webnovel

Istri Kecil Presdir

Keluarga Grissham memiliki 2 penerus. Hanya saja, lahir dari wanita yang berbeda. Gavin Grissham, penerus pertama dan tentu saja dari Istri pertama, seharusnya menjadi kebanggaan. Namun semua itu hanyalah sebuah mimpi. Davin Grissham terlahir tidak sempurna sehingga hanya tubuhnya saja yang berkembang pesat tapi otaknya memiliki IQ rendah dan membuat Gavin bersikap seperti anak yang berumur 5 tahun. Siapa yang sudi menikah dengan pria tidak normal? Sedangkan, menikah adalah syarat utama dari Tuan Grissham untuk mendapatkan hak waris. Guinnevere, Putri angkat Tuan Grissham harus menelan kepahitan itu karena dipaksa menggantikan Agatha menikah dengan Tuan muda Gavin. Bisakah Guin menerima Tuan muda Gavin?

Sabrina_Angelitta · Teen
Not enough ratings
304 Chs

27. Merona

Guin menemui Nyonya Calista yang menikmati suasana pagi. Ditangan Guin sudah ada bekal yang sudah Guin siapkan untuk makan siang Gavin.

Gavin mengatakan akan pulang malam karena ada les tambahan. Guin mau meminta ijin untuk mendatangi Gavin.

"Mommy!" panggil Guin.

"Iya, sayang!"

"Apa aku boleh pinjam mobil Mommy?"

"Hmmmm? Kau mau ke mana?" tanya Nyonya Calista.

"Mengantarkan makanan untuk Gavin."

"Apa kau tahu di mana Gavin sekolah?"

"Ahhhh, iya juga. Aku tidak tahu," ucap Guin.

"Bukankah kau ada kelas sekarang? Kemarikan makanannya. Biar Mommy yang antar sekalian mengantarmu ke kampus," ujar Nyonya Calista.

"Tapi Mom..."

"Ayo! Mommy ambil kunci mobil dulu."

Gagal sudah. Padahal cara ini adalah jalan satu-satu supaya Guin mengetahui di mana Gavin sekolah.

Gavin tidak pernah memakai seragam, jadi Guin tidak mengetahui aktifitas Gavin.

"Guin, ayo sayang!"

Guin terpaksa mengikuti Nyonya Calista. Dia tidak ingin, Nyonya Calista mencurigainya.

'Ingin mengenal Suami sendiri saja, kenapa sulit sekali?' batin Guin.

Mobil sudah melaju. Nyonya Calista menyetir dengan begitu nyaman.

"Mommy, sebenarnya Gavin sekolah di mana? Kenapa sering kali pulang larut?"

"Guin tahu, bukan. Gavin memiliki kekurangan. Dia berusaha begitu keras untuk mendapatkan nilai terbaik."

"Apa dia tidak kelelahan?"

"Soal itu, bisa menjadi obrolan untuk kalian. Supaya kalian bisa lebih dekat. Guin bisa langsung tanyakan pada Gavin, ya!" suara Nyonya Calista yang begitu lembut, membuat Guin menjadi luluh.

Banyak sekali mobil yang berlalu lalang. Guin sedang menghitung pepohonan dijalanan sebagai obat jenuh.

Nyonya Calista tidak mengucapkan sepatah kata lagi. Apa saja pertanyaan Guin tentang Gavin, Nyonya Calista meminta Guin untuk menanyakan langsung pada Gavin.

"Sayang, hati-hati ya. Nanti kalau bukan Gavin yang jemput, berarti Mommy ya," ucap Nyonya Calista.

"Iya, Mom. Mommy hati-hati ya."

Kebersamaan yang berakhir dengan lambaian tangan. Guin lupa tidak membawa ponselnya.

"Aduhhh, kenapa bisa lupa?" gumam Guin.

Kelas tinggal 10 menit lagi akan dimulai. Guin bergegas tanpa menunggu Eve karena mungkin saja Eve sudah berada di kelas.

Guin menoleh kanan dan kiri, mencari keberadaan Eve. Biasanya mereka saling menunggu, siapa yang datang lebih dulu tapi kali ini, sampai pelajaran berakhir, Eve tidak terlihat oleh mata.

"Nes, tahu Eve gak?" tanya Guin.

"Dia gak ikut kelas. Aku juga tidak melihat Eve dari awal," jawab Anes.

"Thanks, Nes!"

'Eve kemana ya? Dia gak ikut kelas. Dia gak masuk kampus. Kenapa juga ponsel harus tertinggal, sih?' batin Guin.

Masih ada kelas kedua. Guin nitip absen pada Anes. Guin memilih untuk mencari Eve di apartementnya.

Guin hendak memanggil taxi tapi matanya terbelalak ketika melihat pria tampan yang keluar dari mobil mewah.

"Gavin!"

"Istriku!" ucap Gavin manja.

"Ak--aku masih ada kelas!" ucap Guin gugup.

"Kalau masih ada kelas, kenapa sekarang ada diluar?"

"Ak--aku mau menemui Eve sebentar."

'Eve? Eh, bukankah Ralio sedang mencari Eve? Aku tidak boleh membiarkan Guin mengganggu mereka,' batin Guin.

"Guin, aku lapar!"

"Tap--tapi..."

Huffffffftttt...

Guin menghela nafasnya. Menatap wajah Gavin yang sedih. Guin melingkarkan lengannya dilengan Gavin.

"Ayo kita makan. Bukankah Mommy sudah mengantarkan makanan untuk Gavin?"

'Gawat! Makanannya sudah habis aku makan. Aku harus cari alasan apa ya?' batin Gavin.

"Sebenarnya, makanan yang dari Mommy sudah aku makan," ucap Gavin jujur.

"Sudah makan tapi ingin makan lagi?"

"Sebenarnya aku bolos dari sekolah. Aku pengen sama Guin. Main bersama Guin," ucap Gavin.

'Ucapannya selalu saja terdengar begitu manis,' batin Guin.

"Cuacanya bagus. Bagaimana kalau kita pergi berenang?" ajak Guin.

"Kita berenang di Villa Mommy saja. Eh, tapi Guin tidak boleh mengatakan pada siapa pun tentang Villa ini ya," ujar Gavin.

"Aman! Tapi kenapa?"

"Itu pesan Mommy."

"Anak yang penurut," Guin mengusap ujung kepala Gavin.

Ada suatu kebanggaan, ada suatu keinginan, ada suatu kekecewaan. Semua sudah pada porsinya masing-masing.

Kesalahpahaman yang terjadi karena tiada kejujuran. Guin ingin menceritakan masalah orang dewasa tapi melihat kekurangan Gavin, Guin selalu mengurungkan niatnya.

Sebaliknya, Gavin ingin mengayomi Guin, memberikan Guin kebahagiaan, tapi tanpa sadar, apa yang Gavin sembunyikan membuat Guin hanya menjalani kehidupannya dalam khayalan semata.

"Guin, maaf ya!"

"Ada apa?"

"So--soal semalam..."

Happp...

Guin menutup bibir Gavin. "Jangan bahas semalam. Ak--aku malu," ucap Guin.

"Aku lebih malu," Gavin melumat telapak tangan Guin.

"Kyaaaa... Apa--apa yang Gavin lakukan? I--ini di dalam mobil," kata Guin gugup.

"Ah, maaf! Terbawa suasana," elak Gavin.

"Jangan bahas lagi. Ak--aku sunggu malu, Gavin."

"Aku jauh lebih malu dari Guin."

"Kenapa?"

"Semalam Guin menyentuh dan melihat milikku tapi aku belum melihat milik Guin. Apa bentuknya sama?"

"Hah? Ga--gavin, ki--kita bahas yang lain saja," ujar Guin gugup.

'Masa aku harus mengatakan, tidak sama Gavin. Kalau sama, bagaimana bisa dipasangkan? Aku tidak segila itu, mengajarkan anak kecil hal dewasa,' batin Guin.

"Guin, kenapa melamun?" tanya Gavin.

"Ak--aku tidak..."

"Wajah Guin merona," bisik Gavin.

"Jangan dekat-dekat!" Guin sedikit mendorong Gavin.

'Telinga Guin merah. Apa dia sedang... Jangan-jangan dia...' batin Gavin.

'Kenapa Gavin juga merona?' batin Guin.

Mereka berdua sama-sama menunduk. Mesin mobil masih mati. Belum Gavin hidupkan.

"G..." bibir mereka saling bersentuhan ketika mendongak bersama. Bahkan nama mereka belum terucap dengan sempurna.

"Ah, maaf! Aku tidak sengaja," ujar Guin.

"Aku juga tidak sengaja, tapi Guin, aku tidak menyesal," sahut Gavin.

"Ti--tidak menyesal soal apa?"

"Soal ciuman barusan!" jawab Gavin tanpa basa-basi.

'Kenapa dia begitu berterus terang?' batin Guin.

Deg... Deg... Deg...

Guin berdebar. Gavin pun sama. Wajah mereka sama-sama merona. Ciuman yang sudah pernah terjadi, tetap saja membuat mereka malu.

Pasangan baru yang saling membuat pusing satu sama lain. Guin pusing menanggapi Gavin, sedangkan Gavin pusing karena harus mencari alasan untuk menutupi sosok dirinya yang asli.

"Guin tadi makan coklat ya?" tanya Gavin.

"Tidak. Aku hanya minum air putih."

Gavin menyentuh dagu guin. Dia menatap Guin. Tatapannya begitu dalam sampai membuat Guin tak bisa berkutik.

"Kenapa rasanya manis?" jari Gavin mengusap lembut bibir Guin.

"Oh ya? Manis seperti coklat?"

"Kurang terasa karena hanya sebentar. Bagaimana kalau..." Gavin diam sejenak.

"Kalau apa?" Tanya Guin penasaran.

"Kalau kita ulang lagi!"

Gavin selalu tahu kalau Guin akan terbelalak. Sebelum hal itu terjadi, Gavin menutup mata Guin dengan tangannya.

Bibirnya maju, mengecup dan melumat bibir Guin lebih dalam.

'Bukan bibirku yang manis, tapi bibirnya,' batin Guin.

"Bagaimana? Apa Guin ingin lagi?"

"Kau--kau..." suara Guin seakan tertelan kembali.

"Aku semakin hebat dalm berciuman, bukan? Jawab Guin," tanya Gavin memelas.

"Lu--lumayan!"

"Bagaimana kalau kita mencobanya lagi?"