1 Prolog

“Mereka itu benar-benar ada, jika kalian percaya,

maka kalian akan melihat apa yang ku lihat selama ini.”

_Erwin Rajendra_

***

Malam sunyi dengan suasana yang sepi. Di sebuah ruangan yang terlihat sudah sangat usang. Tembok rumah yang sudah berlumut, kursi kayu pun juga sudah reyot. Bunyi hewan seperti jangkrik dan serangga lainnya, tak menyulutkan niat seorang pria yang tengah menyusuri ruangan demi ruangan dari rumah itu.

Bukan hanya bunyi serangga saja, ada bunyi-bunyi lainnya yang mampu membuat bulu kuduk merinding. Benda terjatuh, pintu yang tiba-tiba saja terbuka dan tertutup sendiri, bahkan langkah kaki yang membuat siapa saja enggan untuk tetap berada di ruangan yang menyeramkan itu. Namun, berbeda dengan yang lainnya, pria yang kini mengenakan kaos berwarna hitam serta kemeja berwarna putih itu dengan santainya menghampiri setiap suara yang mengganggunya.

Sampai pada akhirnya, terdengar suara tangisan seorang wanita yang mengganggu telinganya. Dengan cepat ia menghampiri sumber suara. Di balik tembok, tepatnya di dekat kamar mandi. Dengan jelas, ia bisa mendengar suara tangisan seorang wanita yang terdengar begitu menyayat hati. Namun, setelah ditelusuri, tidak ada siapa pun di sana. Ia mencoba untuk kembali, tapi tiba-tiba saja suara air mengalir berhasil menghentikan langkahnya. Ia membalikkan badannya untuk melihat apa yang ada di belakangnya.

“Ck, sial!” gerutunya.

Tidak ada apa pun, yang diharapkan muncul sama sekali tidak menampakkan dirinya. Sehingga membuat pria itu sedikit kecewa. Suara bunyi ponsel miliknya membuat pria berkulit putih itu mengalihkan pikirannya sejenak. Ia merogoh saku celananya, lalu menatap layar biru yang terus menyala.

“Halo?” ucapnya, pada seseorang di seberang sana.

“Erwin, di mana kamu?” tanya seorang pria.

“Aku sedang mencari sesuatu,” jawabnya dengan enteng.

“Oh ayolah Erwin, tengah malam seperti ini kamu sedang mencari apa?”

“Aku sedang berburu hantu,” ujarnya.

“Hey! Apa kamu sudah gila? Jangan bercanda!” protesnya.

“Ada apa? Langsung saja katakan.”

“Temui aku sekarang juga! Akan ku tunggu dalam waktu lima menit!” perintahnya.

“Aku ini bukan pembalap, jangan menyuruhku seenaknya!” oceh pria yang bernama lengkap Erwin Raditya Rajendra itu.

“Aku tidak mau tahu, ku tunggu malam ini di apartemenku. Sekarang!”

Tut ... tut ... tut

Erwin hanya bisa berdecak kesal, ia menatap layar ponselnya dengan tatapan datar. Ia sedikit menoleh ke arah ruangan yang begitu gelap.

“Pergilah, aku sedang tidak ingin berurusan denganmu.”

***

Mario Andra Wijaya, atau yang lebih akrab disapa Rio merupakan kakak angkat Erwin. Mario adalah seorang anggota polisi. Ia sudah mengabdi sejak sepuluh tahun silam. Bisa dikatakan Rio saat ini menginjak kepala tiga. Namun, wajahnya tetap awet muda seperti masih berusia dua puluh tahunan. Meskipun kulitnya sedikit berwarna coklat.

Erwin Raditya Rajendra, adik angkat Rio yang memiliki kemampuan istimewa. Ia mampu melihat sesuatu yang tak banyak orang lain bisa melihatnya. Ia juga bisa berbicara, merasakan, bahkan mengusir makhluk tak kasat mata. Erwin yang sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu pun, sudah tidak bisa merasakan takut lagi. Iya, Erwin merupakan seorang indigo.

Kemampuannya ini didapat saat ia masih berusia lima tahun. Entah darimana asalnya, pria yang masih berusia dua puluh lima tahun itu tak bisa mengingat kisah masa kecilnya. Namun, itu bukan masalah baginya, yang terpenting adalah kehidupannya saat ini.

Kini kakak beradik itu tengah duduk di ruang tamu. Dengan beberapa lembar kertas di atas meja. Erwin menatap kertas itu satu persatu. Ada beberapa lembar foto, serta data yang ditulis tangan.

“Apa ini?” tanya pria itu dengan bosan.

“Kasus hari ini.” Rio memperlihatkan beberapa data yang ia tulis sendiri, “Baca ini, kejadiannya terulang lagi.”

Erwin menerima kertas yang disodorkan padanya. Ia sebenarnya merasa bosan dengan kasus yang tengah dihadapi kakaknya saat ini. Pasalnya, ini bukanlah kasus yang biasa dilakukan oleh manusia.

“Sudah tiga kali rumah itu memakan korban, tapi tetap saja pelakunya tidak pernah ditemukan,” ujar Rio yang merasa frustrasi.

Erwin menaruh kertas itu kembali ke atas meja, dengan sedikit melemparnya. “Yang harus Kakak lakukan adalah menemukan sumbernya.”

Rio menatap adiknya tak mengerti. “Apa maksudmu?”

“Ayolah Kak, jika Kakak ingin menemukan pelakunya, maka Kakak harus menemukan sumbernya terlebih dahulu.”

“Jangan bilang kalau–“

“Iya, mereka semua ditumbalkan. Orang yang mengisi rumah itu, akan mati tiba-tiba dengan kondisi tubuh yang terkoyak.”

“Kenapa kamu baru bilang sekarang? Aku sudah mendapat laporan ini tiga kali dan itu terjadi selama tiga bulan yang lalu.”

“Aku sudah bilang Kak, tapi Kakak bersikeras kalau mereka tewas gara-gara hewan buas. Ini kota, bukan hutan. Kakak ini seorang polisi, tapi kenapa otaknya tidak dipakai?”

“Kamu mau bilang kakak bodoh?” Tak terima dengan ucapan adiknya, Rio menatap Erwin dengan memelototi dirinya.

Mendapat tatapan seperti itu, Erwin hanya bisa mengangkat kedua bahunya.

“Tapi siapa yang tega melakukan hal bodoh seperti itu?” tanyanya.

“Itu yang akan kita cari.”

Erwin menatap Rio dengan smirk-nya. Iya, pekerjaan seperti inilah yang disukai oleh Erwin. Berburu hantu dengan kasus yang mengiringinya membuat ia benar-benar semangat. Terkadang ia merasa bersyukur akan kemampuan yang dimilikinya. Meskipun dalam hati kecilnya, ia tetap memiliki rasa penasaran tentang kisah masa lalunya.

Rio tak pernah menceritakan apa pun soal Erwin kecil. Ia akan selalu menghindar jika adiknya mulai menanyakan hal itu padanya. Iya, Rio memang menyembunyikan sesuatu darinya. Meskipun begitu, ia tak pernah melarang Erwin tentang apa pun. Termasuk, hobinya yang selalu berurusan dengan makhluk halus.

“Baiklah, tugasmu hanya menemukan makhluk itu, lalu cari majikannya!” perintah Rio.

“Kalau begitu, biarkan aku melihat rumah itu terlebih dahulu,” ujarnya.

Terlihat keraguan di wajah Rio. Entah kenapa, kali ini batinnya merasakan sesuatu yang aneh. Namun, ia mencoba untuk menepis pikirannya demi menyelesaikan kasus yang sedang ditanganinya.

“Bersiaplah besok pagi, aku akan membawamu ke rumah itu,” ucap Rio.

Erwin menghela napasnya panjang. Ia beranjak dari duduknya hendak pergi meninggalkan Rio.

“Apa yang sedang kamu cari?”

Pertanyaan Rio sontak membuat langkahnya terhenti. Ia menatap kakak angkatnya dengan tatapan santainya. “Aku hanya sedang mencari hiburan,” jawabnya.

Rio yang sudah tak aneh dengan kebiasaan adiknya, hanya bisa menghela napas. “Jangan lakukan itu lagi, kamu harus fokus pada pekerjaan barumu nanti.”

“Ayolah Kak, aku sudah bilang kalau aku tidak mau bekerja di kantor.”

“Lalu, apa yang akan kamu lakukan untuk mencari uang?”

“Selama masih ada Kakak, untuk apa aku mencari uang,” katanya sembari menampilkan barisan giginya yang berjejer rapi.

“Sudah kuduga jawabanmu akan seperti itu.”

“Aku akan memakai kamar tamu, jadi tolong bangunkan aku besok pagi,” ujarnya sambil berlalu meninggalkan Rio.

“Aku harap tidak akan terjadi apa pun kedepannya,” gumam Rio.

Erwin merebahkan tubuhnya di atas ranjang, ia menatap langit-langit kamar. Dan berkutat dengan pikirannya sendiri, hingga tanpa sadar ia pun terlelap tidur.

…...

To be continued …

avataravatar
Next chapter