29 29. Guin, aku menginginkanmu!

Guin mengernyitkan keningnya saat mentari pagi menyergap menyinari wajahnya. Guin meraba ranjang tapi tidak mendapati Gavin ada di sana.

"Gavin!" tidak ada jawaban dari Gavin.

Dengan sangat malas menerjang tubuh, Guin memaksakan diri untuk langsung membersihkan tubuhnya dan mencari Gavin.

SRASHHH... SRASHHH... SRASHHH...

Tubuhnya langsung terasa segar saat air hangat membasahi tubuh. Rambut yang basah, berbusa oleh shampoo dengan wangi buah-buahan yang menyegarkan.

Klontanggg!

"Awhhhhh!" teriak Gavin.

Teriakan itu mengejutkan Guin. Apalagi teriakan itu di iringi dengan suara benda jatuh. Guin yang baru saja menyelesaikan ritual mandinya, langsung berlari hanya mengenakan handuk. Rambutnya bahkan masih basah, airnya bahkan masih menetes.

DRAP... DRAP... DRAP...

"Gavin!" teriak Guin.

Gavin yang sedang memegang jarinya, terbelalak dengan Guin yang mendatanginya dengan penampilan yang sangat sexy.

"Gavin, kau mimisan!" Guin langsung mengambil tissu dan mengusap hidung Gavin.

'Tahan, Gavin!' batin Gavin.

"Guin!" Gavin memegang tangan Guin yang sibuk membersihkan hidungnya.

"Iya, kenapa?" tanya Guin.

"Kau sangat cantik!" puji Gavin.

"Diamlah! Aku sedang membersihkan hidungmu, Gavin. Diam dan patuh!" ucap Guin.

"Guin!" bisik Gavin.

"Apa la..." kalimat yang terucap tidak selesai. Wajah Gavin yang dekat dengan wajah Guin, membuat bibir mereka saling menempel dan pada akhirnya, Guin menjadi bungkam. Bibir yang saling bersentuhan ketika Guin menoleh, membuat jantungnya semakin berdebar.

"Masih pagi tapi Guin sudah memberikanku sebuah ciuman," ucap Gavin tanpa menganggap semua debaran Guin.

"It--itu tidak sengaja!" elak Guin.

Gavin menyentuh dagu Guin. Menatapnya dengan lekat menggunakan matanya yang indah. Gavin memberikan sebuah senyuman manis yang menyegarkan.

"Bagaimana kalau sekarang kita lanjutkan dengan sengaja?" rayu Gavin.

"Gavin, kau ini bicara ap..."

Lagi-lagi, kalimat yang terucap dari bibir Guin tidak terselesaikan. Gavin sudah melumat bibir Guin sebelum suaranya keluar sepenuhnya.

'Hmmmm... Rasa mint?' batin Gavin.

Gavin makin memperdalam ciumannya. Ciuman selamat pagi penambah semangat. Guin tidak bisa mengelak karena tidak dipungkiri, gairahnya cepat naik saat pagi hari.

"Selalu manis," kata Gavin.

"Berhenti menggodaku!" ucap Guin.

"Guin, tanganku terluka. Berdarah karena aku ingin memotong buah untuk Guin," jelas Gavin sembari menunjukkan tangannya yang berdarah.

'Tipu muslihat apalagi ini?' batin Guin.

Guin menarik Gavin mendekati westafel untuk mencuci tangannya yang terluka setelah itu mengobatinya. Tapi Guin menolak dengan ekspresi wajah takut.

"Guin, aku tidak mau kalau lukanya dicuci," tolak Gavin.

"Kenapa?" tanya Guin.

"Perih!" mata Gavin berkaca-kaca.

'Gavin, sesaat aku sempat lupa dengan dirimu yang sebenarnya. Aku sempat tertipu dengan dirimu yang agresif. Yeah, aku hamir lupa kalau aku dinikahi oleh pria yang berumur 5 tahun,' batin Guin.

"Baiklah! Aku akan membersihkannya tanpa air," ucap Guin.

Gavin sudah duduk di atas sofa. Darah masih mengalir meski beberapa kali, Guin sudah mengusapnya menggunakan tissu.

"Uhhhhh!" mata Guin langsung terbelalak saat mendengar desahan yang keluar dari mulut Gavin ketika jari Gavin dihisap oleh Guin.

'Jadi seperti ini suara desahan Gavin?' batin Guin.

Drama luka sudah selesai. Sekarang berganti drama dengan handuk yang melilit tubuh Guin.

Gavin sangat pandai mempermainkan situasi dan mengatur suasana. Segala siasat untuk menggoda Guin, merasuk dalam otaknya. Tidak peduli pagi, siang, sore atau malam.

"Kyaaaa!" teriak Guin.

Guin memegang kaitan handuk yang terlepas saat Gavin tiba-tiba mengangkat tubuhnya untuk duduk dipangkuan Gavin.

"Ternyata kalau cahaya terang seperti ini, tubuh Guin terlihat putih dan mulus ya," ucap Gavin tanpa ekspresi.

Gavin yang pandai menyembunyikan ekspresinya, membuat Guin berfikir dengan segala tindakan Gavin, hanya godaan karena Gavin sedang puber.

"Gavin bicara apa?" Guin menahan rasa malunya.

"Guin, kalau aku pria normal, apa sekarang Guin sudah hamil?"

"Siapa yang mengatakan hal itu?" ucap Guin kaget.

"Ada yang mengatakannya. Aku buka komputer dan mencari tahu bagaimana membuat Guin hamil," ucap Gavin sedih.

"Hmmmm... Gavin nonton videonya?" tanya Guin.

"Tidak. Hanya membaca materi dan novel dewasa. Guin, aku tidak yakin tapi aku ingin mencobanya. Mencoba pengetahuanku dengan otakku yang terbatas."

"Gavin tidak perlu bersedih. Bagaimana keadaan Gavin, aku tidak akan menuntut lebih," Guin memeluk Gavin.

"Apa Guin mau mencoba pengetahuanku?" Guin diam kaku.

Guin tidak tahu apa yang harus dia katakan. Menolak akan membuat Gavin merasa kalau kapasitas otaknya yang terbatas, tidak berguna.

"Apa Gavin yakin?"

'Kalau dia sembarangan dan membuatku kesakitan bagaimana?' batin Guin cemas.

"Guin tidak perlu cemas karena aku tidak akan menggoreskan luka sedikit pun," Gavin seperti bisa membaca kecemasan Guin.

"Ak--aku tidak cemas, Gavin," elak Guin.

Gavin berdiri dengan membawa tubuh Guin dalam dekapannya. Entahlah. Lagi-lagi, Guin merasa dirinya tertipu dengan sikap Gavin yang berubah-ubah.

"Gavin, kenapa sikapmu terus berubah? Mana dirimu yang sebenarnya?" tanya Guin.

"Dua-duanya adalah diriku. Aku bisa menjadi pria yang Guin andalkan. Aku belajar bagaimana menjadi pria dewasa yang mengasihi Istrinya."

Tap... Tap... Tap...

Gavin membawa Guin masuk ke dalam kamar. Gavin menurunkan Guin disamping ranjang yang sudah rapi oleh gerakan tangan Guin.

"Apa tubuh wanita dan pria berbeda? Aku hanya tahu perbedaan di area dada saja," ujar Gavin tanpa malu.

"Gavin, ber--berhenti berbicara begitu. Ak--aku malu," kata Guin berterus terang.

Mungkin hormon Gavin sedang naik saat ini. Dia tidak seperti biasanya. Meski bibir Guin menjadi candu untuknya tapi ciumannya akan hati-hati, tidak seperti saat ini.

Gavin mencium Guin dengan gerakan reflek bersama hembusan nafasnya yang terengah-engah.

"Aku akan membuka handuknya kalau Guin mengijinkan. Aku akan mengurungkan niat untuk praktek. Aku hanya ingin melihat tubuh Guin saja," rayu Gavin.

"Bu--bukalah!" jawab Guin dengan wajah yang merona.

""Sungguh?"

Guin mengangguk. Guin memejamkan matanya setelah merasakan handuk yang dia pakai perlahan jatuh ke bawah.

Gavin tidak tahan melihat tubuh Guin. Hidungnya kembali mimisan. Guin menanti dengan apa yang akan Guin lakukan tapi tidak ada sentuhan apapun sampai tubuhnya merasa kedinginan.

Guin membuka matanya, melihat Gavin yang sedang memegang hidungnya. "Gavin, kau mimisan lagi?" pekik Guin.

Guin memakai ganduknya lalu mengambil kain bersih dan membasahinya. Guin mengusap hidung Gavin, membersihkannya sampai tidak ada lagi darah yang keluar.

"Gavin, apa Gavin sedang sakit?" tanya Guin.

BRUKKK!

Gavin mendorong Guin sampai tubuhnya terlentang diatas ranjang. Gavin merangkak di atas tubuh Guin. Dorongan lembut penuh cinta yang membuat Guin terlena sesaat.

"Aku tidak sakit, Guin tapi..."

"Gavin, bisakah kita bicara dengan posisi yang wajar?"

Posisi mereka terlalu intim. Guin juga tidak nyaman dengan tatapan Gavin yang asing baginya. Tatapan hangat berubah menjadi tatapan panas.

"Guin, aku menginginkanmu!"

avataravatar
Next chapter