webnovel

Scene 4

Tidak pernah ada yang tahu kenapa kota San Dimmo menjadi kota dengan julukan Kota Kematian seperti sekarang. Tidak ada yang tahu kenapa kematian di dalam kota San Dimmo jumlahnya tiga kali lipat dibanding jumlah kematian nasional. Karena letak San Dimmo ada di pinggiran kota Massachusets, pakar kriminal nasional berpikir bahwa jumlah kematian di San Dimmo menjadi tinggi karena hysteria massal atau masalah-masalah logis lainnya.

Teori yang menarik menurut Ami, tapi terlalu disederhanakan untuk masalah kompleks yang terjadi di kota. San Dimmo adalah jaring laba-laba di mata Ami. Jaring dari belasan laba-laba yang menyebarkan pengaruhnya di atas maupun di bawah tanah kota. Jaring-jaring atas disebarkan oleh para mafia alias pelanggar hukum yang bisa lolos dengan sangat mudah dari hukum hanya dengan seribu dollar. Sementara jaring-jaring bawah, adalah jaring-jaring yang lebih tidak terlihat dan lebih berbahaya.

Beberapa masuk akal dan masih bisa disentuh hukum bagi siapa pun yang masih ingin menyentuh sisi dunia bawah dari San Dimmo meliputi perdagangan obat dan perdagangan makhluk hidup. Untuk bagian yang kedua itulah yang agak sedikit … tricky.

Karena tidak semua makhluk hidup yang diperdagangkan di San Dimmo adalah makhluk yang tercatat eksis dalam buku. Sebagian adalah makhluk yang tercatat sebagai makhluk mitologi.

Dan para penyelidik pun akan datang dengan menanyakan tujuan perdagangan makhluk hidup itu. Jika tujuannya adalah untuk "Organisasi" mereka akan mundur karena itu bukan wilayah mereka.

Karena "Organisasi" adalah sandi khusus bagi urusan yang ada di luar yurisdiksi polisi. Ada banyak hal yang bisa berkaitan dengan "Keperluan Organisasi" seperti yang tertera di berkas resgistrasi perdagangan.

Malam ini, Ami akan memasuki salah satu yurisdiksi yang tidak tersentuh itu. Karena kebetulan, dirinya adalah Algojo. Dan Algojo berhak atas satu Yurisdiksi di kota San Dimmo.

Ami memarkirkan motornya di salah satu rumah di distrik Timur. Berbeda dari Pandemonium yang ramai di distrik Utara, Distrik Timur menjadi tempat yang benar-benar berbeda di kala malam. Aktif menjadi lumbung San Dimmo di siang hari, tapi menjadi sarang hantu di malam hari saking minimnya pencahayaan dari lampu jalan dan sepinya rumah-rumah penduduk. Meski rumah-rumah itu sudah menyalakan lampu teras mereka, kegelapan di Distrik Timur masih sulit dihilangkan.

Apalagi di tengah malam seperti ini. Penghuninya yang kebanyakan adalah pekerja sektor pertanian dan peternakan baru akan aktif di dinihari. Tengah malam adalah puncak sepi dan sunyi di distrik Timur.

Cocok bagi seorang penyusup untuk bertanya-tanya ruman mana yang bisa dirampok, lubang mana yang cocok sebagai tempat persembunyian, atau bagi para orang yang lebih cerdas, kapan dan dimana sebuah acara ilegal diselenggarakan tanpa akan ketahuan oleh siapa pun di luar.

Ami melangkah masuk ke dalam rumah itu. Rumah yang tidak tampak seperti rumah yang janggal atau aneh dari luar, tapi Ami tahu, adalah pintu gerbang dari sesuatu yang baru. Ami menekan tombol bel tiga kali. Tidak kurang, tidak lebih.

Dari dalam rumah, terdengar suara: "Pergilah."

"Aku mencari warna merah yang membara abadi."

Kotak persegi kecil di bagian mata bergeser terbuka, menampilkan sepasang mata hitam yang anehnya … secara keseluruhan berwarna hitam. Kulit di sekitar mata itu pucat dan bagi yang bisa melihat dalam kegelapan sebaik Ami, mereka akan sadar kontur wajah dari sosok itu berbeda dari wajah Manusia biasa. Kulitnya, bintik-bintik kelabu pucat di wajahnya yang putih, dan alis yang tidak tampak di atas kedua matanya.

Tidak ada pupil di sana, jadi orang biasa mungkin akan sulit melihat ke arah mana mata itu bergerak, tapi Ami sudah sering berurusan dengan mata itu di masa lalu, jadi merasakan kalau tatapannya menunduk sedikit dan jatuh pada wajah Ami, bukan perkara sulit.

Terdengar dengkusan dari pemilik mata itu dan Ami melihat sudut-sudut matanya melengkung, seperti sebuah senyuman.

Pintu langsung terbuka pelan.

Ami melangkah masuk dan pintu langsung tertutup di belakang tubuhnya.

"Lama sekali kau tidak berkunjung ke sini lagi, Algojo." Suara serak nan parau itu terdengar di belakang. Kemudian, sosok raksasa seseorang yang berjalan dengan kedua kaki melintas di sampingnya. Orang itu tidak menoleh ke arah Ami, ia terus berjalan. Ami mengikuti di belakang.

"Kau tahu aku hanya akan ke sini jika ada urusan." Ami berujar. "Jadi kenapa terdengar kau sangat merindukanku, Gis?"

Pria itu tertawa. "Oh, biasa. Objek taruhan di arena kekurangan … percik yang membuat dompetku tertawa. Setelah kau pergi, tidak begitu banyak lagi tontonan seru di sana."

"Aku tidak perlu minta maaf untuk kondisi keuanganmu yang memang sudah buruk itu, kan?"

Gis tertawa.

Isi rumah itu, sama seperti isi rumah yang normal. Ada ruang tengah, ada ruang tamu, ruang televisi, bahkan dapur. Semua tampak normal dan rapih. Bersih, malahan, agak sedikit mengejutkan jika melihat penampilan Gis yang seperti ini. Itu pun jika para pengunjung tidak berkunjung sampai ke dapur, tempat mereka akan melihat beberapa pantat tikus mondok menonjol dari balik panci yang mengepul. Aromanya aneh bagi hidung Manusia Ami, tapi ia tidak akan menyangkal liurnya berkumpul di dalam mulut saat mencium aroma itu.

"Kulihat kau datang sendirian malam ini," ujarnya. "Aku kira kau akan diikuti kelelawar birahi itu lagi."

"Lulu sedang sibuk menghibur di Pandemonium. Aku biarkan dia menikmati waktu luangnya sejenak di sana."

"Ah, melepas peliharaan untuk mencari makan sendiri," Gis terkekeh saat mereka berbelok menuju pintu di bawah tangga. Pintu yang dekat dengan ruang cuci dan mengarah ke ruang bawah tanah. "Kau sebegitu percayanya pada peliharaanmu itu sampai melepaskannya sendiri, Ami?"

"Daripada aku harus membawakannya makanan setiap hari."

"Oh, dia tipe yang pemilih?"

Ami mendengkus menahan tawa. "Kau mendandani meja dan dia akan langsung bercinta dengan meja itu jika kau meminta."

Terdengar embusan napas pelan dari Gis. Ami yang sudah mengenal lama pria tua itu bisa menebak, pria di depannya juga sedang tersenyum.

"Ada apa?"

"Tidak, tidak ada apa-apa," sangkal Gis. "Aku hanya tidak menyangka akan datang hari ketika kau bisa membicarakan orang lain dengan suara seperti itu. Kau bergurau soal dia."

Ami sempat terdiam sejenak, tapi kemudian sadar, perkataan Gis benar. "Kau selalu kesulitan setiap kali aku curhat soal mereka, huh?"

"Oh, andaikan aku memang merekamnya, Nak," ujarnya. "Agar kau dengar betapa menjengkelkannya rengekanmu setiap malam soal mantan-mantanmu itu."

"Aku tidak ingat mengeluh padamu setiap malam, Gis." Apalagi soal mantan, Ami menambahkan dalam hati.

"Kau tidak," Gis menolehkan separuh wajahnya kepada Ami. "Tapi pekikan pertarunganmu, berkata sejujurnya, Nak."

Sudah bertahun-tahun Ami mencoba paham apa maksud kata-kata itu. Sebuah ungkapan khas dari para penghuni lingkar Amarah. Tapi karena jarang mendengarkan apa pun dan tidak begitu tertarik juga, Ami tidak pernah paham apa maksud dari "Suara pertarungan" yang dimaksud oleh Gis. Yang ia tahu, Gis selalu datang di saat yang paling tidak ia inginkan.

Pintu bawah tanah pun terbuka di depan mereka. Gus membuka pintu dan berdiri di pinggir, menjaga pintu seperti seorang gatekeeper.

"Kalau kau mempersilakanku begini tanpa bertanya, apa itu artinya "Dia" ada di dalam?"

"Tidak, aku belum melihat Beliau," ujarnya. "Tapi kalau kau butuh tanda tangan seperti biasa, Corniss ada malam ini."

Ami menghela napas dengan kesal. "Dari semua pemimpin pasukan dari Satan sang penguasa Lingkar Amarah … dia yang datang?"

Ami tahu ini tidak akan menjadi perbincangan yang mudah. Tapi setidaknya … ini tidak seberapa parah dibanding Lingkar Nafsu.

Kontrak ganda yang satu ini tidak ditanda tangani langsung oleh Satan.

Kalau ditanda tangani langsung, bisa jadi masalah kalau Ami hanya meminta tanda tangan dari perwakilan.

***

Ami melangkah masuk ke bawah tanah. Pintu tertutup di atas kepalanya. Di tengah kegelapan, penglihatan lain milik Ami aktif. Tidak perlu waktu bagi Ami untuk menyesuaikan pandangannya di dalam kegelapan. Sembari menuruni tangga, Ami menyalakan sebuah api di sampingnya. Api yang akan tidak membantu penglihatannya, tapi akan membantu akses baginya untuk masuk ke apa yang ada di ruang bawah tanah ini.

Mata Ami melirik ke sekeliling, melihat ruang bawah tanah itu masih sama usang seperti biasa. Ada mesin cuci di sebelah kiri dan pemanas ruangan di sebelah kanan. Pipa-pipa ledeng bertebaran di langit-langit dan dinding. Suara gemuruh terdengar di sekeliling, pertanda pipa-pipa ini masih bekerja.

Di ujung anak tangga, Ami berhenti. Api di sisinya menyala lebih terang. Di depannya anak tangga sudah berakhir, tapi Ami menyalakan api di tangannya. Kemudian. Kegelapan menyelimutinya. Kegelapan pekat yang bahkan tidak bisa ditembus oleh penglihatannya.

Sesaat kemudian, tangga yang tadi sudah berakhir itu kembali berlanjut. Kumpulan anak tangga dengn kemilau cahaya merah seperti bara api dan dibangun di atas batu hitam muncul. Ami menuruni anak tangga itu selama beberapa lama hingga tiba di sebuah pintu yang dijaga oleh dua orang patung batu seperti gargoyle dengan wajah yang marah.

Pintu itu ganda dengan warna yang merupakan campuran dari beberapa warna. Siluet merah muncul di sana, tapi Ami tidak punya penggambaran yang cukup baik untuk pintu itu selain … melambangkan dengan tepat apa yang tersaji di belakangnya.

Dari sisi pintu yang ini, Ami tidak bisa mendengar suara apa pun. Tembok-tembok tinggi di depannya tertutup rapat dengan langit-langit. Tidak memberikan celah satu inci pun untuk keluar. Tapi keringat menetes di belakang leher Ami. Jantungnya berdegup kencang.

Ami memadamkan api di tangannya ketika mata batu gargoyle itu menyala dan mengikuti arah api. Ia lantas mengeluarkan papan kontraknya dan menyerahkannya kepada salah satu gargoyle, lalu ke gargoyle yang lain.

Dua mata patung itu kembali menatap ke depan dan tidak butuh waktu lama, pintu pun terbuka.

Dan Arena pertarungan Gladiator dari Lingkar Amarah pun tersaji di depan mata.

Baru saja Ami melangkah masuk, satu orang lagi sudah ia temui. Seorang perempuan dengan rambut panjang merah menyala. Perempuan dengan kulit gelap yang menawan dan tubuh berisi di titik-titik yang tepat, di otot-otot yang tepat yang sangat diinginkan oleh Ami. Wanita itu lantas tersenyum kepadanya. Senyumnya ramah, tapi binar yang menyala di mata wanita itu tidak bisa menipu Ami lebih baik.

"Wah, wah, lihat siapa pengunjung lama yang memutuskan untuk datang reuni malam ini."

Ami tersenyum tipis pada wanita itu. "Senang bisa bertemu denganmu di sini, Cassandra."

***