1 Parent's Request

"Neng, kamu kan sudah lulus sarjana. Sekarang Abah ingin kamu menuruti kemauan Abah ya," tutur Abah lembut.

Aku emang sudah lulus jadi Sarjana dan sudah Wisuda juga bulan lalu. Rencananya setelah ini aku mau cari pekerjaan, aku ingin bekerja di kantor seperti teman-temanku yang lain. Mereka sudah ada yang di terima dan sudah ada yang bekerja. Sebagian lagi masih berjuang melamar sana-sini. Sedangkan aku memilih untuk istirahat sejenak sebelum aku melamar pekerjaan.

"Emang Abah mau apa?" tanyaku tak kalah lembutnya.

"Neng, Abah ingin kamu menikah," jawabnya namun mampu membuat aku kaget.

"Apa, Bah? Abah jangan bercanda sama Neng. Abah tau, umur Neng baru dua puluh dua tahun, Neng belum siap jika harus membina rumah tangga, Bah. Neng masih pengen mengejar cita-cita Neng untuk menjadi wanita karir," jawabku. Aku tak menyangka jika Abah tega memintaku untuk menikah di usiaku yang masih muda. Padahal aku ingin menikah saat umurku sudah dua puluh lima tahun. Di saat umur segitu, aku rasa aku sudah siap untuk membina rumah tangga. Tapi jika umurku masih dua puluh dua tahun, mentalku belum siap sama sekali.

Di tambah aku juga baru lulus kuliah dan masih ingin bersenang-senang, mencari pekerjaan agar bisa merasakan hidup pakai uang hasil jerih payah sendiri dan bisa memberikan uang untuk Abah dan Umi walaupun aku tau, mereka tak pernah kekurangan. Tapi tetap saja, sebagai anak aku ingin bisa memberikan uang buat mereka, agar mereka bisa merasakan hasil jerih payahku.

Selama ini aku hanya bisa menadahkan tangan, karena Abah dan Umi tak mengizinkan aku untuk bekerja paruh waktu. Aku hanya di suruh fokus untuk belajar, belajar dan belajar.

"Neng, Abah dan Umi menyekolahkan kamu tinggi-tinggi, bukan untuk menjadi wanita karir, Neng. Melainkan agar nanti jika Neng sudah punya anak, Neng bisa mendidik anaknya neng menjadi anak yang pintar, berbudi luhur dengan baik dan bisa menjadi anak yang sukses dunia akhirat karena sejatinya seorang ibu adalah guru pertama untuk anak-anaknya. Lagian juga, Neng. Buat apa bekerja jika nanti suami Neng sudah mapan.

Neng juga kan tau, kodratnya seorang wanita itu ya di rumah, mengurus anak dan suami. Itu jauh lebih baik dari pada Neng berkeliaran di luar sana. Neng boleh bekerja, jika memang suami Neng itu nantinya kurang mampu menafkahi Neng dan keluarga kecilnya, itupun Neng bekerja juga harus ada izin dari suami Neng.

Abah harap Neng mau ya, Abah jodohkan. Lagian Abah sudah berjanji, dan janji itu adalah hutang," ucap Abah panjang lebar.

"Tapi, Bah. Neng belum siap untuk menikah." Aku pun mulai menitikkan air mata. Kenapa? Kenapa Abah tiba-tiba pengen aku cepat nikah. Ya Tuhan, aku belum siap untuk mengabdi sebagai seorang istri. Apa yang harus aku lakukan?

Aku hanya bisa mengeluh dalam hati.

"Neng, turuti perintah Abah ya. Selama ini kan, Abah tak pernah minta apa-apa sama Neng, masa sekali Abah minta, langsung Neng tolak. Lagian cowok yang di jodohkan sama Neng, selain sudah mapan, juga tampan, sholeh apalagi," ujar Umi yang juga ikut membujukku.

"Baiklah demi Abah dan Umi, Neng mau di jodohkan," jawabku. Walaupun aku berusaha untuk menolak, ujung-ujungnya juga pasti aku tidak akan bisa nolak karena bagaimanapun, aku tau betul watak Abah sama Umi. Jika sudah keinginannya, harus di turuti.

"Nah gitu dong, Neng. Abah yakin, Neng tak akan menyesal," ucap Abah tersenyum begitupun dengan Umi.

Tapi entah kenapa, aku merasa ini seperti tanda burukku. Ya Tuhan, semoga keputusanku ini tak salah.

Abah, Umi. Demi kalian aku rela untuk di jodohkan, walaupun dalam hatiku, aku melakukan ini hanya karena terpaksa. Aku juga rela untuk berhenti berkhayal menjadi wanita karir. Aku juga rela ijazahku menjadi sia-sia.

Aku cuma berharap, semoga pilihan Abah dan Umi memang yang terbaik untukku.

"Iya sudah, besok kita akan bertemu dengan calon suami neng dan calon mertua Neng, yang juga merupakan sahabat Abah. Neng besok gak kemana-mana, kan?" tanya Abah.

"Enggak ada, Bah. Neng besok seharian di rumah aja, gak ada acara apapun," jawabku.

"Bagus. Besok kita berangkat jam 9 ya Neng di Resto Basmalah. Kita akan ketemuan di sana," tutur Abah semangat.

"Iya, Bah. Kalau gitu Neng mau ke kamar dulu ya, mau istirahat," pamitku.

"Iya, Neng."

Setelah itu aku berjalan gontai menuju kamarku. Sesak, rasanya sangat sesak. Sesampai di kamar, aku langsung mengunci pintu dari dalam. Di sana aku menumpahkan semua air mataku.

Aku tak menyangka, kenapa aku harus di jodohkan, padahal ini bukan zaman Siti Nurbaya.

Kenapa Abah dan Umi tak memikirkan perasaanku. Kenapa Abah membuat janji, sebelum bertanya sama aku, apakah aku bersedia apa gak.

Padahal yang mau nikah itu aku, bukan Abah sama Umi. Tapi kenapa untuk urusan jodoh pun, harus mereka yang mengatur. Bagaimana jika pilihan Abah dan Umi tak sesuai dengan kriteriaku.

Padahal aku masih sangat sanggup mencari cinta sejatiku, mencari laki-laki yang seperti aku inginkan dan aku idam-idamkan selama ini. Tapi sekarang harus musnah karena Abah dan Umi menjodohkanku.

Ya Tuhan ....

Jika memang ini adalah takdirku. Aku hanya bisa berpasrah kepadaMu.

Untuk menenangkan hatiku, aku bergegas untuk mengambil wudhu dan sholat. Selesai sholat, aku langsung mencurahkan isi hatiku kepada Sang Maha Pencipta. Segala uneg-uneg yang ada di hatiku, aku keluarkan semuanya. Dan setelah itu, barulah aku merasa tenang.

Lalu aku melanjutkan untuk membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Hingga mataku mulai mengantuk, lalu aku pun menyudahinya. Aku memberikan tanda yang terakhir aku baca, sebelum aku menutup Al-Qur'an.

Aku menaruh Al-Qur'an di atas meja. Lalu aku membuka mukenahku dan melipat serapi mungkin. Setelah itu, aku langsung menuju kasurku dan merebahkan tubuhku. Tak lupa sebelum tidur, aku membaca Doa tidur dan membaca istighfar hingga akhirnya aku pun terlelap.

Tapi baru saja aku tidur, tiba-tiba aku terbangun. Ya, aku bangun karena aku bermimpi. Dalam mimpiku aku bertemu dengan seorang laki-laki yang wajahnya menghitam, ia juga berbau busuk.

Matanya melotot dan itu sangat menakutkan. Ia berusaha menghampiriku, tapi aku terus saja memberontak, namun karena ia sangat kuat, aku pun jatuh ke dalam pelukannya.

Dan setelah itu aku tak tau apa yang terjadi selanjutnya karena aku terburu bangun. Ya Tuhan ... pertanda apa ini?

Aku menangis dalam diam. Aku takut, aku takut kalau itu pertanda buruk. Apa yang harus aku lakukan? Apakah ini berkaitan dengan perjodohan yang Abah lakukan.

Bagaimana jika dalam mimpiku itu adalah laki-laki yang sebentar lagi jadi suamiku.

Aku harus bagaimana? Aku sudah terlanjur menyetujui permintaan Abah dan Umi.

Ya Allah, Ya Rabb ....

Aku berlindung kepadaMu. Jauhkan lah aku dari segala mara bahaya.

avataravatar
Next chapter