin mengingatkan ucapan Ralio yang mengatakan kalau dia sudah memiliki kekasih.

'Apa wanita itu, kekasih Ralio? Tapi kenapa dia meniduriku?' batin Eve.

"Eve!!!" teriak Guin karena merasa diabaikan.

Tap... Tap... Tap...

Gavin sudah kembali setelah berjam-jam keluar karena jarak yang lumayan jauh. Guin langsung duduk membelakangi pintu. Hari sudah sore, bahkan Guin bisa melihat senja yang mulai datang.

Eve langsung mengambil tasnya dan bergegas pamit pada Guin kalau dirinya harus segera kembali karena memiliki urusan.

"Guin, aku pulang dulu. Besok aku akan menjemputmu," kata Eve.

"Hati-hati ya, Eve!"

Urusan yang Eve sebutkan hanya sebuah omong kosong. Eve sedang menghindari seseorang. Seseorang yang sama sekali tidak ingin Eve lihat untuk saat ini.

"Eve!" Ralio meraih tangan Eve setelah Eve melewatinya.

"..." Eve hanya melirik sinis.

"Kita harus bicara!" ucap Ralio.

'Akhirnya, semua hal yang tidak ingin aku dengar, sebuah kekandasan yang tidak pernah terfikirkan, tiba juga,' batin Eve.

"Hanya 5 menit!" jawab Eve.

***

Kali ini, entah kenapa, Guin merasa begitu kesal. Mungkin saja karena kepolosan Gavin yang selama ini mengiringi, Guin merasa tidak ingin jika kemurnian Gavin harus ternodai.

Guin yang terlalu mencintai dan menginginkan Gavin hanya melihatnya seorang, merasa cemburu hebat. Cemburu yang terlalu vulgar.

"Guin!" Gavin jongkok, tangannya menyentuh tangan Guin dengan begitu mesra.

"Jangan menatapku seperti itu!" di dalam kamar hanya ada mereka berdua.

"Guin, apa Guin menyesal menikah denganku?" tanya Gavin dengan kesedihan yang tersirat dimatanya.

"Kenapa Gavin menanyakan hal itu?"

"Kenapa Guin tiba-tiba marah denganku? Apa aku melakukan kesalahan?"

Guin memalingkan wajahnya. Dia tidak berniat untuk menatap mata Gavin karena Guin akan luluh seketika melihat pesona Gavin.

"Sudahlah. Lupakan!" ucap Guin menghindar.

"Jangan mengelak. Kita tidak boleh mendiamkan masalah yang akan merusak setiap momen indah. Guin, aku mohon, bicaralah!" suara memohon Gavin terdengar seperti pria dewasa.

'Kalau aku mengatkannya, apa Gavin bisa mengerti? Apa dia bisa memahami? Bagaimana dia akan menanggapi perasaan cemburuku? Apa dia akan menghadiahiku lolipop atau hanya berakhir dengan kata maaf? Sebenanya, aku juga tidak tahu apa yang aku inginkan,' batin Guin.

"Tidak ada masalah!" jawab Guin.

"Guin!" Gavin mengecup mesra punggung tangan Guin. "Apa Guin masih butuh waktu untuk mengatakannya? Berapa lama itu, aku akan menunggu," pungkasnya.

"Kau ini sungguH pandai berkata manis ya! Iya aku kesal! Kesal sekali sampai tidak bisa berkata apa-apa. Puas!" teriak Guin.

'Sialan! Ekspresi dan kata-katanya manis sekali,' batin Guin dengan wajah merona yang tersembunyi.

Greppp!

Gavin memeluk Guin seketika itu juga. Guin mengusap punggung Gavin dan mengucapkan kata maaf.

"Maaf, Gavin ak--aku tidak bermaksud untuk membentakmu. Sungguh!" jelas Guin.

"Katakan padaku, Guin. Apa yang membuatmu kesal? Aku melakukan apa sampai tiba-tiba Guin marah?"

"A--aku hanya cemburu. A--aku hanya terlalu syok karena Gavin mengatakan kalau belajar hal dewasa dari video. A--aku..." Guin membenamkan wajahnya di dada bidang Gavin.

"Katakan dengan jelas!" pinta Gavin.

"A--aku tidak ingin kau melihat tubuh wanita lain!" akhirnya, kata yang tersangkut ditenggorkan akhirnya terucap meski suara Guin setengah berteriak.

Gavin masih tidak mengerti. Bagaimana bisa dia yang hanya melihat Guin seorang, mendapat tuduhan tidak masuk akal.

"Jangan lihat aku!" kata Guin malu.

"Guin, siapa yang menyebarkan rumor kalau aku melihat tubuh wanita lain?" tanya Gavin dengan bodohnya.

"Bukankah kau sendiri yang mengatakannya?" Guin melepaskan tubuhnya dari dekapan Gavin. Guin mengentuh sebelah sikunya dan menunduk tanpa berani menatap Gavin.

"Aku? Kapan?"

"Apa kau sudah lupa kalau kau mengatakan padaku belajar melalui video? Berarti kau melihat wanita telanjang, bukan?"

'Hah? Apa Guin berfikir kalau aku melihat video yang... Hahhh, Guin!' batin Gavin.

Gavin mendekati Guin. Membuat Guin menengadah melihatnya dengan ekspresi malu-malu.

"Aku tidak melihat video seperti yang Guin pikirkan."

"?"

"Aku mencari materinya, mendengarkan penjelasannya. Bukan melihat cara prakteknya. Hmmm, atau jangan-jangan Guin sudah tidak sabar untuk praktek denganku?" goda Gavin.

"A--apa? Cih, omong kosong!" elaknya.

"Aku hanya ingin dan hanya akan melihat tubuh Guin saja. Ngomong-ngomong, tubuh Guin sangat indah!" bisik Gavin.

"Kau--kau, jangan terlalu dekat!" Guin mendorong Gavin menjauh tapi Gavin menangkap tangan Guin.

"Dalam hidupku, hanya akan ada Guin satu-satunya yang akan menjadi Istriku. Hanya akan ada tubuhnya yang setiap hari aku lihat. Hanya Guin yang akan aku sentuh, aku raba sampai Guin memohon ampun."

"Cu--cukup!" Guin berdebar mendengar penjelasan Gavin.

"Aku akan membuat malam pertama kita, menjadi malam yang tidak akan pernah bisa kita lupakan, Guin!"

Next chapter