webnovel

Inevitable Fate [Indonesia]

Siapa bilang seorang Nathan Ryuu, lelaki blasteran Jepang - Perancis, adalah anak dari seorang konglomerat besar, sudah hancur dan tak memiliki cinta usai dia kalah dari Vince Hong dalam memperebutkan Ruby? Lelaki muda dan berkuasa ini terlalu jauh dari kata menyerah, meski pemikiran itu sempat menghinggapinya di awal-awal perceraiannya. Nyatanya, takdir dari langit mencoba menawarkan asa baginya untuk sekali lagi bertaruh pada cinta wanita tak terduga. Apakah dia berani mengambil taruhan itu? Wanita itu, Reiko Arata Zein, seorang blasteran Jepang - Indonesia yang harus berjuang sendiri ketika dunia sedang menguji dan menderanya. Kalaupun mereka memutuskan untuk bersatu, bisakah menghadapi semua badai yang diciptakan orang-orang di sekitar mereka? Atau lebih baik menyerah demi kebaikan bersama? ================================== =*= Novel DEWASA =*= ================ Tolong yang belum umur 18 tahun jangan coba-coba melirik apalagi membaca novel ini atau penulis tidak akan bertanggung jawab apabila Anda dewasa sebelum waktunya. Bijaksana dan bijaksini dalam memilih bacaan yang sesuai dengan Anda. Language: Indonesia Warning: (mungkin) akan ada adegan-adegan dewasa Source of story: (spin-off) Lady in Red 21+

Gauche_Diablo · Urban
Not enough ratings
702 Chs

Kenangan Akan Ayah dan Ibu Terbaik

Everybody wants to be loved

Don't give up because you are loved

- You Are Loved by Josh Groban -

===========

Ketika Reiko terbangun keesokan harinya, itu sudah menunjukkan jam 7 lebih. Dia terkesiap dan duduk cepat. Sudah terlalu siang untuknya.

"Auwgh!" Dia memekik kesakitan, lupa kalau beberapa bagian dari tubuhnya masih sakit dan lebam. Ia pun rubuh kembali di kasur dengan wajah murung.

Saat menggerakkan badannya, dia kembali mengerang kesakitan, sepertinya hari ini akan menjadi hari paling menyakitkan untuknya karena luka lebam dia sedang giat-giatnya memberikan rasa sakit.

"Nona Nanako, kau sudah bangun." Bu Meguro muncul ketika pintu kamar terbuka. "Kebetulan saya sedang berada di sekitar kamar Nona dan mendengar teriakan Nona."

"Ohh." Reiko jadi malu sendiri, apakah tadi dia menjerit terlalu keras?

"Nona, pagi ini ingin makan apa? Biar nanti chef akan menyiapkan makanan kesukaan Nona." Bu Meguro menepikan tirai tebal warna keemasan di kamar tersebut dan sinar matahari bisa lebih leluasa menerjang masuk ke kamar, tidak seperti tadi yang tertahan.

"Aku ... aku makan apapun bisa." Reiko memang bukan merupakan orang yang pilih-pilih makanan. Meskipun dia memiliki makanan kesukaan, tapi dia tidak mengharuskan selalu memakan itu setiap saat.

"Baiklah. Di meja sudah tersedia makan pagi. Ada gohan (nasi putih), miso shiru (sup miso), natto (kedelai fermentasi), yakizakana (ikan bakar), tamagoyaki (telur gulung), dan kobachi (sayuran)." Bu Meguro menyebutkan hidangan yang ada di meja makan.

Batin Reiko tertawa kecil, sungguh merupakan tipikal menu sarapan pagi orang Jepang. Lengkap dari karbohidrat, protein, dan sayuran. Mungkin nanti juga akan ada teh hijau hangat untuk pelengkapnya.

Hm, sudah berapa lama sejak dia makan pagi dengan hidangan seperti itu? Dulu, ibunya sering menyediakan itu sebagai sarapan pagi meski terkadang juga memasak nasi goreng atau nasi uduk sebagai sarapan khas di Indonesia untuk selang-seling agar tidak bosan.

Reiko tidak lupa bahwa dia masih memiliki darah Indonesia dari ibunya. Dari ibunya dia belajar banyak mengerti mengenai Indonesia, meski setiap Reiko mengatakan keinginannya untuk pergi berkunjung ke Indonesia, sang ibu selalu tersenyum seolah itu merupakan penolakan halus dari Beliau.

Kenapa orang tuanya seolah tidak memiliki keinginan untuk sesekali berkunjung ke tanah air sang ibu? Apakah ibu tidak merindukan tanah kelahirannya? Atau mungkin ayahnya tidak mengizinkan? Tapi, menurut Reiko, ayahnya adalah seorang ayah paling lembut dan penyayang yang dia ketahui.

Tidak, rasanya tidak mungkin sang ayah melarang ibunya pergi ke Indonesia. Tapi ... kenapa mereka tidak pernah ke Indonesia. Meski keluarga mereka bukan golongan kaya, tapi rasanya masih bisa jika hanya membeli tiket pulang pergi ke Indonesia sekedar menengok saudara di sana, ya kan?

Tapi, baik ibunya ataupun ayahnya hanya tersenyum setiap Reiko menyatakan keinginannya pergi ke Indonesia. Jika dia mendesak mereka, dia hanya diberikan kalimat: "Baiklah, kapan-kapan jika uang Papa terkumpul lebih banyak, yah!"

Dan itu saja yang dijadikan alasan menolak keinginan Reiko sampai akhirnya maut menjemput keduanya dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.

"Nona Nanako, apakah perlu saya bawakan ke sini sarapannya?" tanya Bu Meguro karena Reiko diam saja.

"O-ohh, tidak usah, Bu! Aku akan ke sana." Reiko tersadar dari lamunannya. "Tapi ... bajuku ...."

"Ohh, Tuan sudah membelikan baju untuk Nona. Sudah saya taruh di dalam lemari." Bu Meguro menunjuk ke sebuah lemari besar di kamar itu.

"Heh?" Reiko terkejut, sejak kapan lemari itu berisi baju untuknya? Kapan Bu Meguro menaruh di sana? Apakah ketika dia masih tidur? Astaga, apakah dia mayat sampai tidak terbangun ketika ada orang masuk ke kamar bahkan menaruh barang di lemari!

Reiko teringat kata-kata ibunya jika dia sangat lelap dalam tidurnya sampai susah dibangunkan waktu kecil. "Rei, kau tidur seperti kerbau, sampai-sampai suara sekeras apapun kau tidak tahu."

Dan Reiko belia waktu itu menjawab, "Tapi, Ma, bukankah kerbau binatang rajin? Kenapa kesannya dia malas kalau dari ucapan Mama?" Dia mengingat hewan seperti sapi namun berwarna hitam.

Ibunya menjawab, "Itu hanya ungkapan di Indonesia saja kalau ada orang yang tidur tanpa bisa terbangun meski ada suara gaduh di sekitarnya. Jangan tanyakan Mama kenapa memakai kerbau, ha ha ha ... bukan Mama yang membuat ungkapan itu."

Mengingat hal tersebut, Reiko tersenyum sendiri, hatinya terasa hangat membayangkan sang ibu. Beliau cantik, lembut dan pandai memasak. Reiko merasa dia sangat dicintai saat itu, sangat beruntung dulunya karena memiliki ayah dan ibu yang penyayang dan luar biasa.

Ya, itu adalah keberuntungan besar dia selama masa kecilnya. Namun, sudah habis ketika dia dewasa dan kehilangan mereka berdua.

"Nona Nanako, apakah Nona yakin ingin gohan? Bukan okayu (bubur nasi). Saya bisa suruh chef untuk siapkan itu." Bu Meguro lagi-lagi menghentikan lamunan Reiko.

"Tidak usah, Bu Megu. Gohan saja sudah cukup. Aku toh tidak terlalu sakit, ya kan?" Reiko tersenyum dan berkata lagi, "Aku akan mandi, Bu."

"Nona yakin ingin mandi pagi ini? Tapi badan Nona pasti masih sakit." Bu Meguro tidak menyangka Reiko ingin mandi. Dia kira, Reiko akan bertahan di tempat tidur dan paling cepat akan melakukan acara mandi nanti sore.

"Tidak apa, Bu. Aku risih karena sudah berkeringat banyak sejak kemarin. Aku tak mau gatal dan lengket." Reiko patut beralasan demikian. Kemarin dia bergulat dengan Yamada Shoichiro dan sempat pula terjatuh ke lantai ruangan lelaki itu.

Reiko juga tidak ingin bekas sentuhan Yamada Shoichiro masih menempel dan tersisa menjadi residu di tubuhnya. Dia harus lekas membuang, menyingkirkan residu dari lelaki jahat itu!

Karena Reiko bersikeras mandi, maka Bu Meguro pun mengangguk dan berkata, "Sebentar, akan Ibu siapkan airnya dulu dan handuknya juga." Bu Meguro lekas berjalan ke kamar mandi yang menyatu dengan kamar tidur.

Tak lama, terdengar suara kucuran deras air yang sepertinya ditampung dalam sebuah bathtub. "Nona, sebentar lagi airnya siap. Mari, saya bantu melepas pakaian malam Nona."

Tidak ada penolakan dari Reiko, karena dia memang tahu badannya akan terasa sangat sakit dan ngilu ketika digerakkan. Dia memang membutuhkan si pelayan untuk melucuti baju dari tubuhnya.

"Handuknya sudah ada di atas rak di sana, mantel mandi juga sudah saya gantung di dekat rak. Nanti akan saya bantu Nona memakai pakaian. Nona bisa menekan bel memanggil saya." Bu Meguro selesai membuka semua piyama Reiko dan memapah gadis itu masuk ke dalam bathtub yang telah berisi air hangat.

"Terima kasih, Bu Megu." Reiko berikan senyum tulusnya ke wanita paruh baya itu.

"Akan saya bantu gosokkan punggung Nona." Bu Meguro mengambil spons dan tidak menunggu Reiko merespon.

Gadis itu diam sambil duduk di bathtub, membiarkan kepala pelayan itu menggosokkan spons ke punggungnya, rasanya sangat nyaman. Mengingatkan ketika dulu ibunya sering menggosok punggungnya ketika mereka mandi bersama.

Untuk Reiko, acara mandi bersama sang ibu adalah hal menyenangkan karena mereka bisa saling menggosok punggung satu sama lain dan juga sekaligus mengobrol serta bergosip sambil bercanda. Sungguh masa kecil yang sangat berharga bagi Reiko.

Masa yang tidak akan terulang lagi dan mengendap sebagai memori saja di otaknya.

"Oh ya, kemana Tuan Ryuu?" tanya Reiko.