webnovel

06 - Perburuan Dimulai

Tidak... Ini bukan Ann.

Keheningan dan kegelapan yang memerangkap membuatku tak bisa mengenali siapa sosok yang sedang memelukku sekarang. Walau begitu aku tahu bukan Ann yang sedang memelukku karena tinggi badannya.

"Ada apa?" tanyaku.

"Zane..." Suara Carina yang menjawab. "Datanglah esok, esoknya lagi, juga esoknya lagi. Datanglah terus ke sini. Jadilah temanku."

Suara isakan yang kudengar sebelumnya memang mirip sekali suara Ann. Tapi saat Carina bicara, aku bisa membedakannya.  Aku juga sempat salah kira karena aroma tubuh mereka mirip. Aroma yang dingin dan menenangkan.

"Aku memang berniat begitu," kataku.

Setelah itu kesunyian kembali menyelimuti kami. Hanya suara isakan Carina yang sesekali terdengar. Karena gelap, aku tak bisa melihat bagaimana ekspresinya.

Carina memelukku dengan lebih erat lagi. "Kau harus berjanji padaku. Sudah lama sekali sejak orang lain datang ke dunia ini. Aku bersyukur ada orang lain yang datang. Aku bersyukur kau yang datang. Kau sangat lucu. Yang paling lucu yang pernah kutemui. Aku tak mau kehilanganmu."

Aku lucu. Tentu. Belum pernah ada seorangpun yang bilang aku lucu sebelumnya. Ini mungkin pujian paling berkesan yang pernah seseorang berikan padaku. Ann sering bilang aku ini pacar yang baik dan pengertian, tapi ia tak pernah bilang aku lucu. Pujian Carina juga terdengar lebih tulus.

Aku membalas pelukan Carina. "Kalau aku bisa, aku akan terus datang untuk menemuimu, berpetualang denganmu, melawan berbagai monster, dan membawamu---" aku berhenti di kata itu. Kalau aku membawanya keluar dari dunia ini, ia akan bertemu Ann. Mereka takkan bisa berteman dengan baik. "Pokoknya aku akan terus mengunjungimu jika aku tahu caranya."

Aku merasakan ciuman di pipiku.

"Kenapa kau mematikan obor?" tanyaku.

"Aku tak mau kau melihat wajahku."

Aku mengerti. Ia selama ini selalu menunjukkan kalau ia seorang yang kuat. Terlihat lemah dan tak berdaya seperti tadi pasti cukup memalukan.

Aku merasakan sebuah gerakan kecil dan obor kembali menyala.  Carina menatapku dengan mata birunya yang indah. Wajahnya tak memberi kesan ia habis menangis. Ia tersenyum cerah padaku sebentar lalu melepaskan pelukannya dan melakukan sesuatu pada dinding di belakangnya. Dinding merekah perlahan sampai tak lama kemudian rekahan itu jadi pintu yang cukup untuk kami lalui. Cahaya terang menyinari seiring pintu itu terbuka lebar. Di balik pintu itu terlihat pemandangan serba hijau dengan langit biru yang dihiasi sedikit awan.

Carina menarik tanganku, "ayo, di luar sana indah sekali."

Padahal jauh lebih indah lagi saat ia menciumku tadi...

Kami melangkah keluar dari ruangan sempit tadi dan setelah menjejakkan kaki di luar, aku dibuat terpesona dengan pemandangan yang ada di hadapanku. Kami berdiri di atas bukit yang berhadapan langsung dengan lembah yang memang sangat indah. Lembah ini ditumbuhi rumput dengan warna hijau mentereng yang memanjakan mata. Tak jauh dari tempat kami berdiri, aku melihat air terjun besar yang aliran airnya seolah menyala putih kebiruan. Bagian bawah air terjun itu dikelilingi oleh bebatuan yang bertumpuk tak beraturan. Sungai dari air terjun itu terlihat cukup besar dari atas sini. Alirannya berkelok-kelok sampai tertutup oleh beberapa bukit. Aku tak bisa menjelaskan dengan tepat bagaimana indahnya pemandangan di sini. Rasanya seperti berada dalam mimpi saja, pikirku. Sebelum aku sadar seharusnya aku memang sedang berada dalam mimpi.

Aku melangkah sedikit lebih jauh ke depan untuk melihat dari mana kami keluar sebelumnya. Ternyata pintu ruangan tadi adalah batang pohon besar yang menyembunyikan jalan masuk ke gua. Pohon itu nyaris tanpa daun dan berdiri tinggi sendirian di bukit tempat aku dan Carina berada saat ini.

Carina meraba batang pohon besar itu di bagian yang sulit digapai dan seketika pintu besar itu tertutup, menyamarkan jalan masuk dengan sempuna. Aku takkan mengira pohon ini bisa terbelah bila tak melihat Carina melakukannya.

"Kita tak bisa selamanya mengagumi pohon ini, ayo pergi." Carina menarik tanganku, membuyarkan kekagumanku yang tak ada habisnya terhadap dunia ini.

"Pelan-pelan dong," aku memprotes Carina.

Kami berjalan menuruni bukit menuju ke lembah lewat jalan batu kecil yang tak ditumbuhi rumput sama sekali. Selama berjalan, aku tak bisa hanya melihat ke depan saja. Kepalaku terus bergerak ke kanan dan kiri melihat pemandangan yang sungguh menakjubkan ini. Saat melewati jembatan kecil untuk menyebrangi sungai, menghabiskan banyak waktu untuk memandangi aliran air di bawah. Rasanya sangat menghipnotis. Carina harus menarik tanganku dengan rewel untuk membuatku berjalan lagi.

Kami berjalan sampai ke bukit yang dekat dengan air terjun. Di situ ada jalan menanjak yang cukup terjal untuk mencapai bagian atas. Aku berjalan dengan hati-hati karena jalan itu sangat licin. Aku heran Carina bisa dengan mudah naik dan terus berteriak untuk menyemangatiku.

Di atas bukit yang baru kami naiki, pemandangan tak kalah indahnya. Aku memandangi air terjun cukup lama. Carina tampaknya mengerti kekagumanku. Ia tak buru-buru menarik tanganku untuk lanjut berjalan. Barulah setelah agak bosan, aku mengajaknya lanjut ke tempat tujuan kami.

"Omong-omong," kataku, "kau belum memberitahu akan mengajakku ke mana."

"Ada temanku yang butuh bantuan. Nanti kau lihat saja. Sebentar lagi kita sampai." Carina tak banyak berbicara sejak kejadian di ruangan dalam pohon tadi. Aku cukup merindukan suaranya. Aku merasa aku seperti telah mengenalnya untuk waktu yang lama saat ia terus berbicara dan menggodaku. Tapi sepanjang perjalanan tadi rasanya beda sekali. Walaupun ia banyak menggandeng tanganku, rasanya itu bukan sesuatu yang kuinginkan sepenuhnya. Aku lebih ingin mendengar suaranya yang ceria dan melihat ekspresi jahilnya.

"Kau ini kenapa diam saja?" Carina mengejutkanku dengan pertanyaannya. "Aku dari tadi menunggumu bicara loh. Biasanya kan kau suka bertanya ini dan itu. Tenggorokanmu sakit ya?" Lanjut Carina dengan ekspresi sok peduli yang dibuat-buat.

Ah, ternyata hanya salah paham. Kami sama-sama saling menunggu untuk bicara.

"Oh, benar. Aku tersedak cinta." Aku mengatakannya cukup pelan agar Carina tak mendengarnya. Ia hanya menatapku heran.

Kami berjalan lagi menjauhi sisi sungai hingga ke tempat yang ditumbuhi pepohonan yang tak terlalu besar. Pohon-pohon itu berbuah banyak. Aku melihat pohon yang buahnya berbentuk mirip apel. Hanya saja warnanya tak seperti apel kebanyakan di duniaku. Apel di pohon ini berwarna putih, ungu, dan hitam.

"Kita bisa makan buah ini tidak?" tanyaku pada Carina. "Aku cukup lapar dan lelah."

"Tentu saja," jawabnya. "Ini enak loh." Carina meraih apel berwarna hitam dan langsung memakannya dengan lahap. Ia juga memberi kode agar aku memetik apel yang lain.

Aku mengambil apel berwarna putih karena kurasa yang warna hitam terlihat meragukan untuk dimakan. Kucoba apel itu dan langsung memuntahkan kembali. Rasanya asam sekali! Apanya yang enak!

"Kau menipuku ya?!"

Carina tertawa puas melihatku meludahkan sisa rasa masam pada apel putih tadi. "Yang kau makan itu masih mentah," ucapnya tanpa berhenti ketawa.

"Kenapa kau tak bilang sih?" aku lagi-lagi melayangkan protes padanya.

Carina berusaha keras menenangkan diri dari tawanya. "Kau kan lihat sendiri aku memakan buah yang warna hitam, kenapa kau malah makan yang putih?" Ia tampaknya tak mampu menahan tawa.

"Habisnya yang putih ini kelihatan lebih meyakinkan...."

"Kau ini memang lucu, Zane." Carina bahagia sekali mengucapkan hal itu, tampak dari ekspresinya yang ceria. Ia lalu memetik apel hitam dan menawarkannya padaku. "Sekarang cobalah yang ini. Aku tak menipumu."

Aku menerimanya. Aku menimbang-nimbang buah itu sesaat, takut kalau rasanya masam lagi. Kulihat tadi ia memang lahap sekali memakan apel ini. Tapi bila melihat tabiatnya, aku tak bisa langsung yakin. Ia melihatku terus, menantiku memakan apel pemberiannya dengan ekspresi bersemangat, yang justru makin mencurigakan.

Tapi bagaimanapun, aku tetap mencobanya. Kugigit apel itu dengan hati-hati dan kukunyah perlahan. Rasanya sangat manis! Ini apel terbaik yang pernah kumakan. Sulit mengatakannya, tapi bayangkanlah apel terenak yang pernah kau makan, lalu bayangkan apel ini lebih enak lagi. Apel ini rasanya membuat rasa lelahku jauh berkurang. Aku merasa staminaku kembali.

Aku menghabiskan satu buah apel dengan cepat sementara Carina menatapku dengan tatapan "kau sih tak percaya" yang menyebalkan, tapi dia yang seperti itu jugalah yang ku sukai.

Aku memetik beberapa buah apel lagi yang kupegang dengan susah payah sampai Carina menarikku dan mengomel, "kita tak bisa terus makan di sini."

Kami memasuki perkebunan melalui jalan setapak sampai lebih ke dalam. Sudah tak ada lagi pepohonan besar seperti pada bagian luar. Kali ini kebun dipenuhi tumbuhan menjalar yang berbuah macam-macam. Tak ada buah yang bentuknya aneh. Aku bisa mengenali semuanya. Walaupun seperti apel dan buah-buahan lain yang sudah kulihat, warna berbagai buah di sini tak ada yang normal. Semangka tak berwarna hijau, melainkan kombinasi warna biru tua dan biru muda, melon berwarna merah, dan ada juga banyak labu dengan dua warna, ungu dan hijau.

Kebun ini tidak terlalu luas, bentuknya persegi yang panjangnya kutebak hanya lima belas meter. Di tengah kebun tumbuhan merambat ini ada sebuah pohon yang tingginya sekitar satu setengah meter yang berbentuk seperti kubah. Daunnya sangat rapat menutupi bagian atas pohon ini. Aku tak bisa melihat apa yang ada di dalamnya. Carina mengajakku mendekati pohon itu.

"Temanku yang lain tinggal di pohon ini," bisik Carina.

Makhluk apa yang tinggal di pohon kecil ini? Aku bertanya-tanya dalam hati. Aku menebak bisa saja teman Carina adalah seekor tupai, mengingat ia tinggal di pohon. Tapi lebih baik aku tak menanyakannya pada Carina.

Carina bersiul kencang dengan alunan merdu ke arah pohon itu. Tak lama kemudian, seorang makhluk kecil muncul dari bagian bawah dedaunan. Ia terbang dengan cepat mengelilingi Carina beberapa kali  sampai Carina menjulurkan telapak tangan ke dekat wajahnya. Makhluk itu mendarat di sana.

Ia seorang peri!

Seorang peri bertubuh mungil mendarat di telapak tangan Carina. Tingginya mungkin hanya 20 sentimeter. Ia berambut merah muda dan memakai mahkota daun di kepalanya, tubuhnya dibalut gaun berwarna hijau yang terbuat dari daun. Gaun itu tak diragukan lagi adalah pakaian paling indah yang pernah kulihat. Menutupi lengan dan paha sang peri serta diberi banyak hiasan bunga berwarna-warni. Ia memakai sepatu panjang yang kelihatannya terbuat dari kulit pohon. Sepatu itu menutupi seluruh betis sampai hampir ke lututnya. Ia memiliki enam sayap kecil di punggungnya yang terus mengepak pelan selagi ia berdiri telapak tangan Carina.

"Carina!" teriak peri itu nyaring. "Peony rindu Carina!" lanjutnya sambil merentangkan kedua tangan.

"Aku datang lagi, Peony," kata Carina sambil mengusap kepala sang peri dengan satu jarinya. Tindakan itu sepertinya amat disukai sang peri. "Aku bawa teman kali ini".

Peri kecil itu menengok ke arahku, mengamati sesaat, kemudian terbang dari telapak tangan Carina untuk mengelilinginku beberapa kali dengan cepat, membuatku kebingungan sampai Carina memberiku kode untuk menjulurkan telapak tanganku seperti yang dilakukannya.

Aku menjulurkan tangan kananku dan tak lama kemudian peri itu mendarat di atasnya. Dari dekat ia tampak imut sekali, seperti masih remaja. Walaupun melihat bagian tubuhnya yang lain, ia pasti sudah berusia dewasa. Ia terus mengepakkan sayapnya selagi berdiri di tanganku.

Aku yang lagi-lagi kebingungan kemudian melirik ke arah Carina yang  dibalas dengan isyarat bahwa aku juga harus mengelus kepala sang peri.

Kulakukan hal yang sama seperti Carina sebelumnya. Kepakan sayap peri itu berhenti dan matanya memejam dan ia tampak sangat menyukainya. Aku terus mengelus kepalanya sampai Carina berbisik "sudah, sudah."

Setelah aku tak lagi mengusap kepalanya. Peri itu berputar sekali di telapak tanganku lalu berbicara dengan suara nyaringnya, "Hai hai, Aku Peony. Peony pemilik kebun ini. Peony yang menanam seluruh tumbuhan di sini. Peony suka sekali berkebun. Siapa namamu, teman Carina?"

Peri yang mengenalkan dirinya sebagai Peony itu mengucapkan kata-katanya dengan terus menggerakan tangannya ke sana kemari menunjuk ke arah kebun dan pepohonan. Ia bahkan berputar sekali di tanganku untuk mengakhiri kalimatnya. Ia sangat menggemaskan!

"Halo Peony. Aku Zane. Senang bertemu denganmu."

Peony melirik ke arah Carina. "Apa Zane bisa diandalkan? Wajahnya terlihat bodoh."

Carina terbahak-bahak mendengar pertanyaan Peony.

Oh aku suka sekali peri ini. Imut, menggemaskan, juga brengsek.

Carina berusaha kerasa mengatasi tawanya. "Kau tak usah khawatir, Peony. Ia sudah membuktikan dirinya. Kebunmu bagaimana? Apa masih diganggu para tikus?"

Peony terbang ke hadapan Carina. Wajahnya yang tadi tampak ceria kini berubah murung. "Oh, Carina... Tikus-tikus itu terus mengganggu tanaman Peony. Mereka memakan buah-buah yang Peony tanam. Peony tak bisa mengatasinya sendirian. Peony minta tolong Carina dan Zane." Peony mengeluarkan air mata menutup beritanya.

Ekspresi Peony saat mengucapkannya benar-benar membuatku gemas. Aku ingin sekali menertawakannya. Tapi mendengar suaranya yang sedih membuatku urung melakukannya. Aku tak ingin Peony tersinggung walaupun ia mengatakan wajahku bodoh sebelumnya.

"Kau tenang saja, Peony," Carina berusaha menenangkan Peony dengan suara yang optimis. "Hari ini kita bekerja sama untuk memusnahkan tikus-tikus itu. Mereka tak akan mengganggu tanamanmu lagi."

"Ya, Peony, kau jangan bersedih lagi," kataku berusaha menenangkan Peony. Ucapan Carina juga membuatku merasa bersemangat, walaupun aku tak tahu tikus jenis apa yang mengganggu kebunnya.

Peony mengusap air matanya, terlihat bersyukur akan kehadiran kami berdua. "Carina dan Zane mau makan dulu? Peony bisa menyiapkan kalau Carina dan Zane mau."

"Nanti saja, Peony," jawab Carina mendahuluiku. "Kita kalahkan tikus-tikus itu dulu."

Aku menyayangkan jawaban Carina. Aku penasaran dengan makanan apa yang akan seorang peri siapkan.

Kami lalu meninggalkan bagian tengah kebun untuk menuju ke salah satu sudut. Sambil berjalan, aku melihat-lihat lagi buah yang tumbuh di kebun Peony. Sudut ini bersebrangan dengan jalan masuk kami sebelumnya. Jika buah di sana tampak baik-baik saja, banyak tumbuhan dan buah yang rusak di sini. Tampak bekas gigitan hewan di mana-mana. Merusak buah yang sudah hampir panen. Pantas saja Peony bersedih.

Sambil berjalan mengikuti Peony, aku bertanya pada Carina, "aku tak berpikir kita akan melawan tikus yang biasa. Benar kan?"

"Itu tikus yang biasa kok," jawab Carina singkat. Aku jadi penasaran mengapa untuk melawan tikus saja perlu seorang peri, seorang wanita ahli pedang, dan seorang pria yang hampir tak ada gunanya.

Peony berhenti terbang di depan gundukan tanah berumput yang memiliki beberapa lubang besar yang kelihatannya adalah jalan keluar masuk yang dibuat tikus-tikus hama ini.

"Dengar, Zane," Carina memperingatkan. "Tikus-tikus ini bergerak sangat cepat dan serangannya lebih berbahaya daripada monster yang kita lawan di dalam gua. Ia menyerang dengan gigi dan cakarnya. Jika kau terluka, Peony bisa memnyembuhkannya. Tapi lebih baik kau tak sampai kena serangan, itu akan sangat menyakitkan."

Aku menelan ludah mendengarnya. "Akan kuusahakan," kataku.

"Carina dan Zane sebaiknya bersiap, Peony akan membuat mereka keluar dari sarangnya," seru Peony. Ia mengambil ancang-ancang di depan gundukan tanah.

Sial, secepat ini, pikirku. Lalu bagaimana Peony akan membuat tikus-tikus ini keluar? Ia kan tak mungkin masuk ke dalam sarang itu, berbahaya sekali.

Belum selesai aku berpikir, Peony mengepakkan sayapnya dengan sangat cepat. Lebih cepat dari saat ia terbang. Angin bertiup kencang sekali di sekitar kami. Daun-daun yang berserakan terbang terbawa angin dari sayap Peony. Aku sampai harus mengangkat tanganku untuk melingungi mata dari debu. Carina melakukan hal yang sama.

Peony membuat gerakan dengan kedua tangannya, ia mengarahkan angin ke lubang di gundukan sarang tikus itu. Tanah hampir terangkat saking kencangnya angin bertiup ke dalam. Dari lubang yang ada, berhamburan sekitar lima belas tikus sebesar kelinci dewasa dengan dua gigi depan dan cakar di kaki depan yang panjang. Wujudnya benar-benar menyerupai gabungan antara tikus dan kelinci. Wajahnya seperti tikus sedangkan telinganya panjang seperti kelinci. Mereka berwarna abu-abu dengan perut putih.

"Katamu tikus biasa!" Aku berteriak pada Carina.

"Memang semua tikus di dunia ini seperti itu!" Carina berteriak tak kalah kerasnya.

Aku merasa amat bodoh...

Aku dan Carina menyambut mereka di barisan depan sementara Peony terbang ke belakang kami. Carina dengan cepat mengalahkan 2 ekor tikus sekaligus dengan pedangnya. Mereka ditebas hingga terbelah dua bagian. Aku cukup kerepotan melawan 3 tikus sekaligus. Mereka bergerak tak beraturan ke berbagai arah. Aku dan saiku tak cukup cepat untuk mengikuti gerakan mereka.

Dari belakang, Peony menyerang tikus itu dengan serangan anginnya. Sekarang aku tahu kenapa Peony butuh bantuan kami. Ia tak bisa mengalahkan tikus itu dengan kekuatan anginnya. Serangan itu hanya membuat para tikus terpental, tapi mereka tak mati hanya karenanya. Walaupun begitu, aku cukup terbantu karena serangan Peony berhasil menjauhkan tikus-tikus yang hampir mencakarku.

Selama beberapa saat kami kerepotan melawan kawanan tikus hama itu. Carina sih tentu saja hampir tak butuh bantuan. Ia bisa menghindari serangan tikus itu dengan cekatan. Sementara aku bahkan belum melukai satu ekor pun.

Seekor tikus lolos dari terjangan angin Peony. Ia melompat menerkam ke arahku dengan gerakan yang hampir tak bisa terlihat. Sialnya, atau beruntungnya, angin Peony malah menerjangku, membuat keseimbanganku hilang. Aku yang terjatuh justru berhasil menghindari serangan tikus tadi. Tikus yang terkejut itu menghantam tanah yang membuat gerakannya terhenti sesaat. Pada saat itu juga aku menghampirinya, lalu dengan kedua saiku, aku menusuk kepalanya sampai menembus bagian dagu. Seekor tikus berhasil kukalahkan.

"Bagus sekali, Zane," teriak Carina di tengah kerepotannya melawan para tikus.

Itu lah yang kubutuhkan, pujian Carina. Aku jadi makin bersemangat menghadapi kawanan tikus ini. Apalagi  setelah berhasil mengalahkan satu ekor.

Dibantu Peony, aku kembali melawan tiga ekor tikus sekaligus, sementara Carina bahkan sudah mengalahkan lebih banyak lagi seorang diri. Peony menahan gerakan dua ekor tikus dengan anginnya. Sementara sekali lagi aku menancapkan sai ke kepala tikus yang lainnya. Aku dan Peony mengalahkan dua ekor lagi dengan cara yang hampir sama. Ia meneriakkan "Zane hebat" tiap kali saiku menembus kepala tikus itu.

Selesai dengan tikus yang menyerangku, aku menghampiri Carina untuk membantunya. Ia sudah mengalahkan dua kali lebih banyak daripada aku. Kini tersisa 3 ekor lagi yang sedang ia hadapi. Tiga ekor tikus ini paling besar dan lebih cepat yang sudah kami kalahkan. Mereka terus melompat mengelilingi Carina tanpa bisa ditebas oleh pedangnya.

Peony dengan serangan anginnya pun tak bisa berbuat banyak karena mereka bergerak dan melompat lebih cepat. Serangan Peony setidaknya bisa menarik perhatian mereka. Kini tiga tikus itu melompat mengelilingi kami bertiga.

Bagus, dengan ini kami bisa menghadapinya satu lawan satu, pikirku.

Dua ekor tikus melompat masing-masing ke arahku dan Carina. Mungkin karena jadi lebih mudah, Carina bisa mengalahkan seekor tikus yang lompat ke arahnya dengan satu tebasan. Aku sendiri perlu berguling terlebih dahulu menghindari serangan tikus lawanku. Saat tikus itu mendarat dan bersiap melompat ke arahku lagi, saiku sudah tepat mengarah ke badannya. Ia mati tertusuk.

Satu tikus yang tersisa menyerang Peony. Peri kecil itu menembakkan angin ke arah badan tikus besar itu yang sayangnya justru menyebabkan ia terpental ke arahku. Aku yang masih dalam posisi tak siap hanya bisa memandangi tikus itu.

"Arrrggghh!!"

Aku menjerit keras saat kedua gigi depan tikus itu menggigit tangan kiriku.

Seketika pandanganku menjadi kabur dan rasa panas menjalar dari tanganku ke bagian tubuh lain.

"Zane!"

Kepalaku dipenuhi suara nyari hingga aku tak tahu siapa yang memanggil namaku. Aku sudah hampir tak bisa melihat lagi saat kurasa ada yang menyandarkan tubuhku ke tubuhnya. Ini pasti Carina pikirku dalam rasa sakit yang makin sulit kutahan.

Tanganku yang luka ditarik dan rasanya seperti sedang dibebat oleh sesuatu yang terasa sedikit sejuk. Tapi itu tak banyak membantu. Aku terus mendengar suara nyaring di kepalaku dan tanganku hampir tak bisa kurasakan lagi.

Di tengah rasa sakit itu, aku bisa mendengar suara pilu berkata,

"Jangan pergi, Zane. Kumohon."

Next chapter