31 31. Cemburu

"Ayah, kalau aku menyukai pria miskin, bagaimana tanggapan Ayah?"

Tuan Hafsyah menghela nafasnya sejenak. Dia mengusap lembut rambut Eve dengan senyum merekah menghiasi bibirnya.

"Ayah tidak akan memberikan tanggapan apapun. Ayah sudah salah dalam menilai Guin. Ayah tidak ingin salah lagi. Putri Ayah sudah dewasa. Bisa menilai baik melebihi pandangan Ayah," Eve terharu dengan jawaban Tuan Hafsyah.

Eve memeluk Tuan Hafsyah yang sedang menyetir dengan dengan kecepatan sedang.

"Eve, Ayah sedang menyetir," ucap Tuan Hafsyah.

"Maaf! Eve terlalu senang mendengar pengertian dari Ayah."

Mobil yang Eve naiki, melewati beberapa belokan, beberapa lampu hias jalanan, beberapa lampu rambu, banyak yang sudah dilewati. Akhirnya, sampailah mereka di mall yang begitu besar. Terdapat bioskop, barang-barang branded, bahkan ada caffe yang terkenal dengan makanannya yang sangat enak.

"Eve ingin membeli apa, katakan saja pada Ayah. Ayah akan membeli semua yang Eve mau," ucap Tuan Hafsyah.

"Wahhh, royal sekali," sindir Eve.

"Apa selama ini Ayah pelit?"

"Sedikit!" jawab Eve sembari tersenyum.

Tap... Tap... Tap...

Tuan Hafsyah dan Eve keluar dari mobil dan berjalan menjauhi tempat parkir. Tuan Hafsyah mengecek semua sakunya dengan wajah yang bingung.

"Ayah sedang mencari apa?" tanya Eve.

"Sepertinya dompet Ayah ketinggalan di mobil," jawab Tuan Hafsyah.

"Kemarikan kunci mobilnya," pinta Eve.

"Untuk apa?"

"Mengambil dompet Ayah. Lagian tidak jauh juga. Ayah tunggu aku di sini," jelas Eve.

"Biar Ayah saja."

"Aku saja!" Eve merebut kunci mobil yang sedang Tuan Hafsyah pegang.

Tap... Tap... Tap...

Eve berjalan cepat karena tempat parkir tidak seberapa terang. Eve langsung mencari ke semua tempat untuk menemukan dompet Tuan Hafsyah.

"Ayah meletakkannya di mana? Apa tertinggal di rumah?" gumam Eve.

Eve duduk santai. Dia mengeluarkan ponselnya dari tas kecil yang Eve bawa. Eve mencari nomor Ibunya yang saat ini sedang berada di rumah.

Tutttt... (Tersambung)

"HALLO!"

"Ibu, apa Ibu masih di rumah?" tanya Eve.

"IYA. ADA APA, EVE?"

"Ibu, apa dompet Ayah tertinggal di kamar?"

"JELAS. DOMPET ITU DUDUK MANIS DI ATAS MEJA."

"Ya sudah kalau begitu."

"TUNGGU! EVE, KAU DAN AYAHMU DI MANA?"

"Di mall! Aku dan Ayah mau belanja hari ini."

"KENAPA TIDAK MENGAJAK IBU?" suara Nyonya Hafsyah terdengar kesal.

"Ibu, aku sedang memilih barang yang sangat bagus dan mahal. Sudah dulu ya! Byeee..."

Begitulah Eve. Dia suka menggoda Ibunya sendiri. Ibu yang selalu menolak kalau di ajak keluar rumah untuk jalan-jalan atau liburan tapi selalu menyusul dengan kesal kalau tidak di ajak pergi.

"Ibu pasti langsung ke sini. Penyakit lama," gumam Eve.

Eve menutup pintu, mengunci mobil mewah milik Ayahnya. Tubuhnya diam kaku saat berbalik dan melihat seorang pria dan wanita tengah keluar dari mobil yang sama.

"Bukankah itu Ralio? Jadi, dia memilih untuk bersama wanita lain?" gumam Eve dengan tangannya yang mengepal.

Eve bukan wanita yang akan menangis atau memohon saat merasa cemburu. Eve tipe wanita yang akan diam seribu bahasa. Tidak akan menanggapi masalah kalau hatinya belum merasa tenang.

'Mungkin saja mereka hanya sebatas teman,' batin Eve.

Siapa pun akan salah paham kalau melihat pria yang sudah menidurinya, berbicara dengan begitu akrabnya dengan wanita lain, sedangkan dengan dirinya, Ralio masih berbicara sangat formal.

"Aku benar-benar sangat kesal!"

***

Tok... Tok... Tok...

"A--ada tamu," ucap Guin panik.

"Siapa ya?" gumam Gavin.

Gavin memakai bajunya kembali. Gavin juga tidak lupa menyiapkan pakaian untuk Guin beserta dalamannya.

"Ga--gavin, kapan..." Guin jadi gagu saat melihat Gavin mengeluarkan pakaian untuknya dari bag paper beserta bra dan celana dalam senada.

"Pffftttt... Ukurannya mungkin pas," ucap Gavin.

Gavin meninggalkan Guin yang tengah tersipu malu. Gavin keluar dari kamar dan membuka pinta. Melihat siapa yang mengunjunginya ke villa.

Ceklek!

"Mommy!" pekik Gavin.

"Mommy hanya mampir sebentar. Kau tidak perlu terkejut seperti itu. Hmmmm... Ngomong-ngomong, sudah sampai tahap mana?" goda Nyonya Calista.

"Tahap apa?" Gavin pura-pura tidak menanggapi.

Tap... Tap... Tap...

Nyonya Calista masuk begitu saja. Dia duduk di atas sofa dengan sangat anggun. Gavin memperhatikan mata Nyonya Calista yang tertutup oleh make up tebal.

"Tumben Mommy memakai make up?" Gavin berjongkok dengan tangan yang menyentuh tangan Nyonya Calista.

"Apa kau tidak suka melihat Mommy tampil cantik?" elaknya.

"Apa Mommy pikir, Mommy bisa membohongiku? Daddy pasti membuat Mommy menangis lagi."

"Kau ini. Selalu saja tahu."

"Mommy, sabarlah! Sebentar lagi. Tinggal selangkah lagi, semuanya akan berakhir," ucap Gavin.

Tap... Tap... Tap...

"Mommy!" panggil Guin yang baru saja keluar dari kamar.

"Nah, Guin. Kau lihat Suamimu ini, begitu manja kalau Mommy datang," sahut Nyonya Calista.

"Guin, jangan percaya Mommy," ucap Gavin manja.

Guin mendekati Gavin yang merebahkan kepalanya dipangkuan Nyonya Calista. Obrolan mereka berdua berhenti karena kedatangan Guin.

Ada candaan tapi suasana tetaplah canggung. Guin hanya mematung saja, bertingkah kikuk seperti baru pertama kali bertemu dengan Mertua.

"Mommy, aku buatkan teh, ya?" ucap Guin.

"Hangat saja ya. Mommy langsung ingin minum dan pulang."

"Loh, kenapa hanya sebentar?" tanya Guin.

"Mommy tidak akan mengganggu kalian. Kalau ingin segera mendapatkan cucu, tentu saja Mommy harus membuat kalian menghabiskan waktu berdua."

"Ak--aku buat minum minum dulu," Guin langsung menghindar dari obrolan perihal cucu.

Guin membuat teh hangat dan mengeluarkan camilan ringan yang Gavin beli. Sejenak Guin terlelap dalam lamunannya.

'Bukan aku tidak ingin, Mom tapi keadaan Gavin yang tidak memungkinkan. Aku akan berusaha mengerti tanpa mengeluh,' batin Guin.

Guin tidak sadar kalau Gavin berada disebelahnya. Memperhatikan wajahnya yang menatap gelas berisi teh yang sedang Guin aduk. Pandangan Guin kosong tapi Gavin membiarkan Guin menikmati imaginasi.

"Kalau terus seperti ini tanpa perkembangan, mungkin Mommy akan kecewa karena cucu yang terus dia bicarakan, tidak akan pernah terwujud," gumam Guin lirih.

Gavin tercengang dengan apa yang Guin ucap dalam ketidaksadarannya. Untuk usia dewasa yang sudah menikah, tentu saja kebutuhan bukan hanya nafkah lahir semata.

'Guin, kau memang wanita terbaik yang Tuhan berikan untukku ditengah-tengah perseteruan yang rumit,' batin Gavin.

"Guin!" panggil Gavin sembari menyentuh tangan Guin.

"Ah! Gavin, sejak kapan kau di sini?" tanya Guin gugup.

"Baru saja," jawab Gavin. "Ada apa? Kenapa kau gugup?" imbuhnya.

"Tidak ada. Ak--aku hanya takut kalau tehnya terlalu lama," elak Guin.

Gavin mengambil sendok kecil yang ada ditangan Guin. Meletakkannya diatas nampan kecil.

'Apa yang mau Gavin lakukan?' batin Guin.

"Aku berbohong satu hal tapi untuk saat ini, aku belum menjelaskannya pada Guin," ucap Gavin serius.

"Kebohongan? Soal apa? Soal uang yang Gavin pakai untuk membayar keperluan kita?" tanya Guin lirih.

"Bukan!" jawab Gavin sembari menggelengkan kepalanya.

"Lalu?"

"Soal..."

avataravatar
Next chapter