webnovel

19. Wajah Merona

"Mommy!" pekik Guin lirih.

"Hsssstttt..." Gavin menyentuh bibir Guin dengan jarinya, menandakan bahwa Guin harus diam.

Guin kembali terbelalak. Jantungnya hampir saja copot karena bukannya membuka pintu, Gavin malah merebahkan Guin.

Awalnya Guin berfikir Gavin memintanya untuk tidur dan Gavin yang akan mengatasinya. Tapi, apa yang Guin pikirkan sangatlah salah.

Gavin merangkak naik ke atas tubuhnya. Tangannya membelai lembut rambut guin yang menutupi wajah cantiknya.

"Gavin, Mommy!" ujar Guin lirih.

"Mommy ada di luar. Kita ada di dalam. Mommy tidak mungkin mendoprak pintu kamar kita," kata Gavin sembari mencium jari jemari Guin.

"Emmmm... Tapi..." Wajah Guin memerah. Malam ini, Gavin terlihat sangat berbeda dengan dia yang biasanya.

"Lihat, Mommy tidak mungkin masuk."

Brakkk!

Gavin dan Guin menoleh. Nyonya Calista masuk dengan membuka pintu menggunakan kunci cadangan.

Nyonya Calista bersandar pada dinding sembari memutar-mutarkan kunci di jarinya. Sudah seperti mucikari yang mengawasi cara kerja orangnya

"Mom!" pekik Gavin.

"Guin, maaf ya. Mommy pinjam Gavin sebentar," ujar Nyonya Calista.

"Iy--iya Mom!" jawab Guin gugup sembari mendorong Gavin.

"Gavin, ikut Mommy sebentar ya," ujar Nyonya Calista.

"Sana. Setelah itu kita makan malam," rayu Guin.

"Makan Guin!" bisik Gavin sembari pergi.

'Apa aku tidak salah dengar? Mommy memanggil Gavin, jangan-jangan untuk mengajarkan malam pertama. Tidak. Aku tidak boleh berfikir buruk,' batin Guin.

***

Ceklek...

Pintu kamar terkunci. Nyonya Calista dan Gavin sudah berada dalam kamar.

"Mommy jangan menatapku seperti itu," kata Gavin lirih.

"Mommy mengaku salah karena masuk kamar disaat yang tidak tepat," jelas Nyonya Calista.

"Ada hal penting apa?" tanya Gavin.

"Apa kau mengakusisi perusahaan milik Tuan Garmond?"

"Bisa dikatakan seperti itu," ujar Gavin sembari duduk. "Aku merubah semua aset atas nama Guin. Harta itu milik Guin," imbuhnya.

"Anak Mommy benar-benar sudah dewasa ya," puji Nyonya Calista.

"Mommy tenang saja, soal foto itu, bukan foto Guin. Semuanya akan berjalan sesuai rencana kita."

"Jangan menggunakan nada seperti itu. Kau terlihat seperti orang yang jahat," sindir Nyonya Calista.

"Pfffttt... Apa sangat tidak cocok?"

"Sama sekali tidak cocok."

"Mommy lebih suka melihatku seperti ini? Mommy... Mommy... Suapin!" ejek Gavin.

"Kau ini. Secepatnya, kau akan hidup dengan normal bersama Guin. Kembalilah ke kamar. Guin pasti sudah menunggumu," pinta Nyonya Calista.

"Selamat tidur Mom!"

Cup...

Sebelum keluar, Gavin mengecup pipi Nyonya Calista.

'Tuhan, terimakasih sudah memberikan Gavin sebagai penguatku.'

***

"Guin! Guin! Guin!" panggil Gavin berulang kali.

"Iya, Gavin!" sahut Guin.

"Mommy marah!" ujar Gavin sembari masuk.

Gavin duduk di kursi yang sudah dipersiapkan untuk mereka berdua makan malam. Gavin memasang wajah lesu.

"Mommy marah kenapa?" tanya Guin lembut.

Entahlah. Suara Guin terdengar seperti ice Cream yang meleleh ke dalam mulut.

Guin mendekat dan berdiri disamping gavin. Gavin memeluk pinggang Guin dan menyandarkan kepalanya diperut Guin.

"Mommy marah. Apa Guin juga akan marah?" kata Gavin manja.

"Iya, kenapa Mommy marah?"

"Minta cucu. Buatnya bagaimana?"

"Hah? Emmm... Kita makan dulu ya. Setelah itu kita bicarakan lagi."

'Mommy, kenapa membuatku kesulitan?' batin Guin.

Gavin santai, menghabiskan makanan sampai tidak ada lagi yang tersisa.

Berbeda dengan Guin. Guin merasa lapar tapi apa yang dia makan, tidak bisa ditelan. Guin memikirkan bagaimana menjelaskan pada Gavin, sedangkan dia sendiri tidak berpengalaman ke hal intim.

"Guin mau aku suapi?"

"Tidak! Aku suapi Gavin makan saja. Aku sudah senang kalau Gavin makan dengan baik."

Gavin menatap Guin cukup lama. Lalu dia tertunduk dengan wajah yang merona.

"Guin, kemarilah!" pinta Gavin lirih.

Srekkk...

Guin berdiri. Guin mendekati Gavin sesuai keinginannya. Gavin mendongak. Memperlihatkan wajahnya yang haus akan sebuah cinta.

"Kyaaaaa..." pekik Guin.

Guin melingkarkan sebelah tangannya ke pinggang Guin dan sebelah tangannya lagi di bawah pinggul.

Wangi Guin seperti sebuah candu. Gavin mengusap-usapkan wajahnya ke perut Guin.

Tidak ada yang tahu, apa yang saat ini Gavin pikirkan. Guin tidak berani untuk menerka-nerka karena Gavin bisa berubah seperti orang lain dalam sekejap mata.

"Guin sangat cantik!" puji Gavin.

Gavin mengangkat tubuh Guin menggunakan lengannya yang kuat. Pinggul Guin duduk di lengan Gavin dan Gavin membawanya keluar menuju balkon.

Dingin. Itulah yang dirasakan oleh Guin ketika angin malam menyergap kulitnya.

"Kenapa membawaku ke sini?" tanya Guin.

Gavin menurunkan Guin. Lalu memeluk Guin dengn sangat erat. Dinginnya angin tersingkir oleh kehangatan yang gavin berikan.

"Apa sudah hangat?" kata Gavin lirih

"Iya. Sangat hangat!" Guin membalas pelukan Gavin.

"Kalau seperti ini, bukankah posisiku sebagai Suami Guin berguna?"

"Kau selalu berguna. Siapa yang mengatakan kalau kau tidak berguna?"

"Semua orang, kecuali Mommy!"

Guin melepaskan diri dari pelukan Gavin. Tangannya yang lentik menyentuh pipi Gavin yang mulai dingin.

Guin menatap, menatap mata Gavin dalam-dalam. Dia ingin tahu apa yang Gavin pikirkan tapi tidak ada jawaban.

Bibir Guin tertutup rapat. Menunggu waktu yang tepat untuk berbicara.

"Lakukan hal apapun yang baik. Jangan hiraukan kata orang," kata Guin.

"Apa bisa seperti itu? Meski itu bukan hal yang berguna?"

"Gavin suka bermain bola? Lakukan. Gavin suka belajar? Lakukan. Lakukan apapun yang Gavin mau. Jangan membatasi diri selagi itu bukan sebuah kejahatan."

"Guin!" panggil Gavin.

Posisi mereka semakin dekat. Tangan saling menyentuh pipi satu sama lain. Nafas mereka bertabrakan.

"Guin, aku ingin melakukan sesuatu atas dorongan diri. Tapi aku malu," ujar Gavin.

"Gavin ingin melakukan apa?"

"Ini..."

Bibirnya mendekat, lalu bersentuhan dengan bibir Guin. Rasanya manis seperti kembang gula. Lembut seperti puding dan kenyal seperti marshmallow.

Guin merespon. Pemandangan yang sangat indah. Sebuah ciuman dibawah sinar bulan.

"Di sini pasti dingin!" kata Gavin.

Guin menggenggam tangan Gavin dan melangkah maju lebih dulu.

"Ayo, kita masuk ke dalam kamar!"

Suasana tentu saja menjadi canggung kembali. Gavin duduk di tepi ranjang dan Guin bersiap untuk tidur.

"Guin, buka!" pinta Gavin tiba-tiba.

Guin terbelalak. Gavin meminta Guin untuk membuka bagian dadanya. Wajah Guin merona, malu-malu yang menggemaskan wajahnya.

"Un--untuk apa?" tanya Guin gugup.

"Emmmmm... Kenapa dada Guin berbeda dengan dadaku?" tanya Gavin dengan wajah yang merona seperti wajah Guin.

"Ten--tentu saja beda. Gavin seorang pria, aku seorang wanita," jelas Guin gugup.

"Apa aku boleh menyentuhnya?" tanya Gavin.

"Kenapa ingin menyentuhnya?" tanya Guin, tak mengerti.

"Dadaku keras, ke apa dada Guin kenyal?"

'Tuhan, ujian seperti apa ini?' batin Guin.

"Tidak apa-apa kalau tidak boleh sentuh."

"Bo--boleh!" jawab Guin gugup.

BRUKKK...

Guin berbaring di bawah Gavin. Gavin mendekatkan bibirnya ke telinga Guin.

"Guin, aku juga ingin kita berciuman lagi."

Next chapter