webnovel

Scene 6

Ada tiga pria di atas ranjang. Dua pria asing dan satu pria yang sangat dikenal oleh Ami. Semuanya sama tertidur dalam berbagai posisi. Tampak kelelahan, tapi bahkan dalam tidur sekalipun, Ami tahu mereka bahagia. Wajah mereka semua tampak tenang, tertidur lelap. Mungkin malah terlalu lelah karena mereka sampai tidak mematikan lampu sebelum jatuh tertidur seperti itu. Tubuh mereka yang mengilap oleh keringat menandakan bahwa apa pun yang terjadi di dalam kamar ini belum lama berlalu.

Ya, Ami bisa mencium itu. Aromanya masih sangat segar di sini.

Dan cairan-cairan sperma yang mengotori seprai baru yang … baru saja ia cuci tadi pagi, juga masih tampak basah. Hanya karena emosinya terkuras habis di Tarung Baja-lah dirinya tidak meledak dan menghancurkan kepala salah seorang dari tiga pria ini sekarang juga. Ia sudah lelah dan satu-satunya hal yang ia inginkan dari semua ini adalah jawaban.

Ia pun menghampiri pria yang tidur di sisi paling kanan ranjang. Pria berkulit eksotis itu tidak sedang mengeluarkan ekor kesayangannya, jadi ia tampak senormal manusia mana pun sekarang. Ia tidur tengkurap dengan sebelah tangan menggantung di pinggir ranjang. Kedua matanya terpejam, tapi Ami bisa melihat, ada senyum di wajah itu.

Ami langsung saja menarik telinga dari pria yang tidur tengkurap itu. Telinganya adalah satu dari sedikit tempat yang tidak ternoda sperma yang berceceran ataupun keringat dan noda-noda lain yang Ami tidak mau tahu berasal dari mana.

Seperti biasa, sosok itu menggerung. Suara dengkurannya yang mirip kucing akan terdengar lucu jika saja Ami tidak begitu kesal sekarang.

"Lulu?"

Tidak ada respon. Kekesalan Ami semakin parah. Ia pun menarik telinga Lulu lebih keras.

"Lulu?!" Suaranya, meski berbisik, terdengar meninggi.

"Hmm?" Barulah saat itu, sepasang mata merah dari Lulu membuka dengan malas. Persis kucing baru bangun tidur.

Incubus itu langsung tersenyum saat melihatnya.

"Oh, Ami Sayang!" Ami buru-buru mundur saat Lulu menunjukkan gelagat hendak menciumnya. Dengan kasar, Ami menarik rambutnya. Itu pun ia harus menahan geli karena cairan lengket yang ia tahu adalah sperma, juga menempel di rambut hitam Lulu. "Ahh, apa ini? Baru bangun dan aku harus kembali terjaga? Kau akan menghukumku untuk kesalahan yang tidak aku ketahui, Tuan?"

"Oh, kau punya kesalahan dan kau tahu apa itu, Incubus Sialan." Ami berbisik rendah. "Kenapa kau membawa dua orang asing ke apartemenku?"

"Hm? Ke mana lagi aku harus membawa mereka? Aku tidak punya ide tadi. Seperti katamu, aku ini bodoh." Ami mengerutkan kening. Itu jawaban yang tidak ia duga. Tidak ia sangka akan ia dengar dari Lulu. "Aku tadinya ingin membawa mereka ke motel terdekat, tapi dari Pandemonium, semuanya full-booked. Aku rasa kami tiba di jam-jam rawan."

Lulu mengakhiri penjelasannya dengan tawa nakal yang menggoda. Tidak tampak penyesalan sama sekali di wajah maupun suaranya. Tidak ada kata maaf. Padahal seprai baru Ami, baru saja ia rusak.

"Oh, Tuan, janganlah pasang wajah cemberut seperti itu lama-lama." Lulu mengisyaratkan sebuah kecupan. "Membuatku ingin menciummu."

Ami melirik dua pria di atas kasur. Tidak minat sama sekali. Ia pun menjambak rambut Lulu lebih kuat sampai leher incubus itu tegak.

"Ahh!" Alih-alih kesakitan, Lulu malah mendesah manja.

Ami tidak ambil pusing dan berdiri menjulang di atas wajah Lulu. "Apa incubus ini…" Jari Ami membentuk garis di sepanjang rahang Lulu, membuat jakun incubus itu tampak naik turun gelisah. "Yang baru saja menawarkan ciuman ketika mulutnya dan tubuhnya, bau laki-laki lain?"

"Hmmh … ya…." Lulu mengakui tanpa malu. "Apa aku akan kena masalah?"

Ami melihat kilatan nafsu menyala lagi di mata Lulu. Dasar Incubus! Tidak pernah ada kata tidak di kamus mereka jika itu sudah pemenuhan kebutuhan nafsu. Mereka tidak akan kenal lelah soal itu dan tidak akan pernah pikir dua kali. Bagi beberapa orang, ini praktis sekali. Benar, termasuk bagi Ami.

"Tidak."

Di luar dugaan, Ami justru melepas rambut Lulu dengan santainya. Incubus itu membelalak kaget. Seperti seseorang yang kena cockblock, dia terperangah tidak percaya sudah dilepasan begitu saja setelah merasa hampir akan dihukum. Hampir akan mendapat apa yang ia mau. Lulu bangun dari kasur dan duduk, matanya menatap Ami dengan ekspresi yang … Ami tidak bisa baca. Seperti ada kebingungan, kegelisahan, dan kecemasan di sana.

TApi Ami tidak ambil pusing.

"Ami—ah!"

Tapi tanpa diduga, Ami justru menangkat tubuh Lulu dari kasur. Dengan mudahnya, hanya dengan dua tangan, tanpa keringat sama sekali. Tubuh Lulu yang penuh otot itu pun jatuh ke dalam dekapan perempuan. Dalam dekapan Ami. Tangan Ami terselip di betis dan punggungnya, sama sekali tidak masalah dengan semua noda kotoran itu, tidak seperti yang Ami ributkan sedari tadi.

"Ami … kau bilang aku kotor….?" Lulu bertanya, dengan wajah cemberut.

"Ya, kau memang kotor, jorok, dekil, dan bau," Ami menghina tanpa ampun. Lalu ia berputar, menghadap ke arah kamar mandi mereka yang menyala lampunya. "Karena itulah, kau perlu mandi."

Binar kembali menyala di mata merah Lulu. Kecemasan yang tadi menggelayut di pandangannya hilang. "Ami—

"Dan karena kau sudah mengotori seprai yang baru saja aku cuci hari ini." Ami menukas, mereka berdua berjalan hati-hati ke kamar mandi. Ami berusaha teliti agar kepala dari Lulu tidak membentur perabot mana pun. Ami lantas mendelik ke arah incubus miliknya itu. Wanita itu menyeringai. "Kau harus mendapat pelajaran lagi. Dan kali ini, akan aku pastikan kau mengingat semua pelajaran itu baik-baik, Lulu."

Bibir Lulu tampak bergetar. Pandangan matanya berubah sayu, berkabut oleh nafsu. Oh, ia benar-benar akan menantikan semua pelajaran itu dengan tidak sabar.

***

"Ngg—ahh! A-Ami … i-ini terlalu…."

"Ssst." Ami mendesis pelan. "Kalau kau terlalu berisik, pelajaran ini tidak akan masuk ke otakmu itu, kau paham, Lulu?"

"T-tapi ini bukan membersihkan—ngg!" Lulu menggerung lagi ketika tangan Ami menyentuh pusat tubuhnya, tepat di miliknya yang berdenyut panas. "Ini—kau mengeringkan badanku sampai ke isi-isinya!"

Selepas membersihkan seluruh tubuhnya dari noda dan kotoran yang menempel dengan air bersih, Ami menyuruhnya menempelkan kedua tangan ke tembok, dalam posisi berlutut. Sentuhan pertama membuat tubuh Lulu bergerak secara insting. Punggungnya melengkung dan bagian belakang tubuhnya dicondongkan tepat ke arah Ami: sebuah tindakan yang sedari tadi dimanfaatkan Ami dengan meremas pantatnya kuat-kuat, mengundang lolongan pelan keluar dari sang incubus.

"Dan apa yang mau kau lakukan soal itu, hm?" Ami menarik tubuh Lulu merapat padanya. Tangan Lulu terlepas dari tembok, sementara tangan Ami mencengkam rahangnya dan memaksanya menoleh. Memaksa mereka sekali lagi bertukar pandang.

Ami mencium Lulu dengan brutal, liar, dan tidak memberinya jeda sama sekali untuk bernapas ketika ia merongrong bagian dalam mulut Lulu, mencoba mendominasi di sana. Lulu tidak lagi ragu. Mulutnya sudah dibersihkan dengan benar tadi. Ia juga sudah berkumur. Aroma napasnya tidak lagi bau apa pun. Jika pun ada aroma di sana, itu adalah feromon yang seharusnya memikat Ami untuk semakin bergairah padanya.

Bukan sebaliknya.

Tapi justru kenyataannya, sekarang Lulu merasa dirinyalah yang berada dalam permainan Ami.

Tangan wanita itu masih meremas dan mengelus di bawah sana, bergerak semakin cepat. Tubuh Lulu melengkung, dalam diam berkata ia meminta lebih, membutuhkan lebih. Tapi Ami justru memutuskan untuk menyiksanya lebih jauh dengan berhenti mengelus di sana dan malah naik, mengelus perutnya yang rata.

Ciuman mereka lepas, tapi alih-alih langsung berakhir, dua jari Ami justru menarik lidah Lulu. Ibu jari Ami ada di permukaan atas lidahnya, mengelus lembut di sana.

"Lidah ini, dia mau protes pada tuannya?" Secara keji, Ami hanya membiarkan ujung lidah mereka bertemu. Lulu membelalak, tubuhnya bergetar oleh gairah dari perlakuan yang keji itu.

Ia ingin lebih! Ingin lagi!

Perlahan, tangan Ami kembali turun, semakin ke bawah. "Padahal tubuh dan wajahnya berkata sebaliknya begini, hm?"

"M—maaf…." Tangan Lulu meraih wajah Ami, mengelusnya. "Ami … bisa mengeringkanku sesuka hatinya."

Ami mendengkus pelan. Menahan tawa. Perempuan itu tersenyum nakal.

"Astaga, kau belum puas?" Tangan Ami menelusuri garis pinggangnya dan Lulu pun mendesah, tepat ke telinga Ami. "Padahal aku yakin dua pria tadi sudah memberimu saat-saat yang luar biasa."

Lulu menyeringai. Ia menjilat bibirnya yang basah karena air. "Kau tahu aku tidak pernah merasa cukup pada tawaran ini, Ami Sayang."

Mereka pun kembali berciuman. Dalam genangan air dalam bathub, mereka kembali bercumbu. Tangan Ami meraih keran air dan menyalakannya lagi.

Seperti yang ia lakukan pada dua pria tadi. Sebuah permainan nafsu. Sebuah pesta liar tanpa batasan. Lulu tidak menginginkan batasan tadi. Tidak. Ia ingin dihancurkan, ingin tenggelam dalam kenikmatan liar yang membutakan, menulikan seluruh telinga, dan melumpuhkan seluruh indera dan ingatannya. Terlebih pada ingatannya saat Ami memutuskan untuk melangkah menjauh dari Pandemonium, bahkan tidak lagi meliriknya.

Seolah tariannya tidak menarik Ami. Seolah keberadaannya, pada dasarnya, tidak menggairahkan bagi perempuan itu. Hanya jika Ami mau dan butuhlah, mereka berbagi kehangatan seperti ini.

Hampir seolah dalam diam Ami mengatakan bahwa ia tidak tertarik kepadanya. Tidak membutuhkan ataupun terjerat dalam permainan nafsu yang diberikan Lulu.

Dan Lulu membenci itu. Ia benci seseorang yang punya kendali. Ia benci seseorang yang bisa mengendalikan diri bahkan di depannya.

"Ami…." Ia ingin menaklukkan Ami. Ia ingin Ami menjatuhkan diri ke pelukannya, memohon, merintih di bawah tubuhnya, dan takluk sepenuhnya di bawah belas kasihan dan kendalinya. Ia ingin Ami menjadi miliknya, menari untuknya, hanya kepadanya.

"Aku mendengarmu, Lulu." Ami melepas ciuman mereka. Wanita itu lantas meraih ke bawah, ke arah lubang bathtub dan menarik tuasnya, mengosongkan bathub seketika. Sebelum menutupnya kembali dan mengisi ulangnya sekali lagi. Kemudian tangan Ami meraih bodyfoam di pinggir bathub. "Sekarang…."

Ami mendorong Lulu sekali lagi. Lulu memahami isyarat ini untuk kembali merentangkan tangannya ke tembok. Pasrah akan semua siksaan manis yang akan diberikan oleh Ami.

"Kau yang gantian mendengarkanku." Tubuh telanjang Ami merapat ke punggung Lulu. Incubus itu bisa merasakan betapa panas tubuh mereka menyatu, terbagi, dan semakin membara dalam nafsu, tapi wanita di belakangnya, justru bisa mengendalikan itu semua. "Kau dengar itu, Lulu?"

Lulu merasa sedikit kesal. Tapi suara Ami tadi menyiratkan ia akan mengatakan sesuatu yang penting. Jadi Lulu memutuskan untuk mendengar.

Namun tentu saja, Ami tidak membuatnya mudah.

Wanita itu kembali menarik rambut Lulu sampai leher incubus itu mendongak tinggi. Lalu Ami berbisik di telinganya. Tepat di telinganya, mengirimkan gelenyar panas yang baru ke seluruh tubuhnya bagai aliran listrik kecil. Sementara tangannya … oh, tangannya, bermain-main di dada Lulu, mengelus dan menyapukan bodyfoam ke sana, membersihkan seluruh tubuh Lulu dari atas sampai ke bawah dengan cara paling manis dan menyiksa yang bisa ia bayangkan.

"Lulu? Aku menanti jawabanmu." Ami memutuskan untuk bermain-main lebih jauh. Dan itu membuat Lulu semakin kesal.

Semakin kesal, tapi ia semakin menginginkan ini.

"Ohh, Ami … kau benar-benar … nggh—menyiksaku!" protes Lulu. "Haahh, bagaimana … bagaimana aku bisa fokus kalau—nggh, kau menyentuh semua titik sensitifku!"

"Titik sensitif? Oh, kau punya itu?" Ami dengan sengaja menyentuh kedua puting dada Lulu, memainkannya.

"Khh—aahh!"

Ami terkekeh di belakangnya. "Bukannya seluruh tubuhmu adalah titik sensitifmu?"

"Ahh, ahh, A-Ami … aku mohon….nggh!" Lulu menggerung ketika tangan Ami mulai turun, menyapu perutnya, bermain-main di sekitar pusarnya. Oh, dia ingin tangan itu lebih ke bawah. Jauh ke bawah! Menyentuhnya lebih kuat dan lebih kasar. "Katakan—apa—apa yang harus … ahh—akuhh … dengarkan … sebelum—ahh!"

Kendali Lulu sedikit demi sedikit runtuh. Akal sehatnya terkikis oleh setiap sentuhan Ami yang semakin lama semakin melumpuhkannya.

"Sebelum apa, hm? Incubus-ku yang nakal?"

Ami yang terlalu dekat membuat Lulu kehilangan kendali. Ia sepenuhnya telah lepas dari tembok, sepenuhnya merapat pada tubuh Ami. Tangannya menggenggam wajah Ami, menariknya ke dalam satu ciuman panas yang meninggalkan keduanya dalam keadaan napas terengah-engah.

"Sebelum aku kehilangan kewarasanku, Ami Sayang." Lulu membelai wajah majikannya itu. "Karena sentuhanmu … benar-benar…." Lulu menggeram, menggigit bibirnya. "Aku benar-benar menginginkannya sekarang!"

"Kau menginginkanku?" Ami bertanya, sentuhannya semakin intens. Lulu menggeliat dalam dekapannya, tidak tahan pada sentuhannya sekecil apa pun itu. Ia merasa benar-benar akan gila! "Sekarang?"

Lulu hanya bisa mengangguk. Geraman, lenguhan, dan desahan, bergantian keluar dari mulutnya tanpa pernah ada kata yang terucap sungguhan yang bisa dimengerti.

"Ya…." Ketika Lulu sadar Ami tidak bergerak sama sekali, barulah ia memaksakan diri untuk bicara. "Ya, Ami! Ya! Ohh!"

Alih-ali bicara, Ami justru mempercepat gerakan tangannya, begitu kuat dan cepat, seperti keinginan Lulu. Sesuai yang ia mau. Tangan Lulu bergerak membelai wajah Ami saat panas di tubuhnya terasa semakin intens dan tidak tertahankan.

"A-ami … ter-lalu—cepat! Ahh! J-jangan … aku—aku perlu … mendengar … khh—Aahh!"

Klimaks pertama bagi Lulu. Sebuah pembuka dari serentetan klimaks lainnya. Malam masih beberapa jam lagi. Itu sudah lebih dari cukup untuknya bersenang-senang. Malam yang sungguh tidak akan ia lupakan.

"Sabunnya…." Lulu berkata dengan napas terengah-engah. "Sia-sia…."

"Hm? Bukankah kau bisa mandi lagi?" Ami membalas. "Aku lumayan suka memandikanmu."

Lulu menggeram mendengar pujian itu, terlebih karena pujian itu langsung dihantarkan ke telinganya. Ke titik sensitif favoritnya. "Hanya agar aku mendengarkan?"

Ami menyeringai. "Ya."

Lalu, tanpa memberikan ciuman jeda, Ami kembali menyentuhnya. Dengan napas terengah-engah, Lulu menunduk, menyaksikan apa yang Amu lakukan dengan kedua mata terbuka.

Dan, oh, betapa ia suka menyaksikan ini. Dirinya yang dipuaskan oleh Ami. Pemandangan ini tidak akan bosan ia lihat seumur hidup.

"Sekarang, kau sudah siap mendengarkan, Lulu." Ami tertawa seperti iblis yang kejam. Lalu dengan suara menggoda, Ami pun berbisik di telinga Lulu yang sibuk mendesah dan menggeliat memosisikan dirinya ke sudut yang tepat agar rangsangan maksimal bisa diterimanya. Tapi Ami yang tidak terganggu pun meneruskan. "Begini rencananya…."

***

Dua orang itu berciuman di dalam bathub yang kering. Tubuh mereka yang wangi masih meneteskan air. Mereka telah bersih dan wangi, tapi itu tidak menghentikan mereka dari saling memuaskan, terlepas dari sabun dan air yang boros.

Selesai berciuman, Lulu terdiam di bawah tubuh Ami yang masih ada di pangkuannya. Tangannya menyentuh pelan paha Ami.

"Kau sudah tidak bau iblis-iblis Lingkar Amarah lagi."

Ami tersenyum bangga. "Senang mendengarnya."

Lulu tidak begitu saja melepas Ami. Tangan Incubus itu membelai punggung telanjang Ami. "Kenapa kontrak-kontrak berbahaya selalu jatuh padamu?"

Ami membelalak. Wanita itu terdiam, sementara Lulu lanjut mengoceh.

"Kenapa tidak ke algojo lain saja?" keluhnya. "Memangnya tidak bisa diserahkan?"

Tepukan di kedua pipi Lulu langsung menghentikan keluhan incubus itu. Di depannya, Ami berkata dengan dua mata yang tidak berkedip.

"Lulu," ujarnya dengan penekanan tegas dalam setiap kata. "Ini tugasku."

Lulu mengerutkan kening. Tugas dan bukan pekerjaan. Artinya tidak akan bisa ditolak ataupun dialihkan. Lulu terdiam. Oh, kadang betapa ia ingin seluruh kota hancur saja agar ia tidak diganggu lagi di saat sedang bermesraan dengan Ami seperti ini atau harus membicarakan pekerjaan ketika mereka seharusnya hanya memikirkan kepuasan saja.

"Yah, terserah kau saja." Lulu mengedikkan bahu. "Kau yang lelah. Itu urusanmu, bukan urusanku."

Lulu lantas menyandarkan punggungnya ke bathub. Kedua tangannya terentang dan ia tersenyum congkak.

"Lagipula … bukankah karena kau terlalu kompeten itulah kau memilihku dibanding semua iblis lain yang mungkin saja lebih kuat dan kompeten?" Lulu menyeringai, tangannya terulur, menyentuh dagu majikannya. "Amelia?"

Mendengar nama itu, Ami hanya bisa terdiam. Ia tidak memberikan respons apa pun. Tidak marah, tidak kaget, tidak pula senang. Ekspresinya sekali lagi tidak terbaca. Lulu cemberut. Lagi-lagi gagal mempermainkan perasaan Ami. Lagi-lagi, gagal membawa gadis itu dalam permainannya.

***

Dari kamar mandi, Lulu keluar lebih dulu. Seperti biasa. Ami sepertinya punya banyak pikiran untuk direnungkan dan minta untuk diberi ruang dan waktu untuk berpikir. Lulu tidak masalah. Ia meninggalkan majikannya sendiri di dalam kamar mandi, mungkin mulai mencoba menenggelamkan diri dalam hujan shower atau bathub, entahlah, ia tidak begitu peduli.

Yang ia pedulikan adalah dua orang pria yang ada di ranjangnya sekarang. Lulu tersenyum, membayangkan kesenangan yang tadi ia dapatkan dari dua orang itu dan ingin mengulangnya sekali lagi.

Seolah takdir berpihak padanya, salah satu dari dua orang itu perlahan mulai membuka mata. Pria dengan otot yang paling disukai oleh Lulu. Paling berisi dengan kejantanan berukuran sempurna, pas dengan tubuhnya.

Oh, persetan dengan mandi bersih. Ia akan mandi lagi setelah semua ini selesai!

Tanpa pikir panjang, Lulu kembali merangkak ke atas kasur, tepat ke atas tubuh pria itu yang perlahan-lahan mulai sadar sekali lagi.

"Pagi, Tampan." Pria itu menyapa dengan senyuman yang hangat, meski pandangannya masih kuyu. "Bagaimana perasaanmu?"

"Sangat baik!" Lulu menjawab dan tanpa malu, tangannya turun ke arah kejantanan pria itu. Lulu menyeringai. "Dan sangat lapar."

Oh, betapa aktivitas yang indah untuk memulai hari yang baru. Sebelum masalah kembali muncul dibawa oleh gadis yang sekarang sedang menikmati waktunya di bawah pancuran air.

***