1 Bab 1 : List pertama

Sebelum hari itu, Inggrid sering bertanya-tanya apakah orang yang kurang tidur itu benar-benar terlihat mengerikan seperti zombie?

Sepertinya itu tidak mungkin karena bagaimana bisa orang terlihat menyeramkan hanya karena kekurangan waktu tidurnya, ya kan? Tapi 2 tahun lalu ... untuk menatap cermin di dalam kamarnya saja Inggrid tidak berani, ia pernah melakukannya sekali dan alhasil dirinya menjerit lantas lari tunggang langgang.

"Kau benar-benar mengerikan, Grid!" teman karibnya baru saja mengingatkan betapa buruknya dia sejak putus cinta.

Inggrid menoleh lantas memberikan tatapan menyipit yang memiliki makna 'Aku benci mulutmu, Anggi!' setelah itu ia kembali melengos dan memfokuskan konsentrasinya pada layar komputer, melihat kembali hasil desain cover yang ia buat sebelum ia setorkan ke penulis dan ketua redaksi.

"Apa sih bagusnya si Putra itu? Tampan? Kaya? Menurutku laki-laki sepertinya itu sangat standar, banyak kutemui di jalanan setiap hari."

God, mulut temannya itu entah masuk dalam kategori level berapa pedasnya. Tapi yang Inggrid rasakan saat ini terlalu pedas sampai rasanya ia ingin menangis lagi seperti hari pertama ia mendapatkan kabar buruk dari si brengsek itu.

Nyatanya dalam konteks real life, modal tampang yang tampan, dompet tebal dan juga jabatan tinggi saja bukanlah sebuah jaminan untuk mendapatkan kebahagiaan jika tidak dibarengi dengan kejujuran dan sebuah rasa tanggung jawab yang tinggi.

"Lagipula kenapa kau masih mengharapkan si brengsek itu kalau di depan matamu ada yang jauh lebih baik?!"

Inggrid mengernyitkan keningnya. Otaknya sedang memproses ucapan Anggi barusan. "Maksudmu apa?" dan ia akhirnya menyerah karena saat ini otaknya sedang tidak bersahabat.

Anggi memberi kode dengan dagunya. Inggrid semakin tidak mengerti namun saat kepalanya mengikuti petunjuk Anggi, saat itu ia sangat menyesal. Mika sedang berdiri di depan ruangan suci miliknya, tengah berbincang dengan salah satu staff produksi.

"Kau gila!"

Dan Inggrid merasa dirinya benar-benar sudah gila sejak pertama kali ia memutuskan berhenti bekerja dari publishing yang lama hanya karena alasan tidak ingin satu kantor dengan Putra, kemudian mengajukan surat lamaran di Orange Publishing yang jelas-jelas Inggrid tahu siapa pemiliknya. Itu adalah keputusan paling gila yang pernah ia ambil.

"Apa aku salah? Kurasa tuan Mika orang yang keren. Dia mapan, tampan, dan kalian sudah saling mengenal sejak lama. Lagipula sejak bulan lalu tuan Mika selalu memerhatikanmu, tahu!"

Oh, jelas. Anggi tidak tahu saja kalau Mika sebenarnya sedang memastikan bahwa aku tidak akan membuat onar atau menyulitkan perusahaannya!

"Dia selalu memperhatikan pegawainya, Anggi. Dan kalau kau tidak tahu, sejak 5 menit lalu matanya sedang memerhatikanmu. Kembalilah ke kubikelmu kalau kau tidak mau mendapat teguran pedas dari mulutnya." timpal Hellen dari kubikelnya.

Inggrid tersenyum, ia sangat mencintai Hellen. Temannya yang satu itu sangat berbeda dengan Anggi. Hellen tipe orang yang tidak suka bergosip.

....

Mendongak ke atas dan mendapati jarum jam sudah mendekati pukul 6 sore, Inggrid langsung mendesah lega. Akhirnya matanya bisa beristirahat juga.

"Kalian ada acara malam ini?" Anggi datang menghampirinya, tas sudah bergelayut manja di bahunya yang terbuka.

"Tidak, kenapa?" jawab Inggrid tek begitu peduli.

"Bagus!" sahut Anggi semangat, ia kemudian merangkul bahu Hellen dan Inggrid. "Kalian tahu Dimas? Dia mengadakan acara ulang tahun di salah satu pub."

Hellen terlihat enggan, ia melepaskan diri dari rangkulan Anggi. "Maaf, aku tidak ikut."

"Kau gila? Ini acara yang spektakuler, Dimas akan menyewa pub hingga pagi! Kita bisa berpesta tanpa harus mengeluarkan uang dan ... siapa tahu kalian berdua mendapatkan jodoh di sana."

Dimas Hanggono, anak konglomerat yang entah kenapa bisa nyasar di penerbitan padahal ia memiliki peluang besar untuk menjadi CEO di perusahaan keluarganya yang selama ini bergerak di dunia perhotelan dan konstruksi. Mungkin dalam kamus Dimas, menghamburkan uang jutaan rupiah dalam satu malam seperti bukan masalah besar karena dia anak konglomerat, yang memiliki pundi-pundi uang di bank yang sialnya tidak habis untuk 7 turunan.

"Ayolah, Hellen... hanya malam ini. Lagipula hidupmu jangan lurus-lurus saja. Sesekali harus ada sesikit belokan agar tidak terlalu membosankan."

Inggrid dan Hellen saling berpandangan sebelum tawa mereka meledak. Anggi memang memiliki segudang kata bijak, tapi cara penyampainnya terlalu sulit dipahami.

avataravatar
Next chapter