webnovel

Bab 2 Pelet pengasih " Cek In "

"Dian, nanti kita pulang bareng

lagi ya," kata dokter Hilan yang

sudah berdiri di depan pintu

ruangan KIA. Dia lalu masuk dan

duduk di kursi yang ada di

ruanganku. Entah kenapa, dia

sudah tak memanggilku dengan

sebutan 'Mbak Dian' lagi.

Aku sedang menulis laporan

bulanan. Sejenak aku

menghentikan pekerjaanku, lalu

memandang pimpinan puskesmas

yang sedang duduk di depanku itu,

dengan berbatas sebuah meja.

"'Saya nanti mau pulang bareng Mbak Weni, Dok," kataku

beralasan. Karena jujur saja, aku

merasa sangat tidak nyaman

harus berduaan di dalam mobil

ambulans. Aku khawatir istri

dokter Hilan akan tahu dan

cemburu padaku. Pasti akan

menimbulkan masalah buatku.

Tiba-tiba dokter Hilan

tersenyum yang tak bisa aku

artikan, mendengar ucapanku.

"'Saya tahu kalau itu cuma

alasan kamu saja, Dian. Kamu

pasti asal bicara. Karena hari ini

Weni nggak masuk kerja," kata

dokter Hilan, masih sambil

tersenyum. Matanya menatapku

tajam.Aku tentu saja menjadi salah

tingkah dan merasa sangat malu,

karena keahuan sudah

berbohong. Dalam hati aku

merutuki diri sendiri, kenapa harus

menyebut nama Mbak Weni bukan

yang lain.

"Ya sudah kalau kamu nggak

mau pulang bareng saya, Dian.

Saya nggak akan maksa kamu,"

kata dokter Hilan. Dia lalu beranjak

dari tempat duduknya dan keluar

dari ruangan KIA.

Namun entah kenapa, aku

malah menyesali diri sendiri

setelah dokter Hilan pergi dari

hadapanku. Aku bahkan berharap

dia akan masuk lagi dan

mengajakku kembali untuk pulang

bersama.

***

Sejak hari itu, kami, aku dan

dokter Hilan, selalu berangkat dan pulang bersama. Dia selalu

menjemput dan mengantarku

pulang.Tentu saja hal tersebut

membuat gosip di antara staf

Puskesmas Pandan Wangi. Tapi

aku tak peduli dan bersikap acuh

menghadapi gosip yang beredar

itu. Toh aku dan dokter Hilan tak

pernah melakukan apa pun yang

melanggar norma kesusilaan,

begitu pikirku.

***

Sering sepulang kerja kami

berdua tak langsung pulang ke

rumah masing-masing, tapi

jalan-jalan dulu kemana saja.Aku

tak lagi merasa risih hanya

berduaan di dalam mobil

ambulans dengan dokter Hilan.

Bahkan sekarang aku selalu

menginginkan hal itu. Aku ingin senantiasa berlama-lama dekat

dengannya

Hubunganku dengan dokter

Hilan semakin akrab dan mulai

saling terbuka menceritakan

kehidupan pribadi masing-masing.

Dokter Hilan bilang, dia menikah

karena sebuah kecelakaan.

Pacarnya hamil diluar nikah, dan

keluarga pacarnya itu meminta

agar dokter Hilan mau

bertanggung jawab atas

perbuatannya. Perempuan itu

adalah yang sekarang menjadi

istrinya, begitu cerita dokter Hilan

padaku. Tentu saja hal tersebut

membuat aku menaruh sebuah

harapan."Yang, nanti malam kita jalan

yuk. Suntuk aku di rumah," ajak

dokter Hilan suatu hari. Dia tak lagi memarggilku Mbak Dian. Aku

dan dokter Hilan mempunyai

panggilan istimewa di antara kami

yaitu, SAYANG.

"Mau jalan ke mana?"

tanyaku.

"Ke hotel" jawab dokter Hilan,

membuatku terkejut tapi juga

merasa senang.

Meskipun aku belum pernah

menginap di hotel dengan seorang

laki-laki, tapi aku tahu apa yang

akan terjadi jika aku dan dokter

Hilan cek in di sana. Tanpa pikir

panjang, aku pun mengangguk

setuju.Malam harinya, aku dan

dokter Hilan bertemu di tempat

yang sudah kami sepakati bersama 1ar orang yang melihat

kami tak menaruh curiga. Aku

bilang pada ayah dan ibu akan

keluar sebentar. Aku lalu naik

becak ke tempat tersebut. Dan

ketika sampai di sana, Dokter

Hilan telah menungguku di dalam

mobil pribadinya. Kami lalu

menuju ke kota dan cek in di

sebuah hotel.

Di hotel itu, aku dan dokter

Hilan melakukan perbuatan yang

sebenarnya tidak boleh kami

lakukan. Kami berdua berbuat

layaknya seperti sepasang suami

istri. Aku menyerahkan

kegadisanku pada dokter Hilan

dan aku sama sekali tak merasa

menyesal sedikit pun melakukan

hal itu. Entah kenapa. Mungkin

karena aku mulai menyukai dokter Hilan. Pukıl sepuluh malam kami

cek oul da hotel.

"Yang, kita nikah saja yuk. Aku

ingin bertanggung jawab atas atas

apa yang sudah aku lakukan ke

kamu tadi. Aku ingin kamu tahu,

kalau aku memang betul

mencintai aku dan ingin

menjadikan kamu istriku," kata

dokter Hilan, saat kami sedang

dalam perjalanan pulang.

Aku diam saja, tak tahu harus

menjawab apa. Aku memang

menyukai dokter Hilan, tapi aku

belum pernah berpikir untuk

menikah dengannya. Apalagi dia

sudah mempunyai anak dan istri.

Meskipun aku pernah menaruh

harapan padanya."Kamu kok diam, Yang? Mau

nggak kamu nikah sama aku?"

Kembali dokter Hilan bertanya,

seraya tanganku digenggamnya.

TeS nanti bu gimana kalau

kita nikah?" tanyaku, maksudnya

istrinya.

"Kita nikah dibawah tangan

saja, Yang. Cuma kita berdua yang

tahu. Sama orang tua kamu tentu

saja.

Aku menghela napas panjang.

Saat itu aku baru tahu, kalau

dokter Hilan juga mencintaiku.

Karena selama ini, tak pernah

terucap dari bibirnya kalau dia

mencintaiku. Kami menjalani

hubungan tanpa pernah

mengucapkan kata cinta. Awalnya

aku berpikir dia hanya mencari

kesenangan saja, karena kabar

yang pernah aku dengar, dokter

Hilan seorang playboy. Banyak perempuan yang jadi pacarnya,

bahkan beberapa di antara mereka

yang sudah bersuami.

"Aku pikir-pikir dulu ya, Yang,"

kataku setelah beberapa saat

terdiam. Entah kenapa malah kata

itu yang keluar dari mulutku.

Bukannya mengiyakan ajakan

dokter Hilan untuk menikah siri.

Pukul setengah dua belas

malam mobil yang kami kendarai

sampai di depan rumahku. Dokter

Hilan langsung perg, begitu pintu

rumahku terbuka. Ayah yang

membuka pintu, beliau sedang

menonton acara TV, sementara ibu

sudah tidur.

"Dari mana saja, Nduk.

Tumben jam segini kok kamu baru

pulang. Nggak biasanya kamu

pergi sampai larut malam," tanya ayah, seraya memandangku heran.

Sebab memang selama ini aku tak

pernah keluar malam, apalagi

sampai arut ini.

"Dari main sama teman, Yah,"

jawabku singkat. Sembari

berusaha untuk bersikap wajar

dan biasa saja, agar ayah tak

menaruh curiga padaku.

Aku lalu segera masuk ke

dalam kamar dan mengunci

pintunya, agar ayah tak bertanya

lebih banyak lagi. Aku kemudian

membersihkan badan, meskipun

tadi di hotel sudah kulakukan.

Berganti pakaian dan merebahkan

diri di kasur.

Kupandangi langit-langit

kamar. Aku mengingat kembali

apa yang sudah aku dan dokter

Hilan lakukan saat di hotel.

Bagaimana kalau aku hamil? Begaimana jika dokter Hilan

ternyata Derubah pikiran dan tak

mau lagi menikah denganku?

Bermacam pertanyaan

menggelayut di kepala.

Tiba-tiba aku mempunyai ide

untuk mendatangi seorang

paranormal. Aku akan meminta

pelet pengasihan padanya agar

dokter Hilan semakin tergila-gila

padaku. Aku pernah membaca di

sebuah tabloid tentang hal itu.

Aku tersenyum. Ya, aku akan

datang ke paranormal itu dan

minta bantuannya.

  Awal bulan berikutnya, setelah

menerima gaji, aku segera pergi ke

tempat paranormal yang aku

pernah baca iklan-nya di sebuah

tabloid nasional. Nama

paranormal itu Jeng Murti. Aku

benar-benar sudah nekat dan

hilang akal. Bayangkan saja, aku

yang sebelumnya tak pernah pergi

jauh sendiri, demi untuk

mendapatkan pelet pengasihan

aku jadi berani.

Aku sengaja naik taxi menuju

ke tempat praktik paranormal itu.

Karena aku memang tidak paham daerah yang akan aku datangi.

juga agar bisa sampai di sana

lebih cepat.

Ternyata alamat yang tertera

di dalam tabloid itu adalah alamat

sebuah hotel. Awalnya aku sempat

ragu. Masa iya sih ada seorang

paranormal yang melakukan

praktik di sebuah hotel. Namun,

saat aku tanyakan pada satpam

hotel, alamat yang dimaksud

adalah benar dan paranormal itu

memang berpraktik di hotel

tersebut. Aku menjadi makin yakin

dan percaya diri, kalau usahaku

akan berhasil. Yaitu mendapatkan

pelet pengasihan untuk dokter

Hilan, agar dia selalu mencintai

dan menyayangiku.Aku lalu naik lift menuju ke

lantai 3, dimana paranormal itu

berpraktik. Setelah sebelumnya

diberitahu oleh satpam hotel.

Sampai di lantai3, terlihat sudah

banyak orang yang sedang

menunggu.

"Mbak, silakan daftar dan

ambil nomor antrian dulu," kata

seorang laki-laki yang berada di

depan pintu kamar no 13, ketika

aku baru sampai. Dia memegang

beberapa helai kertas, mungkin

kartu kunjungan orang yang

datang.Aku lalu mendaftar dan

mengambil nomor antrian. Keren

juga nih dukun, pelanggannya

sampai harus pake nomor antrian.

Pasti manjur, aku membatin

seraya tersenyum. Terbukti

dengan banyaknya orang yang

datang berkunjung ke tempat praktiknya.

Sambil menunggu giliran

dipanggil, aku tersenyum dalam

hati. Membayangkan dokter Hilan

akan terus menyayangi dan

mencintaiku serta dia tak akan

pernah meninggalkan aku.

Meskipun aku belum memikirkan

soal kelanjutan hubungan kami.

Aku hanya ingin dokter Hilan tak

meninggalkan aku.

"Mbak sudah sering ya datang

ke sini?" tanya seorang perempuan

berusia sekitar 30 tahun yang

duduk di sebelahku tiba-tiba,

membuyarkan lamunan.

"Oh ... eh .. belum. Baru

sekarang. Kalau Mbak sudah

berapa kali datang ke sini?" Aku

balik bertanya."Sudah empat kali ini,"

jawabnya, membuat mataku

membeliak. Ternyata perempuan

ini sudah langganan, batinku.

Sembari manggut-manggut.

Perempuan itu lalu bercerita

kenapa dia selalu datang menemui

Jeng Murti untuk meminta

bantuan kepadanya. Aku

mendengarkan cerita perempuan

yang duduk di sebelahku dengan

rasa takjub.

Aku semakin yakin akan ilmu

yang dimiliki oleh Jeng Murti ini.

Kalau memang tidak manjur,

kenapa orang berulang kali datang

untuk meminta bantuannya.

Setelah hampir dua jam

menunggu, nama dan nomor

antrianku akhirnya dipanggil oleh

lelaki yang tadi menyuruhku untuk mendaftar dn mengambil nomor

antrian. Aku lalu masuk ke kamar

hotel yang sudah disulap menjadi

sebuah kamar praktik. Tampak

seorang perempuan setengah

baya, berperawakan sedang,

tersenyum padaku, begitu pintu

terbuka. Dia sedang duduk di

depan sebuah meja yang berisi

bermacam benda.

Ada sebuah tungku berukuran

kecil yang masih mengeluarkan

asap, bau dupa seketika menguar

membuat sesak di dada. Lalu ada

sebuah baskom berisi air dan

bermacam bunga. Dan bermacam

benda klenik lainnya yang ada di

atas meja kerja Jeng Murti.Kamar hotel yang berukuran

sekitar 24 meter persegi, dipenuhi

dengan barang-barang berbau

mistis. Di salah satu sudut kamar,

ada sebuah lemari berukuran

sedang dan ditaruh beberapa buah

tengkorak kepala manusia di

dalamnya. Aku menelan saliva

melihat pemandangan yang ada di

kamar hotel tersebut.

"Silakan duduk, Nona Cantik,"

kata perempuan itu menyambutku

seraya tersenyum. Mungkin dia

tahu kalau aku sedang

memperhatikan seisi ruang

praktiknya.

Aku pun segera duduk di

depan perempuan itu, berbatas

sebuah meja. Entah kenapa,

tiba-tiba aku merinding. Bulu

kuduk di kedua tanganku

meremang. Terlebih saat mata kami saling bersitatap, aku melihat

perempuan yang ada di depanku itu lebih mirip dengan seekor ular.

Aku melihat mukanya bersisik.

Seketika aku bergidik, lalu

cepat-cepat mengalihkan

pandangan dari menatap mata

perempuan itu.

"Apa yang jadi persoalan

kamu, Nona Cantik?" tanya

perempuan itu sambil

menyunggingkan senyum. Terlihat

ada dua buah taring di giginya.

Untuk beberapa saat aku terpaku

sambil kembali menelan ludah

dengan susah payah.

Kerongkonganku tiba-tiba menjadi

kering. Ada rasa takut menyelinap

dalam hati dan menyesal telah

datang ke tempat ini. Padahal

ketika di luar tadi aku begitu yakin."Kamu nggak perlu takut,

Nona Cantik. Santai saja. Coba ceritakan apa persoalanmu. Oh ..

iya, panggil saja aku Jeng Murti,"

katanya kemudian. Rupanya dia

tahu kegelisahanku.

"I... iya, Jeng," jawabku

terbata.

Aku lalu menceritakan semua

yang telah terjadi dan apa yang

aku inginkan. Jeng Murti

mendengarkan ceritaku dengan

saksama. Dia terkekeh setelah aku

selesai bercerita. Membuatku

merasa heran tentu saja, apa yang

dia tertawakan.

"Itu sih perkara gampang,

Nona Cantik. Dijamin laki-laki itu

akan bertekuk lutut padamu," kata

Jeng Murti sambil terkekeh.

Membuat aku merasa senang

sekali mendengarnya."Kamu cukup memakai bedak

Tamuanku, pupur cleopatra

namanya. Harganya 350 ribu satu

kotak. Tapi sebelumnya kamu

harus diruwat dulu, agar aura

sialmu hilang dan cantikmumakin

kelihatan," kata Jeng Murti.

Jeng Murti lalu menyuruhku

melepas semua pakaian dan

berganti dengan memakai kain

jarik yang sudah disediakan. Dia

lalu mengguyur seluruh badanku

dengan air yang ada dalam

gentong tanah liat dengan

bermacam bunga di dalamnya.

Ada mawar, melati, kantil, dan

entah apa lagi. Sambil merapalkan

mantra-mantra yang aku tak tahu Aku bergegas memakai baju

kembali saat acara ritual

Bersambung...