18 18. Guin Yang Agresif

Ketika kaki Guin menginjak lantai rumah, terdengar Nyonya Calista yang sedang berdebat entah dengan siapa. Guin menghentikan langkahnya setelah melihat ekspresi Nyonya Calista yang murka.

Sebuah ponsel hancur di atas lantai, juga lantai retak. Amarah Nyonya Calista seperti sudah sampai di ubun-ubun.

"Apa kau pikir aku takut dengan ancamanmu yang gila itu? Otak dangkal sepertimu, lebih pantas jadi tukang kebun dari pada Direktur utama!"

Setelah berteriak, Nyonya Calista langsung menghampiri Guin dan menariknya ke lantai atas. Mimik wajah yang tadi mengerikan penuh kemurkaan, sudah berganti dengan penuh kekhawatiran.

Nyonya Calista meminta Guin untuk beristirahat dalam kamar.

"Guin, wajahmu..."

"Hanya terbentur Mom," jawab Guin.

Tidak selang lama, Nyonya Calista keluar kamar dan samar-samar terdengar dia kembali berteriak marah. Lagi-lagi, ekspresinya cepat sekali berubah setelah menemui Guin.

"Guin, istirahat saja. Guin pasti lelah. Kalau Guin lelah, bagaimana bisa cepat memberi Mommy cucu?" pancingnya.

"Ap—apa? Cu—cucu?" pekik Guin terkejut.

"Iya. Apa kalian belum melakukannya?"

Wajah Guin memerah. Baginya, Nyonya Calista terlalu berterus terang dengan membicarakan hal yang tidak mungkin terjadi.

"Anu, Mom..." Guin ragu untuk menjawab.

"Mommy tahu kalau kalian belum melakukannya karena spray selalu bersih kalau Mommy cek."

"Hah? Ap—apa? Mommy ngecek?"

Guin semakin berdebar dan seperti jantungan. Jantungnya berdegub kencang seperti akan meledak beberapa detik ke depan.

"Guin harus lebih agresif. Pancing Gavin supaya bertindak. Guin tahu postur tubuh Gavin?"

"Tahu. Tinggi, kekar, bagus."

"Meskipun seperti anak kecil, tapi Gavin itu pria dewasa. Pasti memiliki naluri pria," ucap Nyonya Calista.

"Tapi..."

"Mandilah. Kalian makan malam di dalam kamar saja. Biar Mommy yang siapkan. Bajunya juga," Nyonya Calista mendorong Guin masuk ke dalam kamar mandi.

"Mommy..."

"Sudah, cepat!"

***

Guin sudah selesai mandi. Benar saja, makanan sudah siap, pakaian untuk Guin juga sudah tersedia. Guin mengangkat pakaian yang disiapkan Nyonya Calista dengan mata yang terbelalak.

"Hah? Ini pakaian tapi membuatku seperti telanjang. Apa aku harus pakai ini?" pekik Guin.

Guin membuka lemari pakaian miliknya tapi ternyata terkunci. Sudah pasti itu ulah Nyonya Calista demi mendapatkan seorang cucu dengan segera.

"Apa yang harus aku pakai?" gumam Guin sembari memegang kepalanya.

Makan malam sudah tertata rapi dan terlihat sangat romantis di balkon kamar. Guin tidak memiliki pilihan lain kecuali memakai gaun malam yang begitu tipis, bahkan bagian dada terlihat setengahnya.

Guin berbaring di atas ranjang. Lampu juga tidak menyala dan hanya ada cahaya lilin. Guin menutupi dirinya dengan selimut.

'Mom, kau membuatku menjadi seperti istri yang haus akan belalaian' batin Guin.

Ceklek...

Guin membenamkan dirinya di balik selimut setelah mendengar pintu terbuka. Langkah kaki perlahan masuk. Tidak selang lama, terdengar suara gemricik air. Ternyata Gavin langsung mandi setelah seharian beraktifitas.

'Apa dia sadar kalau aku belum tidur? Bagaimana caranya menggoda dia? Ahhhhhh... Mommy, kau membuatku hampir gila,' batin Guin.

Guin membuka sedikit matanya dan melihat Gavin dengan pesona yang membuatnya menggelengkan kepala. Meskipun samar-samar, wajah yang basah karena tetesan air dari rambutnya, dada bidangnya yang terlihat, juga handuk yang melilit dipinggangnya.

Deg... Deg... Deg...

Guin memejamkan matanya kembali saat menyadari Gavin berjalan ke arahnya. Hembusan nafas Gavin membuat pikiran Guin melayang tanpa bisa dicegah. Tetesan air dari rambut Gavin mengenai pipi Guin.

Rambut yang basah itu seperti membelai wajah Guin. Guin merasakan ada sesuatu yang kenyal menempel di pipinya.

"Kurang pas," ucap Guin tiba-tiba.

'Ap—apa yang aku katakan? Dasar ceroboh!' batin Guin memaki dirinya sendiri.

"Kalau begitu, yang pas seperti apa?" bisik Gavin.

Nafas hangat dan tenang milik Gavin, seperti sedang menggelitik telinganya. Bibirnya yang kenyal serasa menggugah gejolak diri yang ditahan oleh Guin.

Guin membuka matanya dan mata indah mereka saling bertemu satu sama lain. Mata itu tidak berkedip, tidak juga berpaling. Wajah mereka saling berdekatan hingga hidung mereka yang mancung bersentuhan.

"Yang benar itu seperti ini," ucap Guin dengan berani.

Apa yang terjadi pertama kali ketika mereka menonton hanyalah sebuah kecupan. Berbeda dengan kali ini. Guin berinisiatif mengikuti naluri, tapi Gavin jauh lebih agresif.

Bibir mereka bertemu, kehangatan itu terasa beberapa saat, membuat darah berdesir dan mendidih.

Bibir Guin terasa memenuhi mulut Gavin. Gerakannya sangat pelan seperti sedang menikmati dari hati.

Mereka bertukar air liur. Lidah mereka bertemu, saling menyapa lalu berdansa. Keduanya memejamkan mata. Tangan Gavin mulai menyentuh dada Guin.

Guin tidak menolak. Apa yang terjadi, sudah seharusnya terjadi.

Krucukkk....

Gavin langsung melepaskan pagutan bibirnya dan tertawa. Wajah merah Guin tak dapat disembunyikan. Guin menutupi wajahnya dengan selimut dan Gavin menarik selimutnya.

"Ayo kita makan. Kata Mommy, Guin sudah menungguku untuk makan malam," ucap Gavin.

'Kenapa ekspresinya kembali seperti bayi? Apa jangan-jangan tadi dia hanya khilaf dan hanya aku yang berharap?' batin Guin.

"Guin, ayo!" Gavin menarik tangan Guin.

Gavin diam mematung setelah Guin turun dari ranjang dan selimut yang menutupi tubuhnya tersingkap.

Glek... Glek...

Gavin menelan ludahnya, melihat tubuh Guin yang sangat menggoda dirinya. Gavin mengepalkan tangannya untuk menahan gejolak birahi yang terbangun dan memberontak.

"Gavin, ayo!" Guin gantian menarik tangan Gavin.

'Apa ini rencana Guin untuk malam pertama? Kalau Guin sepertinya tidak mungkin. Apa Mommy? Apa sebaiknya aku bertanya saja?' batin Gavin.

"Guin, tunggu!"

Gavin menarik Guin yang sudah berada didepan dengan tangan mereka yang menyatu. "Acchhhh!" pekik Guin ketika menabrak dada bidang Gavin.

"Maaf!" ucap Guin lalu melepaskan diri.

"Aku tidak keberatan kalau Guin terus memelukku seperti ini," bisik Gavin.

"Gavin pakai baju dulu. Aku tunggu untuk makan malam," elak Guin.

"Guin tadi sudah mencuri ciumanku tanpa ijin. Bukankah tidak masalah kalau aku membalasnya?" ucap Gavin murung.

"Tapi..."

Gavin menjadi seperti orang lain malam ini. Gavin yang manja dan kekanak-kanakan seperti hilang. Hanya tinggal raga Gavin yang berisi nyawa orang lain.

Gavin bertindak seperti pria yang berkuasa dalam dunia novel yang pernah Guin baca. Sikapnya semena-mena dan semaunya.

Sebagai wanita normal, tidak bisa dipungkiri kalau Guin juga memiliki hasrat yang sulit dipendam setelah tersulut dan menyala.

"Guin, apa kau sudah pintar?" tanya Gavin.

"Ah... Iy—iya!" jawab Guin gugup.

"Guin mau tidak, malam ini ajari aku ciuman sampai pagi?"

"Ap—apa? Tidak bisa," tolak Guin.

"Aku memang tidak bisa ciuman. Maaf!"

Gavin melepaskan Guin begitu saja. Ekspresinya seperti menghipnotis Guin. Guin tidak memiliki pilihan lain kecuali membujuk Gavin yang sedang marah.

'Setuju dulu saja. Setelah makan dia pasti tidur,' batin Guin.

"Gavin, jangan marah," cegah Guin.

"Guin sudah tidak menyukaiku lagi."

Guin menyentuh pipi Gavin dengan tangannya yang lentik. Bibir Gavin kembali tersenyum dengan tindakan Guin yang begitu lembut.

Tok... Tok... Tok...

"Guin! Gavin!" teriaknya.

"Hah? Mommy!"

avataravatar
Next chapter